Presiden Joko Widodo pekan lalu mengeluarkan pernyataan cukup keras terkait krisis di Myanmar. Ia juga mendesak digelar pertemuan tingkat tinggi membahas isu itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pernyataan tersebut memiliki bobot tersendiri, sekaligus menggambarkan urgensi isu yang disampaikan. Bukan hanya karena disampaikan langsung oleh kepala negara, melainkan juga dari segi isinya. Sejumlah media asing menyebut pernyataan Presiden itu sebagai salah satu pernyataan terkeras yang disampaikan pemimpin di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia, demikian kata Presiden Joko Widodo dalam pidato yang disiarkan melalui laman Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (19/3/2021), mendesak agar penggunaan kekerasan di Myanmar segera dihentikan sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama, tegas Presiden. Tanpa disebut, sudah jelas kepada siapa pernyataan itu disampaikan.
Sejak kudeta 1 Februari hingga Minggu (21/3/2021), seperti dicatat lembaga independen Asosiasi Bantuan bagi Para Tahanan Politik (AAPP), setidaknya 247 orang tewas di Myanmar. Selain itu, 2.345 orang ditangkap atau didakwa. Dalam pidatonya, Presiden juga mengimbau untuk segera dilakukan dialog dan rekonsiliasi di negara itu. Di ujung pernyataan, Presiden mengusulkan kepada Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN agar menggelar pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk membahas krisis Myanmar.
Dari negeri jiran, pada hari yang sama Perdana Menteri Muhyiddin Yassin juga mengeluarkan sikap terkait isu Myanmar. Isinya senada dan satu napas. Di ujung pernyataan yang disampaikan secara tertulis, PM Muhyiddin mendukung usulan Indonesia agar ASEAN menggelar pertemuan tingkat tinggi darurat membahas krisis Myanmar.
Keputusan Presiden bersama PM Muhyiddin turun gelanggang dalam isu tersebut bisa dibaca menggambarkan kegemasan kedua pemimpin atas sikap keras junta militer, yang ”tutup mata dan tutup telinga” pada seruan komunitas internasional, termasuk seruan para menteri luar negeri ASEAN dalam pertemuan 2 Maret lalu.
Penyelesaian krisis Myanmar kali ini memang tidak semudah saat Indonesia pada 2011 mengambil peran utama dalam meyakinkan semua pihak hingga berujung kepercayaan kepada Myanmar menjadi Ketua ASEAN dan tuan rumah KTT ASEAN 2014. Tanpa mengurangi peran penting, Indonesia kali ini perlu bermitra lebih erat dengan Thailand. Junta Myanmar cenderung mau lebih terbuka kepada Thailand. Setelah kudeta, junta mengirim surat kepada PM Prayuth Chan-ocha.
Di tubuh ASEAN, memang belum terlihat adanya kesatuan pandangan dalam memandang krisis di Myanmar. Thailand, misalnya, di awal menyebut peristiwa di negara tetangganya sebagai urusan dalam negeri Myanmar. Sebelum KTT darurat membahas krisis Myanmar digelar, penting kiranya Indonesia—khususnya dengan Thailand—berupaya menemukan kesamaan pandangan terkait isu Myanmar. Hanya dengan cara itu, ketukan ASEAN yang lebih keras akan lebih didengarkan oleh junta di Myanmar.