Pemerataan Vaksin Covid-19, Desakan Pandemi, dan Kepentingan Ekonomi
Negara-negara di dunia berpacu dengan waktu dalam memvaksin penduduk masing-masing. Namun, stok vaksin Covid-19 di dunia sangat terbatas. Upaya pemerataan vaksin, antara lain melalui produksi massal, masih terhambat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN/BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Dengan tersedianya beberapa vaksin Covid-19 setahun setelah pandemi berlangsung, negara-negara di dunia kini menggenjot program vaksinasinya, memvaksin sebanyak mungkin penduduknya dalam waktu yang sesegera mungkin. Namun, tingginya permintaan vaksin yang tak sebanding dengan persediaan membuat program vaksinasi Covid-19 global belum optimal.
Keinginan negara-negara untuk ”tancap gas” dalam vaksinasi harus menghadapi sejumlah kenyataan pahit. Salah satunya adalah produksi vaksin Covid-19 yang terkonsentrasi di segelintir negara maju.
Dalam jumpa pers pada 5 Maret lalu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan pentingnya dunia meningkatkan produksi vaksin Covid-19. Untuk itu, WHO dan mitranya dalam Covax—mekanisme pengadaan vaksin Covid-19 global—akan mengidentifikasi ”hambatan” dan solusinya yang relevan.
”Kami sedang menghadapi beberapa hambatan untuk meningkatkan kecepatan dan kapasitas produksi, mulai dari larangan ekspor hingga kekurangan bahan-bahan mentahnya, termasuk kaca, plastik, dan tutup vial vaksin,” kata Ghebreyesus.
Sejumlah negara memandang bahwa produksi vaksin Covid-19 global bisa ditingkatkan jika paten atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atas vaksin Covid-19 dilepaskan. Dengan begitu, industri farmasi di mana pun bisa memproduksi vaksin Covid-19 sendiri tanpa harus membayar paten sehingga kebutuhan dunia bisa cepat terpenuhi dan sebarannya akan lebih merata.
Selama ini vaksin Covid-19 yang produksinya terbatas dikuasai oleh segelintir negara kaya. Negara miskin dan berkembang harus mengantre lama untuk mendapatkan vaksin tersebut. Bahkan, pengadaan vaksin Covid-19 oleh Covax yang berupaya mendistribusikan vaksin secara merata di dunia pun tersendat.
Adalah Afrika Selatan (Afsel) dan India yang pada 2 Oktober 2020 mengajukan proposal kepada Dewan Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPS) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar negara-negara tidak dikenai kewajiban paten atau HAKI produk terkait dengan Covid-19 selama pandemi.
Pelepasan HAKI ini memungkinkan negara-negara anggota WTO untuk tidak terikat pada kewajiban paten sehingga mereka bisa memobilisasi industri farmasinya untuk memproduksi vaksin, obat, alat diagnosis, dan teknologi lain terkait Covid-19, termasuk masker dan ventilator.
Pendekatan ini masuk akal. Seperti diketahui, industri farmasi India sangat kuat. Bahkan, sekitar 60 persen produksi vaksin global berasal dari India. Serum Institute of India (SII) mampu memproduksi 70-80 juta dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca-Oxford dalam sebulan.
Eswatini dan Kenya kemudian bergabung dengan India dan Afsel menjadi sponsor proposal ini. Argentina, Bangladesh, Mesir, Indonesia, Mali, Mauritius, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Pakistan, Sri Lanka, Tunisia, dan Venezuela menjadi negara pendukung.
Lembaga Medecins Sans Frontieres (MSF) lalu mengumpulkan surat yang ditandatangani lebih dari 375 organisasi masyarakat sipil yang mendukung langkah itu. Proposal Afsel dan India juga didukung lusinan negara berkembang di WTO.
”Ini kesempatan besar yang terlewatkan untuk mempercepat dan meningkatkan produksi vaksin yang menyelamatkan nyawa di seluruh dunia dengan mengabaikan hambatan kekayaan intelektual,” kata Anna Marriott, Manajer Kebijakan Kesehatan Oxfam.
Dengan adanya hambatan kekayaan intelektual itu, ujar Marriott, hanya produsen yang memenuhi syarat mampu bergabung dalam upaya produksi vaksin. Ia menilai, mengingat pandemi menghancurkan kehidupan di seluruh planet ini, sepatutnya pemerintah negara-negara harus menggunakan kekuatan mereka sekarang dan bukan besok.
Tujuan utamanya, lanjut Marriott, adalah bersama-sama meningkatkan produksi vaksin besar-besaran. Caranya dengan menghapus aturan kekayaan intelektual dan memastikan perusahaan farmasi bekerja sama untuk berbagi teknologi dan memperbaiki kekurangan bahan baku.
Negara kaya menolak
Akan tetapi, negara-negara kaya, dipimpin Amerika Serikat dan Uni Eropa di mana vaksin Covid-19 dibuat, menolak inisiatif itu. Australia, Brasil, Kanada, Jepang, Norwegia, dan Swiss juga menolak. Mereka ingin melindungi industri farmasinya dari kompetisi negara lain, termasuk dari India, China, dan Afsel.
Argumen negara-negara kaya juga masuk akal. Sebab, jika industri farmasinya dipaksa menyerahkan hak atas kekayaan intelektualnya secara gratis, tidak ada lagi insentif untuk melanjutkan kembali riset pengembangan vaksin Covid-19 untuk melawan varian baru virus SARS-CoV-2.
Model bisnis industri farmasi yang telah berjalan selama ini adalah mereka mengeluarkan investasi yang besar dalam penelitian dan pengembangan produk-produk kesehatan yang nantinya meraup keuntungan dari paten yang mereka miliki dari produk atau teknologinya.
CEO Pfizer Alberta Bourla menggambarkan ide pelepasan paten sebagai ”omong kosong” dan bahkan ”berbahaya”. Sementara CEO AstraZeneca Pascal Soriot mengatakan, jika HAKI tidak dilindungi, ”tidak ada insentif bagi semua orang untuk berinovasi”.
Al Jazeera pada 1 Maret 2021 melaporkan, debat HAKI ini bukanlah hal yang baru. Saat puncak epidemi global HIV/AIDS pada pertengahan 1990-an, jutaan penduduk di negara berkembang meninggal tanpa akses pada obat yang tersedia di pasar karena harganya yang mahal akibat aturan paten.
Perlu perjuangan selama tiga tahun sebelum Afsel bisa mengimpor obat antiretroviral terjangkau dengan menghilangkan sejumlah hambatan paten setelah produsen obat mencabut gugatannya dengan menuduh Afsel melanggar kesepakatan perdagangan internasional.
Jalan ketiga
Dalam pidatonya di hadapan Mejelis Umum WTO, 13 Februari 2021, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala menyodorkan ”jalan ketiga” dengan memfasilitasi transfer teknologi dalam kerangka multilateralisme serta mendorong riset dan pada saat yang sama menetapkan kesepakatan lisensi untuk meningkatkan produksi.
Okonjo-Iweala mencontohkan AstraZeneca yang sudah melakukan ini dengan SII India, Fiocruz di Brasil, mAbxience Buenos Aires di Argentina, dan Siam Bioscience di Thailand. Johnson & Johnson juga memiliki perjanjian serupa dengan Aspen Pharmacare di Afsel dan Novavax dengan SII India.
Menurut Okonjo-Iweala, negara anggota WTO memiliki tanggung jawab menolak nasionalisme dan proteksionisme vaksin. Mereka seharusnya meningkatkan kerja sama dalam pengembangan vaksin.
Dalam wawancaranya dengan Journal of the American Medical Association, pakar penyakit menular AS, Anthony Fauci, menyebutkan, semua opsi harus tersedia, termasuk meningkatkan bantuan, meningkatkan kapasitas produksi di negara berkembang, dan bekerja sama dengan industri farmasi untuk merelaksasi paten mereka.
”Negara-negara kaya, termasuk kami, memiliki tanggung jawab moral ketika terjadi wabah global seperti sekarang,” ujarnya. ”Kita harus memvaksin seluruh dunia, tidak cuma penduduk negara kita sendiri.”
Pertarungan soal paten di tengah pandemi yang mengancam penduduk dunia menjadi gambaran betapa vaksin Covid-19 yang disebut-sebut sebagai barang publik pada kenyataannya tidak menggambarkan sebagai barang yang bisa diakses dengan mudah oleh publik. Hukum alam ekonomi tetap berada di atas solidaritas kemanusiaan. (AP)