Krisis Myanmar mulai memicu krisis pengungsi ke negara lain. Sedikitnya 3.000 warga Myanmar di Negara Bagian Karen menghindari serangan militer Myanmar terhadap basis kelompok perlawanan dengan mengungsi ke Thailand.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN — Sedikitnya 3.000 warga Myanmar hingga Senin (29/3/2021) pagi menyeberang ke Thailand untuk menghindari serangan udara militer Myanmar (Tatmadaw) ke basis pasukan kelompok perlawanan di perbatasan kedua negara. Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan, Bangkok bersiap menghadapi gelombang eksodus pengungsian dari Myanmar.
Eksodus awal pengungsian warga Myanmar ke Thailand pasca-kudeta militer 1 Februari lalu itu terjadi saat jet-jet militer Myanmar mengebom area milisi Karen National Union (KNU). Pada Sabtu pagi, milisi KNU menyerang pos aparat. Dalam serangan itu, menurut salah satu kelompok aktivis dan media, sebanyak 10 orang tewas.
Sementara pada Minggu pagi, Kachin Independence Army (KIA) dan Tatmadaw baku tembak di Hpakant, Myanmar utara. Insiden terjadi dekat tambang batu giok yang dikendalikan Tatmadaw. Selepas dua insiden itu, Tatmadaw melancarkan serangan udara di basis-basis KIA dan KNU, mengakibatkan pengungsian sekitar 3.000 warga Myanmar ke Thailand sejak Minggu dini hari.
Dari tayangan video yang diambil pada hari Minggu kemarin, terlihat kumpulan warga desa, termasuk banyak anak-anak, beristirahat di sebuah hutan di wilayah Myanmar. Mereka meninggalkan rumah masing-masing dengan membawa bungkusan dan keranjang barang perbekalan.
Puluhan ribu warga desa dari kalangan etnis Karen sudah tinggal beberapa dekade di Thailand. Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan, pemerintahnya bersiap pada gelombang eksodus pengungsian dari Myanmar.
”Kami tidak ingin mengalami eksodus ke wilayah teritorial kami, tetapi kami akan memperhatikan isu hak asasi manusia juga,” kata Prayuth kepada wartawan saat ditanya tentang kekerasan di Myanmar, akhir pekan lalu. ”Berapa banyak pengungsi yang diperkirakan bakal tiba? Kami telah menyiapkan sebuah area, tetapi berapa banyak, kami belum membahasnya.”
Sejak kudeta militer berlangsung, kebrutalan Tatmadaw membuat sejumlah penentang kudeta mengajak kelompok separatis Myanmar bergabung dan melawan Tatmadaw. Ada belasan kelompok pemberontak di Myanmar, sebagian di antaranya tengah terikat dalam gencatan senjata.
Ajakan kepada separatis disampaikan, antara lain, dari Komite Pemogokan Nasional (GSCN). Mereka mengajak kelompok pemberontak bersama-sama melindungi warga. Ajakan disebarkan bersamaan dengan peningkatan baku tembak antara kelompok pemberontak Karen dan Kachin dengan Tatmadaw.
Pada Sabtu pagi, milisi Karen National Union (KNU) menyerang pos aparat. Dalam serangan itu, seorang perwira muda dan tujuh tentara ditangkap. Sementara sembilan perwira menengah dan 9 tentara tewas.
PBB-ASEAN diminta tegas
Sementara itu, di Geneva, Swiss, Penasihat Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pencegahan Pembasmiaan Etnis, Alice Wairimu Nderitu, dan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, mendesak PBB dan ASEAN harus bertindak lebih nyata untuk menghentikan kekejaman junta militer Myanmar. Junta tidak segan lagi secara terbuka membantai warga sipil.
”Tindakan polisi dan militer—yang terekam menembaki pengunjuk rasa—itu memalukan, pengecut, dan brutal harus dihentikan segera. Komunitas internasional bertanggung jawab melindungi warga Myanmar dari kejahatan yang keji ini,” demikian pernyataan bersama mereka, Minggu (28/2/2021) atau Senin dini hari WIB.
Pernyataan dikeluarkan setelah jumlah korban tewas di kalangan penentang kudeta terus melonjak. Mayoritas korban tewas karena luka tembak. Bahkan, Asosiasi Pendampingan Narapidana Politik (AAPP) Myanmar menyebut, sebanyak 25 persen korban tewas ditembak di kepala.
Aparat Myanmar tidak hanya menembaki warga di lokasi unjuk rasa. Para pelayat di kuburan pun ditembaki saat mereka menghadiri pemakaman pengunjuk rasa.
Bachelet dan Nderitu mendesak Dewan Keamanan PBB dan ASEAN bertindak lebih jauh. Komunitas internasional dan ASEAN harus bertindak untuk melindungi warga Myanmar.
Sejauh ini, tindakan maksimal DK PBB hanya mendesak pembebasan orang-orang yang ditangkap pascakudeta 1 Februari lalu. Komunitas internasional juga hanya mengecam. Pelapor Khusus PBB untuk masalah Myanmar, Thomas Andrews, meragukan rangkaian sanksi yang telah diumumkan bisa meredam kekejaman militer Myanmar, Tatmadaw.
Ia mendesak embargo senjata total terhadap Tatmadaw. Sejumlah laporan menyebut, berbagai perusahaan Asia, Eropa, dan Amerika Serikat memasok senjata ke Tatmadaw.
Sejauh ini, sanksi-sanksi telah dijatuhkan kepada sejumlah perwira dan orang serta badan hukum terkait Tatmadaw. Seperti dikhawatirkan Andrews, Tatmadaw memang tidak menghiraukan sanksi itu dan semakin brutal. Anak-anak pun ditembaki tanpa ampun.
Padahal, dalam pidato di Hari Tatmadaw pekan lalu, Panglima Tatmadaw Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan, militer akan melindungi warga. Kudeta, kata dia, dilakukan demi melindungi demokrasi. (AP/AFP/REUTERS/SAM)