Rakyat Cari Jalan Pulihkan Demokrasi, Tanpa Surat Kabar dan Internet
Penutupan media cetak dan daring indendepen ini melanjutkan tindakan keras junta sebelumnya, yakni memutus jaringan internet serta semua saluran media sosial.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
YANGON, KAMIS -- Kudeta militer Myanmar dan kekerasan senjata aparat junta melawan masyarakat sipil prodemokrasi telah merusak stabilitas keamanan serta ekonomi negara itu sejak kudeta, awal Februari lalu. Lebih dari 200 pengunjuk rasa prodemokrasi telah tewas akibat penembakan oleh aparat.
Kawasan industri Distrik Hlaing Tharyar di pinggiran Yangon, Kamis (18/3/2021), kini sepi karena warga lari ketakutan meninggalkan rumah mereka.
Selain menghadapi kelompok prodemokrasi dengan kekerasan senjata, junta militer memutus hak publik untuk mengakses informasi.
Situs berita Myanmar Now, Kamis (18/3), dalam laporan utamanya menyebutkan, sejak 17 Maret, Myanmar menjadi negara tanpa surat kabar karena semua media massa independen diberedel.
Penutupan media cetak dan daring indendepen ini melanjutkan tindakan keras junta sebelumnya, yakni memutus jaringan internet serta semua saluran media sosial.
Di tengah situasi ini, rakyat sipil Myanmar menaruh harapan pada China agar memerhatikan nasib mereka, setelah tak ada tanda-tanda solusi nyata dari ASEAN. Namun, China bergeming. Karena itu, massa kemudian melampiaskan kekesalan dengan membakar 32 pabrik China.
Pembangkangan sipil terus terjadi. Myanmar Now, Kamis, melaporkan, bank, pusat layanan publik, termasuk kantor pemerintah, masih tutup meski ada tekanan dari junta.
Aparat junta dilaporkan pula memaksa tahanan untuk menandatangani surat yang menyatakan ada kecurangan pemilu di wilayah mereka. Jika bersedia menandatanganinya, tahanan itu akan dibebaskan.
Tuduhan bahwa kubu pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi melakukan kecurangan pemilu dijadikan alasan oleh militer untuk melakukan kudeta. Suu Kyi yang menjadi ikon demokrasi Myanmar dan Presiden Win Myint masih dikenai tahanan rumah.
Kecaman serta sanksi komunitas dunia internasional juga diabaikan junta. Pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Antonio Guterres, Pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan banyak negara lain, tak bisa menghentikan kebrutalan aparat.
Berdampak kecil
Pengajar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Randy Wirasta Nandyatama, menyatakan, sanksi negara-negara Barat berdampak kecil terhadap para pemimpin junta karena selama puluhan tahun mereka mampu bertahan secara mandiri, tanpa tergantung pada Barat.
“Akhir era 1980-an, ketika negara-negara Barat mengembargo militer, mereka mampu membangun struktur ekonomi yang mandiri. Mereka juga bergantung ke China,” kata Randy.
Pasar bagi produk ekonomi lokal yang dibangun oleh pemerintahan Myanmar hanya ditujukan untuk pasar tertentu saja, seperti Singapura dan China. Dengan keadaan itu, menurut Randy, China tidak mau melakukan intervensi terhadap junta.
“Selama sumber-sumber ekonomi militer masih memelihara hubungan, hidup mereka masih panjang,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Thinzar Shunlei Yi, aktivis Myanmar. Dalam diskusi daring dengan aktivis Indonesia, Thinzar mendesak negara-negara yang memiliki hubungan bisnis erat dengan junta Myanmar untuk segera memutus hubungan tersebut.
Ia pun mendesak Singapura, yang diketahui merupakan negara dengan investasi terbesar di Myanmar, untuk mempertimbangkan relasinya dengan Myanmar. Harapan senada disampaikan Thinzar kepada Beijing.
Dinna Prapto Raharja, praktisi dan pengajar hubungan internasional dari Synergy Policies, mengatakan, sanksi ekonomi tak sebanding untuk memiskinkan militer Myanmar.
“Kondisi lapangan menunjukkan bahwa pihak militer bertekad untuk menguasai myanmar sepenuh-penuhnya, apa pun risikonya. Mereka jelas tidak berhitung nyawa,” tutur Dinna.
Kalaupun sumber-sumber ekonomi militer dipotong, menurut Dinna, pihak yang akan terkena dampaknya ialah rakyat Myanmar. Kondisi itu diperumit dengan sikap sejumlah negara tetangga, yang merupakan anggota ASEAN, untuk cenderung mendukung terhadap junta.
Diplomasi
Diplomasi yang tengah diupayakan Indonesia dinilai tak berlangsung mulus. Upaya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkeliling ke sejumlah negara ASEAN menghadapi kendala tak kecil.
ASEAN harus diakui serba kebingungan. Tidak hanya bingung, ASEAN juga tidak satu suara dalam menghadapi kondisi di Myanmar. Perbedaan kepentingan dalam memandang persoalan ini menjadi penyebab anggota ASEAN tidak satu suara dalam situasi ini.
Bahkan, menurut Randy, bila mau berbicara soal demokrasi, ada moral constraint yang terjadi di kalangan pemimpin ASEAN karena beberapa negara anggota ASEAN ini sendiri dipandang sebagai negara semi otoriter, walaupun mereka menggembar-gemborkan diri sebagai negara yang demokratis.
Meski begitu, menurut Randy, ruang negosiasi harus tetap diupayakan untuk dibuka. Jejaring elemen masyarakat sipil Indonesia, menurut Randy, bisa membantu proses ini dengan membuka pikiran kolega-koleganya di Myanmar tentang opsi-opsi yang bisa dipilih sebagai jalan tengah keluar dari krisis sekarang.
“Untuk saat ini yang terpenting adalah mengupayakan agar tidak ada korban jiwa lagi,” kata Randy.
Sementara, Dinna mengatakan, yang penting untuk dilakukan sekarang adalah embargo senjata untuk militer Myanmar dan juga kehadiran pasukan perdamaian di perbatasan Myanmar dengan negara lain, termasuk juga membuka kemungkinan untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Yangon, Naypyidaw, dan Mandalay.
“Hal terpenting adalah menghentikan kekerasan dan membuat stabil kondisi negara itu. Harus ada perubahan persepsi agar militer Myanmar paham bahwa masyarakat sipil, rakyat biasa, berhak dilindungi hak hidupnya dan hak untuk menyuarakan pendapatnya,” kata Dinna. (REUTERS/AFP/MHD)