Intelijen Peringatkan Biden soal Kekuatan Taliban Afghanistan
Lembaga intelijen AS memperingatkan Presiden Joe Biden konsekuensi yang mungkin terjadi jika AS menarik pasukannya pada 1 Mei 2021 dari Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Lembaga intelijen Amerika Serikat mengeluarkan peringatan kepada Presiden Joe Biden soal kemungkinan kelompok Taliban kembali berkuasa atas Afghanistan dalam waktu dua hingga tiga tahun.
Hal itu sangat mungkin terjadi jika pasukan AS keluar sebelum ada kesepakatan yang jelas soal pembagian kekuasaan di antara pihak bertikai. Keluarnya pasukan AS dari Afghanistan juga bisa membuka kemungkinan kelompok teroris, seperti Al Qaeda, untuk membangun kembali kekuatannya.
Laporan ini pertama kali muncul di laman New York Times, Jumat (26/3/2021) atau Sabtu dini hari WIB, yang mengutip keterangan salah satu pejabat Pemerintah AS.
Penilaian lembaga intelijen, yang sebenarnya disiapkan tahun lalu ketika AS masih dipimpin Presiden ke-45 AS, Donald Trump, membeberkan prediksi yang tidak menggembirakan tentang masa depan Afghanistan bila AS dan pasukan NATO keluar dari negara itu. Namun, laporan itu urung disampaikan karena ada perbedaan pendapat di kabinet, terutama antara Trump dan mantan Menteri Pertahanan Mark Esper.
Trump menginginkan seluruh pasukan AS keluar dari Afghanistan, sedangkan Esper memilih tetap menyisakan beberapa ribu pasukan di negara itu sampai Taliban benar-benar menghentikan kekerasan bersenjata dan pembunuhan warga sipil, yang tak kunjung usai hingga saat ini.
Selain itu, Esper dikabarkan tidak sepakat penggunaan anggota militer reguler untuk menghentikan demonstrasi Black Lives Matter pasca-kematian George Floyd.
Berbeda dengan Trump, Biden terlihat lebih berhati-hati mengeluarkan komentar mengenai tenggat penarikan pasukan AS, 1 Mei mendatang. Bahkan, dalam beberapa kali pernyataannya, Biden terkesan ragu untuk memutuskan apakah AS akan menarik seluruh pasukannya atau tidak.
Keputusan itu tampak sebagai salah satu yang paling kritis dari masa jabatan presiden yang masih seumur jagung. Biden, saat menjabat sebagai Wakil Presiden pada kepemimpinan Barack Obama, berdebat soal kehadiran minimal pasukan AS di Afghanistan. Di sisi lain, secara pribadi dan tertutup, dia pernah menggambarkan kemungkinan membiarkan Afghanistan runtuh.
Beberapa pejabat senior pemerintahan Biden telah menyatakan skeptisisme terhadap prediksi intelijen tentang kebangkitan Al Qaeda atau Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang melemah. Para komandan Taliban tetap menentang NIIS di Afghanistan, dan Al Qaeda, yang hanya memiliki sedikit kehadiran di negara itu. Termasuk skeptisisme soal kebangkitan kembali keduanya di sejumlah wilayah atau kawasan tanpa hukum di seluruh dunia.
Hal yang tidak terjawab oleh laporan intelijen itu adalah apakah Afghanistan akan menjadi sebuah negara yang makmur dan sejahtera jika pasukan AS dan NATO dipertahankan keberadaannya di negara tersebut.
Sikap Taliban
Sikap keragu-raguan yang ditunjukkan oleh Biden soal penarikan pasukan, seperti yang disepakati dalam Nota KesepahamanDamai Doha, Qatar, 29 Februari 2020, membuat Taliban gerah. Mereka mengingatkan kemungkinan adanya konsekuensi yang harus dihadapi AS dan pasukan koalisi.
Mohammad Naeem, juru bicara Taliban, menyatakan, pihaknya selalu berkomitmen dengan apa yang tertulis dalam nota kesepahaman damai tersebut. Mereka berharap Pemerintah AS juga bersikap sebaliknya, menjaga komitmen substansi nota kesepahaman damai tersebut.
Naeem mengatakan, substansi Nota Kesepahaman Damai Doha adalah substansi yang paling masuk akal dan cara paling mudah untuk mengakhir perang yang sudah berlangsung selama dua dekade di antara dua pihak.
Menurut dia, bila Pemerintah AS tidak menarik pasukannya dari Afghanistan pada tanggal yang telah ditentukan, tidak diragukan lagi hal itu adalah pelanggaran, terhadap kesepakatan damai yang telah ditandatangani oleh AS sendiri.
”Bila hal itu yang terjadi, para pejuang bangsa Afghanistan akan berusaha untuk mempertahankan kepercayaannya dan tanah airnya serta meneruskan perjuangan bersenjata melawan pasukan asing untuk membebaskan negara kami,” kata Naeem.
Dia menambahkan, perang yang terus berlanjut adalah tanggung jawab pihak yang melanggar nota kesepahaman damai dan hal itu bukanlah dari Taliban.
Ahmad Massoud, putra tokoh perlawanan terhadap Al Qaeda, Ahmad Shah Massoud, menyatakan keprihatinannya dengan rencana keluarnya pasukan AS dari negara itu dan sikap keras Taliban.
Massoud meyakini, setelah pasukan AS dan NATO pergi, giliran rakyat Afghanistan yang harus bertempur dengan Taliban.
”Saya benar-benar khawatir dan saya berharap Taliban menunjukkan kesopanan, menunjukkan bahwa mereka akan menghormati segala jenis penyelesaian dan kesepakatan damai dan politik,” katanya. (REUTERS/AFP)