Militer Thailand Pulangkan Ribuan Pengungsi Myanmar
Komunitas internasional dan ASEAN harus bertindak untuk melindungi warga Myanmar. Harus ada sanksi dan embargo senjata total terhadap junta militer negara itu.
Oleh
Luki Aulia/Kris Mada
·5 menit baca
Nasib ribuan pengungsi Myanmar yang lari dari kekerasan junta militer di negaranya tidak menentu. Negara tetangga, Thailand, menolak dengan mengirim pulang mereka ke negara asal.
YANGON, SENIN Pemerintah Thailand menolak kedatangan ribuan pengungsi Myanmar yang lari dari kekerasan senjata junta militer di negara mereka. Pada Senin (29/3/2021), tentara Thailand mengirim pulang ribuan pengungsi tersebut, termasuk sekitar 200 pelajar, kembali ke wilayah asal, Negara Bagian Karen, Myanmar.
Sikap otoritas Thailand ini berbeda dengan India yang menampung ribuan pengungsi Mynmar, termasuk 280 polisi, atas pertimbangan kemanusiaan.
Di Myanmar, para pengunjuk rasa terus berteriak di jalan-jalan di berbagai kota. Mereka terdiri dari kelompok pelajar, pemuda, dan bahkan kaum ibu yang mendampingi anak-anak mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa menentang kekerasan senjata junta dan kudeta militer.
Mereka berseru, ”Rakyat bersatu tidak dapat dikalahkan,” dan mengecam kebrutalan aparat junta yang membunuh orang-orang tidak bersalah, termasuk tujuh anak berusia di bawah 18 tahun.
Situs berita Myanmar Now melaporkan, sedikitnya delapan orang ditembak dan dibunuh oleh angkatan bersenjata junta di Yangon dan di ibu kota Negara Bagian Shan, kemarin. Seorang pria berusia 20-an tewas di Thaketa, Yangon, Senin pagi, setelah pasukan junta menembaki kerumunan orang yang sedang bersiap untuk berunjuk rasa untuk memprotes kudeta.
Amerika Serikat mengecam tindakan brutal aparat junta yang terjadi dalam beberapa hari terakhir hingga kemarin. AS dan PBB menilai aparat junta sudah keterlaluan karena menembak mati orang-orang tidak bersalah. PBB menyebutkan, tujuh anak di bawah umur tewas akibat penembakan.
Pemerintah Rusia juga akhirnya mengeluarkan suara terkait krisis Myanmar. Juru bicara Presiden Rusia Vladimir Putin, Dmitry Peskov, mengatakan, Rusia prihatin dengan kekerasan terhadap warga sipil di Myanmar.
Meski berhubungan baik dengan Myanmar, Rusia menegaskan tidak akan memaafkan kekerasan yang dilakukan. ”Kami sangat prihatin dengan banyaknya warga sipil yang menjadi korban,” ujarnya.
Pengungsi
Terkait ribuan pengungsi dari Karen, Myanmar, itu terjadi setelah tiga serangan udara dilakukan sepanjang Minggu (28/3) malam. Lembaga Bantuan Kemanusiaan, Burma Free Rangers, mengirimkan bantuan medis dan keperluan lain yang dibutuhkan warga etnis Karen.
Sedikitnya 3.000 warga pelarian dari Myanmar hingga Senin (29/3) pagi menyeberang ke Thailand untuk menghindari serangan udara junta militer Myanmar (Tatmadaw) ke basis pasukan kelompok perlawanan di perbatasan kedua negara.
Burma Free Rangers menyebutkan, di antara pengungsi itu terdapat 200 siswa yang menyeberangi Sungai Salween dan masuk ke Provinsi Mae Hong Son, Thailand. Sekitar 10.000 orang diperkirakan sudah mengungsi di Karen.
Dari rekaman video, Minggu (28/3), sekelompok warga desa Karen termasuk anak-anak tampak sedang beristirahat di hutan setelah meninggalkan rumahnya. Mereka membawa barang-barang dalam keranjang dan buntalan kain.
”Kami tidak mau ada migrasi massal masuk ke wilayah kami, tetapi kami juga mempertimbangkan sisi hak asasi manusia,” kata Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, Senin (29/3). Rupanya tidak ada pertimbangan kemanusiaan karena militer Thailand memulangkan pengungsi Myanmar.
Eksodus awal terjadi saat jet-jet militer Myanmar mengebom area milisi Persatuan Nasional Karen (KNU), Minggu malam. Serangan muncul setelah pada Sabtu pagi milisi KNU menyerang pos aparat.
Para pemimpin KNU itu sejak awal kudeta militer Myanmar, 1 Februari lalu, berusaha mempersatukan komunitas etnis Karen dengan kelompok etnis lainnya dan berjuang bersama melawan junta militer.
Sejak kudeta militer berlangsung, kebrutalan aparat junta membuat sejumlah penentang kudeta mengajak kelompok separatis Myanmar bergabung dan melawan Tatmadaw. Ada belasan kelompok pemberontak di Myanmar, sebagian di antaranya tengah terikat dalam gencatan senjata.
Ajakan kepada separatis disampaikan, antara lain, dari Komite Pemogokan Nasional (GSCN). Mereka mengajak kelompok-kelompok pemberontak untuk melindungi rakyat sipil dan bukan membunuh seperti yang dilakukan junta. Ajakan disebarkan bersamaan dengan peningkatan baku tembak antara pemberontak Karen dan Kachin dengan Tatmadaw.
Sedikitnya 114 orang di sejumlah daerah di Myanmar tewas dibunuh aparat keamanan pada hari Sabtu, termasuk di antaranya tujuh anak. Jumlah korban tewas sejak 1 Februari telah mencapai 459 orang.
PBB-ASEAN diminta tegas
Dari Geneva, Swiss, Penasihat Khusus PBB untuk Pencegahan Pembasmian Etnis, Alice Wairimu Nderitu, dan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, mendesak PBB dan ASEAN harus bertindak lebih nyata untuk menghentikan kekejaman junta militer Myanmar. Junta tidak segan lagi secara terbuka membantai warga sipil.
”Tindakan polisi dan militer—yang terekam menembaki pengunjuk rasa—itu memalukan, pengecut, brutal, dan harus dihentikan segera. Komunitas internasional bertanggung jawab melindungi warga Myanmar dari kejahatan yang keji ini,” demikian pernyataan bersama mereka, Minggu (28/2) atau Senin dini hari WIB.
Pernyataan dikeluarkan setelah jumlah korban tewas di kalangan penentang kudeta terus melonjak. Mayoritas korban tewas karena luka tembak. Bahkan, Asosiasi Pendampingan Narapidana Politik (AAPP) Myanmar menyebut, sebanyak 25 persen korban tewas ditembak di kepala.
Bachelet dan Nderitu mendesak Dewan Keamanan PBB dan ASEAN bertindak lebih jauh. Komunitas internasional dan ASEAN harus bertindak untuk melindungi warga Myanmar.
Sejauh ini, tindakan maksimal DK PBB hanya mendesak pembebasan orang-orang yang ditangkap pascakudeta. Komunitas internasional juga hanya mengecam. Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, meragukan rangkaian sanksi yang telah diumumkan bisa meredam kejahatan junta.
Andrews mendesak perlunya embargo senjata total terhadap Tatmadaw. Sejumlah laporan menyebut, berbagai perusahaan Asia, Eropa, dan AS memasok senjata ke Tatmadaw. Sejauh ini, sanksi-sanksi telah dijatuhkan kepada sejumlah petinggi junta dan orang serta badan hukum terkait Tatmadaw.
Padahal, dalam pidato di Hari Tatmadaw pekan lalu, Panglima Tatmadaw Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan, militer akan melindungi warga. Kudeta, menurut dia, dilakukan demi melindungi demokrasi. (AP/AFP/REUTERS/RAZ/LUK/SAM/CAL)