Nawal el-Saadawi, Penulis, Pejuang HAM, dan Feminis Mesir, Wafatp
Penulis terkemuka yang juga pejuang hak asasi manusia dan feminis asal Mesir, Nawal el-Saadawi, wafat. Pemikirannya kokoh dan menolak kepura-puraan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
KAIRO, SENIN — Penulis terkemuka asal Mesir yang merupakan seorang pejuang hak-hak perempuan yang merevolusi diskusi jender di dunia Arab, Nawal el-Saadawi, meninggal di usia 89 tahun di rumah sakit di Kairo, Mesir, setelah lama berjuang melawan penyakitnya, Minggu (21/3/2021). Kematian Saadawi bertepatan dengan peringatan Hari Ibu di Mesir dan di dunia Arab.
Saadawi adalah penulis produktif yang gigih memperjuangkan pemberdayaan perempuan di tengah masyarakat Mesir yang sangat konservatif dan patriarkis. Selama hidupnya ia berjuang menentang penindasan terhadap perempuan dan tabu-tabu agama.
Penulis 55 buku sekaligus dokter dan psikiater yang vokal itu berkampanye menentang penggunaan jilbab oleh perempuan, ketimpangan dalam hak waris antara laki-laki dan perempuan, poligami, serta sunat perempuan. Ia sempat dipenjara oleh almarhum Presiden Anwar Sadat juga dikecam oleh Al-Azhar, otoritas Muslim Sunni tertinggi di Mesir.
Sabtu (20/3/2021), anak perempuan Saadawi meminta negara untuk menanggung tagihan rumah sakit yang sangat tinggi setelah mengalami patah tulang panggul.
Gigih
”Saya tidak peduli dengan kritik akademik atau orang yang menulis ulasan kritik. Saya tidak begitu dikenal oleh mereka atau oleh pemerintah,” kata feminis radikal itu pada tahun 2015.
”Laki-laki dan perempuan muda di seluruh Mesir dan di luar Mesir telah menghujani saya dengan cinta kasih dan pengakuan,” ujar Saadawi yang buku-bukunya diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, salah satunya adalah Women and Sex yang telah lama dilarang.
Salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Yayasan Obor yaitu berjudul Perempuan di Titik Nol.
Novel yang menghancurkan tabu itu lahir dari balik jeruji ketika Saadawi menjalani hukuman tiga tahunnya di penjara perempuan Qanatir tahun 1981. Ia dipenjara oleh Anwar Sadat bersama dengan sejumlah intelektual.
”Tiga tabu: seks, agama, dan kekuasaan” menjadi domain karya intelektual Saadawi.
Indonesia
Pada akhir November 2006, Nawal el-Saadawi pernah berkunjung ke Indonesia. Ia ambil bagian dalam Konferensi Internasional Ke-7 Perempuan Penulis Drama yang digelar di Jakarta.
Wartawan harian Kompas, Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih, berkesempatan mewawancarainya.
”Saya menjadi penulis pembangkang karena tidak dapat berpartisipasi dalam membuat kebohongan. Mereka berbohong persis seperti ketika George Bush dan Tony Blair berbohong saat mengatakan ada senjata pemusnah massal di Irak. Padahal, mereka menyerang Irak untuk minyak dan menguasai,” ujarnya (Kompas, 3 Desember 2006).
Seluruh pemaparannya di Jakarta mengingatkan pada pidatonya di panggung terbuka Forum Sosial Dunia, Januari 2004, di Mumbai, India. ”Ketakutan adalah bidan perbudakan,” serunya lantang. Inti seluruh pesannya di Jakarta senada: membongkar ketakutan dengan menguakkan selubung pikiran (unveiled the mind) karena perang paling mematikan dan paling berbahaya adalah perang di dalam pemikiran; suatu kampanye untuk melancarkan kontrol dan menjinakkan akal sehat guna menguatkan kepatuhan.
Meski perbudakan oleh selubung pikiran menyasar pada perempuan dan laki-laki, tetapi perempuan merupakan tujuan terpenting dan utama; membuat mereka menerima nasib sebagai takdir dan berhenti bertanya.
Selubung yang menutupi akal sehat itu dirajut dengan sangat canggih melalui media, sistem pendidikan, dan pemikiran politik fundamentalisme dalam berbagai agama, baik di Barat maupun di Timur, di Utara maupun Selatan (Kompas, 3 Desember 2006).
Menolak konservatisme
Saadawi dikenal karena kecamannya yang keras terhadap sunat perempuan yang ia alami ketika berusia enam tahun. ”Sejak anak-anak luka yang dalam di tubuh saya itu tidak pernah sembuh,” tulisnya dalam otobiografinya.
Dalam wawancaranya dengan koran Inggris, The Guardian, tahun 2015, Saadawi menyesalkan konservatisme di negaranya. ”Sesuatu telah terjadi dalam 45 tahun terakhir. Otak perempuan dan laki-laki telah hancur, hancur!” ujarnya.
Saadawi yang menikah dan bercerai sebanyak tiga kali itu juga mengecam tabu-tabu agama dan menentang Ikhwanul Muslimin Mesir yang dituduhnya membajak revolusi Mesir 2011.
Ia merupakan salah satu dari puluhan ribu pemrotes di Tahrir Square, Kairo, yang menentang mundurnya Hosni Mubarak selama revolusi. Jatuhnya Mubarak kemudian diikuti oleh kepemimpinan satu tahun Mohamed Morsi yang penuh gejolak sebelum akhirnya digulingkan oleh tentara pada tahun 2013.
Saadawi pernah mengatakan bahwa Mesir akan lebih baik tanpa ”fundamentalis agama” di tampuk kekuasaan.
Sebaliknya, ia berulang kali melontarkan pujian kepada panglima militer yang kemudian menjadi presiden, Abdel Fatah el-Sisi, hingga membuat banyak pembantunya di lingkaran aktivis cemas. Banyak kelompok sekuler progresif yang kemudian tidak menyukai sikapnya yang menyambut Sisi.
Saadawi juga menjadi target kelompok Islam berhaluan keras. Bersama dengan penerima Hadiah Nobel Sastra dari Mesir, Naguib Mahfouz, yang ditikam dan terluka dalam upaya pembunuhan tahun 1994, nama Saadawi masuk dalam daftar kematian.
”Penolakan mengkritik agama ini, ini bukan liberalisme. Ini penyensoran,” tegasnya kepada The Guardian.
Menyusul berbagai ancaman, di tahun 1993, Saadawi pindah ke Duke University di North Carolina, Amerika Serikat, di mana menjadi penulis di Departemen Bahasa Asia dan Afrika selama tiga tahun.
Ia kemudian kembali ke Mesir dan tahun 2005 mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, ia membatalkan pencalonannya setelah menuduh aparat keamanan tidak mengizinkannya menggelar demonstrasi.
Tahun 2007, ia dikecam oleh Al-Azhar karena drama ”Tuhan Mengundurkan Diri di Pertemuan Puncak” yang dituduh menghina Islam. Saadawi kembali pergi meninggalkan Mesir selama dua tahun.
Selain berpusat pada tabu-tabu agama dan perempuan, puluhan bukunya juga ditujukan pada feminis Barat sekaligus temannya, Gloria Steinem, dan kebijakan yang diambil para kepala negara, seperti invasi Presiden AS George W Bush ke Irak dan Afghanistan.
Saadawi yang memiliki dua anak itu mengatakan, ”Saya menggambarkan hidup saya sebagai hidup yang mengabdikan diri untuk menulis meski saya seorang dokter. Terlepas dari semua rintangan, saya tetap menulis.” (AFP/JOS)