Mengakhiri rasisme anti-Asia di Amerika Serikat berarti harus menangani semua bentuk diskriminasi, kekerasan, dan penindasan yang telah terjadi ratusan tahun. Ini tantangan berat bagi pemerintahan Presiden Joe Biden.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Kekerasan ekstremisme yang dipicu isu rasial menjadi ancaman dalam negeri paling berbahaya bagi Amerika Serikat. Begitu salah satu kesimpulan laporan intelijen dari Biro Investigasi Federal Amerika Serikat, Departemen Keamanan Dalam Negeri, dan Pusat Kontraterorisme Nasional, Rabu. Para pelaku kekerasan yang datang dari kelompok ekstremis seperti kelompok supremasi kulit putih dan sayap kanan dikhawatirkan akan melakukan serangan masif terhadap rakyat AS.
Kelompok supremasi sayap kanan dan kulit putih AS belakangan ini juga gencar menyebarkan selebaran berbau rasis atau anti-Semit, spanduk, poster, dan propaganda bentuk fisik lainnya yang semuanya bernada kebencian. Baru saja keluar laporan intelijen itu, keesokan harinya ada laki-laki kulit putih yang brutal menembak hingga delapan orang tewas, enam di antaranya perempuan asal Asia.
Belum diketahui motif sebenarnya di balik penembakan di kota Atlanta, AS, itu. Namun, bagi publik AS, penembakan itu bukan masalah rasisme, kebencian terhadap perempuan, ataupun isu kelas saja, melainkan juga terkait dengan masalah undang-undang senjata api AS dan gangguan mental.
Guru Besar Studi Etnis di University of California Berkeley, Catherine Ceniza Choy, menilai, perempuan Asia-Amerika selama ini menjadi korban stereotip yang rasis, bias jender, dan melecehkan. Guru Besar Kimberle Crenshaw pernah memakai istilah ”interseksionalitas” tahun 1989 untuk menggambarkan masalah bias yang terkait dengan isu ras, jenis kelamin, kelas, dan karakteristik lain yang terjadi pada saat yang bersamaan.
Perempuan bisa menjadi korban perlakuan diskriminatif. Begitu pula dengan kelompok minoritas. Jika ada korban perempuan dan datang dari kelompok minoritas, maka bisa terkena perlakuan diskriminatif dobel. Kasus penembakan Atlanta menjadi isu sensitif karena publik meyakini pelaku berbuat jahat karena didorong rasa benci. Bisa benci pada perempuan. Bisa juga benci pada masyarakat Asia-Amerika secara keseluruhan.
Kasus-kasus semacam ini seharusnya diperlakukan sebagai kejahatan dengan kebencian. Masalahnya, secara hukum, tidak mudah membuktikan motif kejahatan dengan kebencian. Penembakan Atlanta saja ”hanya” diperlakukan sebagai kasus pembunuhan dan penyerangan biasa, bukan dengan hukum kejahatan dengan kebencian. Padahal, wilayah Georgia sudah mengesahkan undang-undang kejahatan dengan kebencian, Juni, yang memungkinkan pemberian hukuman untuk kejahatan yang dimotivasi berbagai bentuk kebencian.
Penembakan Atlanta, menurut mingguan Times (19 Maret 2021), merupakan persilangan antara isu ras, jenis kelamin, kelas, dan warisan sejarah kolonialisasi serta kekerasan AS di Asia. Kasus ini tidak muncul tiba-tiba. Sejak awal pandemi Covid-19, kebencian dan kekerasan rasis terhadap warga Asia-Amerika kembali menguat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini gara-gara retorika xenofobia anti-China dari mantan Presiden AS Donald Trump yang menuding China menyebarkan Covid-19.
Guru Besar Sosiologi dan Ilmu Politik di University of Sydney Tim Soutphommasane mengingatkan kelompok minoritas sangat mudah dijadikan kambing hitam dan ini yang terjadi saat pandemi meluas ke seluruh dunia.
Kebencian terhadap warga Asia-Amerika di AS ini timbul tenggelam sejak gelombang pertama imigran dari China tiba di AS pada 1850-an. Sejak datang dan bekerja sebagai buruh, warga Asia-Amerika selalu menjadi incaran kekerasan rasis. Buruh China yang berupah murah semakin banyak dipekerjakan untuk membangun jaringan rel kereta. Karena ini, mereka lalu dianggap sebagai ancaman oleh kulit putih dan kerap dipandang kotor dan berpenyakit. Saking tidak sukanya dengan imigran China, AS pernah memiliki UU Pengecualian China pada 1882 yang melarang China masuk AS.
Kebencian pada warga Asia juga terlihat saat 100.000 warga Jepang-Amerika dipenjara karena alasan xenofobia semasa Perang Dunia II. Kekerasan rasial seperti ini sudah menjadi bagian dari sejarah rakyat AS keturunan Asia. Situasinya menjadi lebih ”panas” karena adanya kecemburuan dan anggapan hidup warga masyarakat Asia-Amerika lebih sukses ketimbang kelompok etnis minoritas lainnya. Konon, ini berkat kerja keras, tingkat pendidikan, dan kepatuhan pada hukum.
Presiden AS Joe Biden berusaha memperbaiki kesalahan Trump dengan mengeluarkan ”perintah eksekutif” yang mengecam sikap dan perilaku diskriminatif anti-Asia. ”Kejahatan dengan kebencian terhadap warga Asia-Amerika tidak mencerminkan Amerika dan itu harus dihentikan,” ujarnya. Namun, lima hari setelah perintah itu dikeluarkan, penembakan Atlanta terjadi.
Tidak ada ”peluru emas” yang bisa ampuh menangani kekerasan rasial di AS karena isu ini sudah mengakar dalam sejarah AS. Mengakhiri rasisme anti-Asia di AS juga berarti harus menangani segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan penindasan yang telah terjadi selama berabad-abad. Ini tantangan berat bagi pemerintahan Biden yang mengumandangkan penegakan hak asasi manusia dan demokrasi ke seluruh dunia.