Tekanan Washington pada Beijing dan Moskwa lewat beragam pernyataan dan kebijakan mendapat perlawanan. China-Rusia menilai, justru Amerika Serikat yang merusak tatanan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
GUILIN, SELASA — China dan Rusia secara terbuka menyebut Amerika Serikat merusak tatanan internasional. Anggota Dewan Keamanan Nasional Perserikatan Bangsa-bangsa perlu bertemu untuk membahas persoalan itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Beijing-Moskwa tidak senang dengan perilaku Washington. ”Kami mengacu kepada sifat merusak dari keinginan AS untuk melemahkan kerangka hukum internasional yang berpusat pada PBB dengan menggunakan aliansi politik-militer warisan perang dingin dan mencoba membangun persekutuan sejenis,” ujarnya di sela-sela pertemuan dengan Menlu China Wang Yi, Selasa (23/3/2021), di Guilin, China.
Ia menyebut, Beijing-Moskwa perlu bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menjaga sistem hukum internasional. Sebab, ada upaya Barat untuk mendorong versi sepihak soal tatanan internasional.
”Di masa peningkatan guncangan politik global, pertemuan para anggota tetap DK PBB sangat penting untuk menghadirikan dialog langsung tentang cara menyelesaikan persoalan bersama umat manusia demi menjaga kestabilan global,” ujarnya.
Wang mengatakan, China-Rusia harus menjadi penjamin dalam urusan antarbangsa. ”China siap mendorong sistem internasional yang didirikan PBB, melindungi tatanan dunia berdasarkan hukum internasional, serta mematuhi nilai universal seperti perdamaian, pembangunan, keadilan, demokrasi, persamaan, dan kebebasan,” ujarnya.
Perisakan
Lavrov dan Wang mengatakan, AS harus berhenti merisak dan mencampuri urusan dalam negeri pada negara lain. Washington juga diminta berhenti berupaya membangun persekongkolan yang diarahkan kepada negara lain. Semua negara harus mengikuti prinsip Piagam PBB untuk mendorong demokratisasi dalam hubungan internasional.
Wang menemui Lavrov setelah bersua Menlu AS Anthony Blinken di Alaska, pekan lalu. Blinken menjumpai Wang setelah bertandang ke Jepang dan Korea Selatan.
Di Seoul dan Tokyo, Blinken yang ditemani Menteri Pertahanan AS Llyod Austin berusaha menggalang aliansi untuk menghadang China. Di Tokyo, Austin-Blinken bisa mendapatkan pernyataan bersama yang keras terhadap China. Di Seoul, Blinken-Austin lebih menekankan soal nuklir Korea Utara.
Tokyo tidak hanya dikunjungi dua menteri AS itu. Sebelum lawatan itu, Jepang bersama India dan Australia juga berbicara secara virtual dengan AS. Forum yang dikenal sebagai quad itu juga membahas cara menghadang peningkatan kekuatan China.
Beijing menyebut dua rangkaian manuver Washington itu sebagai upaya memaksakan tatanan internasional menurut versi AS dan sekutunya. Dalam pertemuan di Alaska, Beijing juga menyinggung soal perilaku Washington.
Juru bicara Kemenlu China, Hua Chunying, mengatakan, kerja sama China-Rusia semakin diperlukan kala dunia semakin tidak stabil. ”Sejak dulu, AS dan Barat hanya mau mencampuri urusan dalam negeri pada negara lain dengan alasan HAM dan demokrasi. Langkah itu menciptakan masalah dan bahkan menjadi sumber ketidakstabilan dan perang. China dan Rusia selalu bekerja sama erat, menolak keras hegemoni dan perisakan,” tuturnya.
Kerja sama
Sejumlah pakar China menyebut, Beijing-Moskwa perlu bekerja sama untuk mengurus ancaman bersama. Hal itu seiring upaya AS yang menghadirkan banyak tantangan pada kedua negara. Tantangan terbaru adalah rangkaian sanksi kepada berbagai pihak di China dan Rusia.
Dalam lawatan di Guinlin, Lavrov memang mengajak penguatan kerja sama Beijing-Moskwa demi kemandirian teknologi dan ilmu pengetahuan. Rangkaian sanksi terhadap perusahaan teknologi China menunjukkan ketergantungan Beijing pada Barat.
Lavrov juga mengusulkan agar dibentuk mekanisme transaksi dengan menggunakan yuan dan rubel agar bisa mengurangi ketergantungan pada dollar AS. Ia mengajak China-Rusia membuat sistem pembayaran yang tidak dikendalikan oleh barat. Dengan demikian, sanksi terhadap China-Rusia bisa dikurangi.
Selama ini kendali pada sistem pembayaran internasional menjadi salah satu senjata andalan Washington dan sekutunya. Dari seluruh transaksi internasional, hingga 60 persen dalam dollar AS, 30 persen dalam euro, dan sisanya dalam mata uang lain.
Seluruh transaksi dalam dollar AS harus melewati sistem kliring di AS. Sementara transaksi dalam euro diproses terutama di London dan Frankfurt. Larangan mengakses sistem keuangan AS atau Uni Eropa dan Inggris membuat transaksi tidak bisa diproses.
AS bolak-balik memakai fakta itu untuk mengancam musuh bahkan sekutunya. Kala keluar dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018, AS mengancam menjatuhkan sanksi terhadap siapa pun yang masih bertransaksi dengan Iran.
Ancaman berlaku pula terhadap sekutu AS di Eropa. Akibatnya, mereka kesulitan memenuhi kewajiban mereka yang disepakati dalam Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA), yakni membuka hubungan ekonomi dengan Iran.
Pakar hubungan China-Rusia pada Chinese Academy of Social Sciences, Yang Jin, menyebut bahwa Beijing-Moskwa sama-sama sadar risiko itu. China-Rusia semakin khawatir sejak AS memberlakukan kebijakan uang longgar selepas krisis 2008. Kala itu, bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan sehingga dollar AS meninggalkan pasar internasional dan kembali ke AS. Hal itu membuat banyak negara kesulitan valas. ”Saran Rusia akan mendapat tanggapan bagus dari China,” kata Yang.
Washington juga dituding memanipulasi SWIFT, sistem pengelola pengiriman uang lintas negara yang berpusat di AS. Sejumlah negara Uni Eropa membahas sistem selain SWIFT selepas AS keluar dari JCPOA.
”Washington menyalahgunakan SWIFT sebagai sarana sanksi sepihak kepada negara mana pun, hal yang memicu ketidakpuasan global. Jika China dan Rusia bekerja sama menentang hegemoni dollar AS, ada banyak negara mau bergabung,” kata Direktur Finance and Securities Institute pada Wuhan University of Science and Technology Dong Dengxin, sebagaimana dikutip Global Times. (AFP/REUTERS)