Menggalang bantuan uang dari donatur untuk membantu warga Suriah, seperti Fatima, kini semakin sulit. Padahal, kondisi rakyat Suriah kian parah.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Sudah satu tahun ini Fatima al-Omar (19) terpaksa hidup berpindah dari satu lokasi pengungsian ke lokasi yang lain. Rumahnya hancur akibat pertempuran di daerah kantong pemberontak terakhir di Suriah barat yang memaksa 1 juta orang mengungsi. Ia pun harus menghidupi ibu, tiga saudara, dan neneknya.
Ibunya menderita kanker dan ayahnya pergi entah ke mana 11 tahun lalu. Pada akhir 2020, Fatima terkena Covid-19 dan dipecat dari pekerjaannya sebagai pemetik buah zaitun. Sejak itu, ia belum mendapat pekerjaan lagi.
”Hidup semakin susah,” kata gadis tersebut, yang kini tinggal di Binnish, Provinsi Idlib.
Menggalang bantuan uang dari donatur untuk membantu warga Suriah, seperti Fatima, kini semakin sulit. Padahal, kondisi rakyat Suriah kian parah. Persoalan ini dibahas dalam konferensi donatur internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa di Brussels, Belgia, Senin (29/3/2021).
Berkurangnya komitmen bantuan ini sebenarnya terjadi sebelum pandemi Covid-19. Apalagi pada situasi pandemi sekarang, sejumlah negara juga tengah bergelut dengan kesulitan ekonomi.
Pada awal Maret ini, PBB meminta bantuan untuk Yaman yang sedang mengalami krisis kemanusiaan terparah di dunia. Tetapi, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kecewa karena jumlah komitmen tak mencapai 50 persen.
Akibat Covid-19, harga bahan makanan naik 222 persen ketimbang tahun lalu. Sekitar 9 dari 10 orang Suriah hidup di bawah garis kemiskinan dan tiga perempat dari 4,3 juta penduduknya terancam kelaparan. Menurut PBB, sebanyak 13,4 juta penduduk Suriah membutuhkan bantuan.
”Kami tidak memiliki cukup dana untuk memberikan semua bantuan yang dibutuhkan. Yang paling menderita adalah perempuan, anak-anak, usia lanjut, dan orang berkebutuhan khusus,” kata Wakil Regional Koordinator Kemanusiaan untuk Suriah di PBB Mark Cutts.
PBB dan lembaga bantuan lainnya tengah mencari bantuan dana sekitar 4 miliar dollar AS untuk Suriah. Selain itu, perlu dana juga sebesar 5,8 miliar dollar AS untuk 6 juta pengungsi Suriah. Karena harus tetap bertahan hidup, perempuan dan anak-anak terpaksa mengerjakan apa saja meski berisiko dan berupah rendah.
Banyak anak yang mengais sampah, meminta-minta, atau malah direkrut kelompok-kelompok bersenjata. Amjad Yamin dari Save the Children mengatakan, kasus upaya bunuh diri dilaporkan naik. Di samping itu 1 dari 3 anak tidak lagi bersekolah.
Program Pangan Dunia mengurangi bantuan makanan setiap bulannya ke Suriah. Jatah ransum beras yang diterima setiap keluarga berkurang hingga separuh. Kebutuhan air pun meningkat 40 persen karena pandemi, tetapi tidak ada uang untuk membeli air.
Jika tidak ada bantuan, sekitar 55 stasiun pengisian air di seluruh wilayah Suriah barat terpaksa ditutup. Sedikitnya 740.000 orang tidak akan mendapat akses air bersih.
Ada laporan bahwa bantuan dari donatur-donatur besar akan berkurang hingga sekitar 67 persen. Berbagai organisasi bantuan kemanusiaan berusaha mengelola anggaran dan rencana jika terjadi pengurangan besar-besaran.
Pengurangan bantuan kemanusiaan itu juga akan membuat ribuan orang kehilangan pekerjaan dan memaksa sejumlah kamp penampung pengungsi untuk tutup. Jika hal itu terjadi, sulit membayangkan bagaimana orang-orang korban perang Suriah, seperti Fatima dan keluarganya, bisa bertahan hidup.
Sejak kehilangan rumah, Fatimah dan keluarganya belum mendapatkan bantuan makanan. Uang yang hanya sedikit juga harus ditabung untuk membiayai perawatan kanker ibunya. Ia mendapat sedikit bantuan kesehatan dari donatur lokal dan amal termasuk ketika perawatan medis ke Turki.
Ia juga harus membayar sebagian uang sewa tempat tinggalnya sekarang. Tidak ada bahan makanan apa pun di lemari makanannya. ”Kami tidak punya apa-apa. Tidak ada makanan dan air bersih,” kata Fatima.
Demi sesuap nasi, Fatima pernah bekerja di rumah menjahit masker dan mendapatkan upah 7 dollar AS untuk setiap 1.500 masker yang ia selesaikan. Sekarang itu tidak lagi dia lakoni karena harus pindah ke Binnish sebab uang sewa lebih murah.
Setahun mengungsi keluar dari kampung halamannya, Fatima bermimpi memiliki satu ruangan tersendiri untuk keluarganya di salah satu tempat pengungsian. ”Lebih baik begitu saja daripada harus pindah-pindah terus. Ini melelahkan,” ujarnya. (AP/LUK)