Vaksin AstraZeneca Tak Terkait Peningkatan Risiko Pembekuan Darah
Badan Pengawasan Obat Eropa menegaskan, vaksin Covid-19 dari AstraZeneca tidak terkait dengan peningkatan risiko pembekuan darah pada penerima vaksin.
Oleh
Kris Mada/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
AMSTERDAM, JUMAT — Komite Penilaian Risiko Farmakovigilans (PRAC) pada Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) dalam pertemuan darurat, Kamis (18/3/2021), di Amsterdam, Belanda, mengumumkan, vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak terkait peningkatan risiko pembekuan darah. Vaksin AstraZeneca ini bahkan memiliki manfaat yang lebih besar ketimbang risiko efek sampingnya.
Vaksin AstraZeneca disebut tidak terkait dengan peningkatan risiko pembekuan darah secara keseluruhan (kejadian tromboemboli) pada penerima vaksin. PRAC juga menegaskan, tidak ada bukti masalah yang terkait dengan sejumlah dosis vaksin tertentu atau lokasi produksi tertentu.
Namun, diakui, vaksin ini dapat dikaitkan dengan kasus pembekuan darah yang sangat jarang terjadi. Misalnya, terkait dengan trombositopenia, yaitu saat sejumlah keping darah (trombosit) rendah yang membuat darah mudah mengggumpal, dengan atau tanpa perdarahan, dan termasuk kasus langka gumpalan di pembuluh darah yang mengalirkan darah dari otak (CVST).
Sekitar 20 juta orang di Inggris dan Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) telah menerima vaksin pada 16 Maret. EMA telah meninjau, hanya ada tujuh kasus pembekuan darah di beberapa pembuluh darah (koagulasi intravaskular diseminata/DIC) dan 18 kasus CVST. Hubungan kausal dengan vaksin tidak terbukti, tetapi mungkin dan perlu analisis lebih lanjut.
EMA akan terus mengabarkan perkembangan terkait produk perusahaan farmasi Inggris-Swedia itu. Sebelumnya tim medis Norwegia menemukan adanya kaitan penggumpalan darah dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Temuan itu menjadi salah satu penyebab Oslo masih menunda penggunaan vaksin AstraZeneca kala negara lain di Eropa mulai memakainya lagi.
Anggota Dewan Direksi Rumah Sakit Universitas Oslo (OUH), Paal Andre Holme, menyebutkan, timnya menemukan bukti itu. Tim menemukan pasien sakit parah bahkan meninggal beberapa hari setelah menerima dosis pertama vaksinasi.
”Kami mendapat hasil yang bisa menjelaskan perkembangan klinis pasien. Hal ini mendukung teori kami bahwa pasien membangun kekebalan yang terlalu kuat yang memicu pembentukan antibodi dan berdampak sehingga terjadi penggumpalan (darah di pembuluh),” ujarnya, Kamis (18/3/2021) waktu Oslo.
Meski demikian, timnya masih memeriksa kaitan vaksin dengan kematian sejumlah orang yang mendapat vaksinasi. Sayangnya, hasil penelitian OUH itu belum diterima European Medicines Agency (EMA).
Kepala EMA Emer Cooke mengatakan bahwa lembaganya telah memeriksa vaksin AstraZeneca selepas penundaan vaksinasi di sejumlah negara Eropa. Pemeriksaan menunjukkan vaksin itu aman dan mangkus.
”Manfaatnya dalam melindungi warga dari Covid-19 melebihi peluang risikonya. Komite juga menyimpulkan vaksin tidak terkait dengan peningkatan risiko tromboemboli atau penggumpalan darah,” ujarnya.
PRAC juga berpendapat, keampuhan vaksin terbukti dalam mencegah penderita Covid-19 sampai dirawat inap dan mencegah kematian akibat Covid-19.
Dalam pernyataan resmi, AstraZeneca gembira dengan temuan EMA. ”Keamanan vaksin adalah hal utama dan kami menyambut keputusan regulator yang menguatkan manfaat besar vaksin kami dalam menghentikan pandemi,” demikian pernyataan perusahaan itu.
Selepas keputusan itu, sejumlah negara Eropa mengumumkan akan kembali memulai vaksinasi dengan produk AstraZeneca. Sementara Swedia dan Norwegia tetap menunda. Lembaga Kesehatan Nasional Norwegia (NIPH) menyebut, keputusan soal vaksinasi dengan produk AstraZeneca akan diumumkan pekan depan.
Oslo dan Stockholm sama-sama menemukan kasus penggumpalan darah selepas vaksinasi dengan AstraZeneca. Temuan mereka menjadi pemicu sejumlah negara Eropa menunda proses vaksinasi dengan produk AstraZeneca.
Kekurangan
Masalah AstraZeneca bukan hanya soal laporan adanya efek samping vaksin mereka. Perusahaan itu juga menghadapi kesulitan produksi. Akibatnya, perusahaan itu mengumumkan pasokan ke Uni Eropa akan terhambat.
”Kami kecewa harus mengumumkan kekurangan pasokan vaksin Covid-19 yang direncanakan ke Uni Eropa meski bekerja tanpa henti untuk mempercepat pasokan,” demikian pernyataan perusahaan itu.
Dampak kekurangan itu antara lain dirasakan Jerman. Pemerintah Negara Bagian Thuringia terpaksa menunda permulaan latihan vaksinasi oleh para dokter. Penundaan dilakukan kala otoritas negara bagian itu menerima peringatan soal lonjakan pasien Covid-19.
Kekurangan juga dialami Inggris, tempat vaksin itu dikembangkan dan lokasi kantor pusat AstraZeneca. Akibatnya, vaksinasi untuk warga di bawah 50 tahun terpaksa ditunda.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyebut kondisi itu dampak yang tidak terhindarkan. Menurut London, hal itu terjadi karena pasokan dari Serum Institute India (SII) terhambat.
SII merupakan salah satu perusahaan yang memproduksi vaksin Covid-19 yang dikembangkan Oxford University bersama AstraZeneca. London mengaku akan menerima 10 juta dosis dari SII pada akhir Maret 2021. Sementara SII menyatakan, tidak ada rencana demikian.
Selain karena kekurangan pengiriman dari SII, London juga harus memeriksa ulang cadangan vaksin selepas laporan di Swedia dan Norwegia. ”Bagian dari program keselamatan,” kata Johnson.
Sebelum pernyataan Johnson, otoritas kesehatan Inggris telah memperingatkan peluang penundaan vaksinasi yang rencananya dimulai 29 Maret 2021. Penundaan berlaku bagi warga berusia di bawah 50 tahun dan dalam kondisi sehat.
Pakar biologi molekul di University of Reading, Simon Clarke, menyebut bahwa penundaan vaksinasi berdampak luas. Salah satunya adalah pembatasan gerak akan semakin lama diberlakukan.
”Jika vaksinasi dipersyaratkan untuk liburan ke luar negeri atau hal lebih ringan seperti menonton bioskop, jutaan orang muda tidak bisa ikut liburan musim panas,” ujarnya. (AFP/AP/REUTERS)