Korban Kebrutalan Junta Myanmar Kini Lebih dari 500 Warga Sipil
Korban tewas dari kalangan warga sipil di Myanmar telah menembus 500 jiwa sejak kudeta militer awal Februari lalu. Aksi protes dari kalangan warga menuntut dikembalikannya pemerintahan sipil terus terjadi di Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, SELASA — Aparat keamanan junta Myanmar telah menewaskan sedikitnya 510 warga sipil dalam hampir dua bulan sejak kudeta militer 1 Februari lalu. Hari Sabtu (27/3/2021), sejauh ini menjadi hari yang paling berdarah karena korban tewas hari itu sebanyak 114 warga sipil.
Data yang dihimpun Asosiasi Bantuan bagi Para Tahanan Politik (AAPP), lembaga swadaya masyarakat sipil yang berbasis di Bangkok, Thailand, menunjukkan bahwa tercatat 14 warga sipil di Myanmar tewas pada Senin (29/3/2021) sehingga menjadikan jumlah korban tewas menembus 500 jiwa.
AAPP menyatakan, dari 14 orang yang tewas itu, delapan di antaranya adalah warga yang tinggal di pinggiran Dagon selatan. Dua orang juga tewas dalam penembakan di pusat kota Myingyan, kata pemimpin mahasiswa, Moe Myint Hein.
Gedung Putih mengecam keras pembunuhan warga sipil dengan penggunaan kekuatan mematikan sebagai hal yang ”menjijikkan”. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak para jenderal Myanmar untuk menghentikan pembunuhan dan penindasan para demonstran. Aneka seruan pun kembali disuarakan agar Myanmar segera memulihkan demokrasi dan keamanan sipil.
Ribuan orang turun turun ke jalan-jalan di sejumlah kota di Myanmar sepanjang Senin. Di Dagon selatan, dilaporkan bahwa pasukan keamanan menembakkan senjata dengan kaliber yang jauh lebih besar dari biasanya. Seorang saksi mata mengungkapkan, langkah itu diambil militer untuk membersihkan barikade-barikade kantong pasir.
Video yang tersebar memperkuat kesaksian tersebut. Namun, tidak ada kejelasan soal jenis senjata yang digunakan aparat di Dagon selatan itu.
Di Dagon selatan, dilaporkan bahwa pasukan keamanan menembakkan senjata dengan kaliber yang jauh lebih besar dari biasanya.
Sekelompok warga setempat mengunggah gambar yang menunjukkan seorang tentara tengah bersiaga menenteng senjata semacam peluncur granat. Stasiun televisi Pemerintah Myanmar mengatakan, pasukan keamanan menggunakan ”senjata anti huru hara" untuk membubarkan kerumunan. Penggunaan senjata itu disebutkan menghancurkan trotoar di satu ruas jalan dan hanya mengakibatkan satu orang terluka. Polisi dan juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk diminta komentarnya.
Seruan pada pasukan etnis
Salah satu kelompok utama di balik aksi protes terhadap junta Myanmar, Komite Pemogokan Umum Kebangsaan, dalam sebuah surat terbuka di media sosial Facebook, meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang ”penindasan yang tidak adil” oleh militer. ”Organisasi etnis bersenjata perlu secara kolektif melindungi rakyat," kata kelompok itu.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang melawan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar. Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara Myanmar.
Bentrokan besar meletus pada akhir pekan lalu terjadi di dekat perbatasan Thailand antara militer junta dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).
Sekitar 3.000 penduduk desa di sekitar bentrokan terpaksa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer mengebom daerah basis KNU. Serbuan udara oleh militer itu digelar setelah pasukan KNU menyerbu pos militer dan menewaskan 10 orang, kata sebuah kelompok aktivis dan media. Pihak berwenang Thailand membantah pernyataan kelompok aktivis bahwa lebih dari 2.000 pengungsi Myanmar telah dipaksa kembali dari wilayah Thailand ke Myanmar.
”Tindakan Thailand yang tidak berperasaan dan ilegal harus dihentikan sekarang,” tulis Sunai Phasuk, peneliti senior di Thailand untuk Human Rights Watch, di Twitter.
Sebelumnya, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan bahwa masalah Myanmar sepatutnya diselesaikan di wilayah Myanmar. Dia menepis anggapan dan tuduhan bahwa dirinya mendukung junta Myanmar. ”Kami tidak ingin (ada) eksodus ke wilayah kami, tetapi kami akan memperhatikan hak asasi manusia,” kata Prayuth kepada wartawan di Bangkok, Senin.
Penangguhan perdagangan
Di tengah karut-marutnya kondisi Myanmar, awal pekan ini, Pemerintah AS memutuskan menangguhkan pakta perdagangan dengan Myanmar. Washington juga gencar menggalang kecaman internasional atas tindakan keras junta yang semakin kejam.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengumumkan bahwa Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi 2013, yang mengatur cara untuk meningkatkan bisnis tetapi bukan kesepakatan yang sepenuhnya matang, akan tetap ditangguhkan sampai demokrasi pulih di Myanmar.
”Amerika mengecam keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil,” kata Perwakilan Dagang AS Katherine Tai yang menggunakan nama lama Myanmar, Burma.
Pernyataan tersebut secara efektif menghapus Myanmar dari Sistem Preferensi Umum. Melalui sistem itu, AS memberikan akses bebas bea atas sejumlah barang impor dari negara berkembang jika mereka memenuhi standar utama.
Pemerintah Perancis juga mengecam kekerasan ”membabi buta dan mematikan” di Myanmar. Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menyatakan, pasukan keamanan di Myanmar telah mencapai tahap baru dalam kekerasan buta dan mematikan. Tindakan itu dinilai tidak manusiawi, terlebih karena junta membunuh warganya sendiri, termasuk anak-anak.
”Sementara sanksi telah diputuskan dengan mitra Eropa dan internasional kami, saya menyerukan kepada semua pasukan Myanmar untuk memecahkan kebuntuan di mana mereka memimpin negara mereka, mengakhiri kekerasan, membebaskan tanpa syarat dan segera semua tahanan politik, serta melanjutkan jalur dialog,” kata Le Drian. (AFP/REUTERS)