Daya Tahan Netanyahu-Abbas Bermanuver Mendayung dalam Konflik Israel-Palestina
Di tengah konflik panjang Israel-Palestina, PM Benjamin Netanyahu dan Presiden Mahmoud Abbas licin dalam bermanuver untuk mempertahankan kekuasaan masing-masing.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Terlaksananya pemilu dini parlemen Israel (Knesset) ke-24 pekan lalu dan rencana Palestina menggelar pemilu presiden, 31 Juli mendatang, memunculkan sorotan tentang masa depan kekuasaan PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Apakah Netanyahu masih mampu bertahan sebagai PM Israel pascapemilu Knesset, dan demikian pula apakah Abbas masih bisa bertahan sebagai presiden Palestina pascapemilu nanti?
Pertanyaan itu layak muncul di permukaan, mengingat masa depan solusi konflik Palestina-Israel akan sangat tergantung pada orang nomer satu di pentas politik Palestina maupun Israel. Selama periode jabatan Netanyahu sebagai PM Israel dan Abbas sebagai presiden Otoritas Palestina, tidak ada kemajuan berarti dalam perundingan damai Palestina-Israel.
Bahkan, perundingan damai Palestina-Israel macet total sejak tahun 2014. Palestina saat itu membekukan perundingan damai dengan Israel sebagai protes atas tindakan Israel tak mau menghentikan pembangunan masif permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Maka, apakah harus ada kepemimpinan baru yang lebih muda dan energik di Palestina maupun Israel, mengingat Netanyahu dan Abbas telah gagal mencapai solusi kompromi terkait konflik Palestina-Israel selama ini. Usia Netanyahu kini 71 tahun dan Abbas 85 tahun.
Sesungguhnya sudah ada dinamika saat ini di Israel dan Palestina terkait upaya penggantian Netanyahu dan Abbas. Bahkan, upaya mendongkel kekuasaan Netanyahu dan Abbas itu datang dari orang-orang terdekat dan kepercayaannya selama ini. Ini yang membuat tantangan Netanyahu maupun Abbas menjadi sangat berat.
Netanyahu kini menghadapi ancaman politik dari pecahan partai Likud sendiri. Ada partai baru, New Hope, yang dipimpin oleh Gideon Sa’ar. Sa\'ar (55) adalah anggota Knesset dari partai Likud dari tahun 2003 hingga 2014, lalu menteri dalam negeri 2009-2014. Ia lalu meninggalkan Likud tahun 2020 dan mendirikan partai New Hope pada Desember 2020.
Pada pemilu dini Knesset ke- 24, Selasa (23/3/2021) lalu, partai New Hope mendapat 6 kursi Knesset. Perolehan partai New Hope ini membuat perolehan suara partai Likud menurun dari 36 kursi pada pemilu Knesset, Maret 2020, menjadi 30 kursi pada pemilu pekan lalu. Para loyalis Sa’ar di partai Likud beralih memberikan suara mereka kepada partai New Hope.
Sa’ar dan partai New Hope kini berada di kubu kontra-Netanyahu bersama partai beraliran tengah dan kiri. Hal ini membuat perolehan kursi partai-partai kubu pro-Netanyahu hanya 59 kursi. Mereka tidak dapat membentuk pemerintahan baru. Butuh minimal 61 kursi bagi blok atau koalisi untuk membentuk pemerintahan.
Maka, masa depan Netanyahu sangat tergantung pada dukungan dari partai New Hope atau partai berhaluan tengah atau partai Arab. Karena itu, posisi Netanyahu bisa disebut berada di ujung tanduk.
Tekanan bagi Abbas
Hal serupa juga terjadi di pentas politik Palestina. Abbas kini menghadapi ancaman dari orang terdekatnya. Salah satu ancaman itu datang dari Nasser al-Qudwa (67), keponakan almarhum Pemimpin Palestina Yasser Arafat. Qudwa menjadi ancaman serius bagi masa depan karier politik Abbas.
Qudwa berniat mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dalam pemilu Presiden Palestina, Juli mendatang. Sejak tahun 2016, sudah muncul rumor bahwa sejumlah negara Arab mendukung Qudwa sebagai presiden Palestina menggantikan Abbas. Bahkan, bergulir berita bahwa Qudwa membangun koalisi dengan Mohammad Dahlan, musuh bebuyutan Abbas. Dahlan selama ini berdomisili di Abu Dhabi.
Jika Qudwa berkoalisi dengan Dahlan, hal itu akan menjadi kekuatan besar dan ancaman serius terhadap Abbas. Abbas pun marah melihat manuver politik Qudwa. Ia pun memecat Qudwa dari keanggotaan faksi Fatah, seperti halnya Abbas juga pernah memecat Dahlan dari faksi Fatah.
Pemilu presiden Palestina mendatang bakal cukup menarik jika Qudwa memutuskan terus bersaing melawan Abbas. Pemilu mendatang akan menjadi hari yang menentukan bagi masa depan Abbas.
Namun, baik Netanyahu maupun Abbas masih berupaya bertarung mempertahankan kekuasaannya itu. Tidak mudah menggusur Netanyahu maupun Abbas dari kekuasaan masing- masing. Tak diragukan, Netanyahu maupun Abbas adalah politisi ulung dan licin. Bertahannya Netanyahu dan Abbas di singgasana kekuasaan yang sangat lama menunjukkan kehebatan dan kualitas keduanya sebagai politisi veteran yang tangguh pada pentas politik masing-masing.
Netanyahu bahkan mengukir sejarah sebagai PM Israel yang terlama menduduki jabatannya sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Dalam hal itu, ia bahkan melampaui pendiri dan deklarator negara Israel, David Ben Gurion. Ben Gurion menjabat selama 13 tahun sebagai PM Israel dalam dua masa jabatan, yaitu 1948-1953 dan 1955-1963. Adapun Netanyahu sudah menjabat sebagai PM Israel selama 15 tahun dalam dua masa jabatan, yaitu 1996-1999 dan 2009-2021.
Sejak pemilu Knesset tahun 2009, partai Likud pimpinan Netanyahu selalu meraih kursi Knesset terbanyak, tetapi tak pernah mencapai 50+1 atau 61 kursi Knesset sebagai persyaratan minimal untuk bisa membentuk pemerintahan tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Netanyahu dengan kecerdikannya dalam bermanuver politik selalu sukses membujuk partai politik lain untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi yang dipimpinnya.
Licin bermanuver
Netanyahu pun juga sangat cerdik dan licin dalam bermanuver politik di internal partai Likud sehingga mampu bertahan paling lama sebagai pemimpin partai kanan tersebut. Ini faktor utama yang mengantarkan Netanyahu bisa bertahan paling lama sebagai ketua partai Likud dan sebagai PM Israel.
Sementara di pentas politik Palestina, Abbas menjabat presiden Otoritas Palestina sejak 2005 atau sudah 16 tahun berada pada puncak kekuasaan di Palestina. Abbas juga memimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan faksi Fatah sejak tahun 2004 atau sudah 17 tahun menjabat sebagai ketua PLO dan Fatah. Abbas menduduki semua posisi puncak pos politik terpenting di pentas politik Palestina setelah wafatnya Yasser Arafat tahun 2004.
Pasca-Arafat, Abbas menjadi orang terkuat di pentas politik Palestina sampai saat ini. Pencapaian itu berkat jasa Abbas sebagai salah seorang arsitek Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel tahun 1993. Abbas bersama mendiang Presiden dan PM Israel Shimon Peres yang dikenal sebagai arsitek kesepakatan Oslo. Abbas juga menandatangani Kesepakatan Oslo di Gedung Putih, Washington DC bersama Yasser Arafat, PM Israel Yitzhak Rabin, dan Shimon Peres saat itu.
Abbas tampil sebagai orang kuat kedua di Palestina setelah Yasser Arafat berkat jasa besar Abbas dalam mengantarkan kesepakatan Oslo tersebut. Abbas juga menyingkirkan orang kuat di faksi Fatah dan PLO saat itu, Farouk Kaddoumi, yang menolak kesepakatan Oslo dan memilih tetap bertahan di Tunisia.
Akan tetapi, kekuasaan itu tidaklah abadi. Sejarah mencatat, orang kuat bisa berkuasa sangat lama, tetapi tentu berakhir pula kekuasaannya. Kini, apakah pemilu Knesset pekan lalu dan pemilu presiden Palestina, 31 Juli nanti, akan menjadi hari berakhirnya kekuasaan Netanyahu dan Abbas?
Jika Netanyahu dan Abbas masih berkuasa pascapemilu pekan lalu dan pemilu presiden Palestina pada Juli nanti, semakin hebat kiprah kedua tokoh itu dalam dunia politik. Akan tetapi, bila sebaliknya yang terjadi, yakni Netanyahu dan Abbas tumbang, inilah perjalanan sejarah yang memperlihatkan bahwa sudah tiba waktunya regenerasi kepemimpinan di Israel dan Palestina.