Dinamika Menuju Ekosistem Baru Timur Tengah
Kuartal pertama 2021 menunjukkan banyak perkembangan positif di Timur Tengah yang mengarah pada bakal terciptanya ekosistem baru di kawasan itu.
Pada kuartal pertama 2021 (Januari hingga Maret 2021), cukup banyak perkembangan positif di Timur Tengah yang mengarah akan terciptanya ekosistem baru di kawasan itu.
Dimulai dari rekonsiliasi Qatar dengan tiga negara Arab Teluk (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab) plus Mesir dalam forum KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi, pada 5 Januari 2021.
Kemudian, Presiden otoritas Palestina Mahmoud Abbas pada pertengahan Januari mengumumkan akan menggelar pemilu presiden, parlemen, dan dewan nasional. Pemilu parlemen Palestina akan digelar pada 22 Mei 2021, pemilu presiden Palestina pada 31 Juli 2021, dan pemilu Dewan Nasional Palestina (PNC) pada 31 Agustus 2021.
Lalu, ada perkembangan positif di Libya, yakni pemerintah persatuan nasional Libya pimpinan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah berhasil mendapat dukungan dan pengesahan parlemen pada 9 Maret 2021. Penunjukan Dbeibah sebagai perdana menteri baru Libya adalah hasil perundingan politik yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menggantikan pemerintah kesepakatan nasional pimpinan PM Fayez al-Sarraj.
Pemerintah baru Libya pimpinan PM Dbeibah, sesuai kesepakatan politik yang digalang PBB itu, hanya bertugas sebagai pemerintahan transisi sampai penyelenggaraan pemilu Libya pada 24 Desember 2021.
Dalam konteks isu Yaman, dimulai lagi perundingan politik untuk mengakhiri perang di negara itu yang berlangsung sejak tahun 2015. Bahkan, AS terlibat langsung dalam perundingan isu Yaman, menyusul tekad Presiden AS Joe Biden untuk segera mengakhiri perang Yaman yang membawa bencana kemanusiaan luar biasa itu.
Utusan khusus AS untuk Yaman, Timothy Lenderking, telah menggelar perundingan langsung dengan salah seorang petinggi kelompok Al-Houthi yang pro Iran, Muhammad Abdul Salam, di kota Muscat, Oman, pada 26 Februari 2021. AS akan membantu upaya PBB yang dipimpin utusan khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, untuk segera mencari formula solusi politik di Yaman.
Ada pula tren ke arah rekonsiliasi Mesir-Turki, di mana hubungan kedua negara itu buruk sejak tahun 2013. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Jumat (12/3/2021) mengungkapkan, kerja sama Mesir-Turki di bidang ekonomi, diplomasi, dan intelijen terus berlanjut, serta berharap hubungan kedua negara lebih kuat lagi.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu kepada kantor berita Anadolu dan stasiun televisi Turki, TRT, pada Jumat (12/3) itu pula mengungkapkan, telah dimulai lagi komunikasi diplomatik Mesir-Turki dalam upaya mengembalikan hubungan normal kedua negara.
Baca juga: Angin Demokrasi Berembus di Palestina
Hubungan buruk Mesir-Turki selama ini disebabkan sikap Turki yang menolak aksi militer Mesir menggulingkan pemerintah Presiden Muhammad Mursi pada 2013. Hubungan kedua negara semakin buruk lagi, menyusul perbedaan sikap atas isu Libya dan kawasan Teluk Arab.
Turki mendukung Qatar dalam konflik dengan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir) yang mengantarkan terjadinya aksi blokade total kuartet Arab tersebut atas Qatar pada tahun 2017. Dalam isu Libya, Turki mendukung pemerintah PM Fayez al-Sarraj di Tripoli, sedangkan Mesir mendukung Jenderal Halifa Haftar di Benghazi.
Terkait dengan isu nuklir Iran, meskipun sampai saat ini belum mencapai kesepakatan untuk kembali ke dalam kerangka kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, AS-Iran terus melakukan perundingan tidak langsung melalui mediator Eropa dalam upaya mencapai kesepakatan.
Jika perkembangan tersebut terus berjalan positif dan membuahkan hasil yang diharapkan, tentu akan berandil lahirnya ekosistem baru yang bisa mengurangi—untuk tidak mengatakan mengakhiri—situasi karut-marut kawasan Timur Tengah selama satu dekade terakhir ini.
Musim semi Arab tahun 2010-2011, yang semula diharapkan melahirkan dunia Arab baru yang lebih maju dan sejahtera, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Dunia Arab kini semakin terpuruk akibat pertarungan perebutan kekuasaan di banyak negara Arab.
Pertarungan perebutan kekuasaan tersebut yang mengantarkan terjadinya perang saudara di sejumlah negara Arab (Suriah, Libya, Yaman) sampai saat ini. Ambruknya sejumlah negara Arab akibat perang saudara itu telah berandil besar atas lahirnya pertarungan geopolitik baru di kawasan Timur Tengah.
Baca juga: Secercah Harapan Tahun 2021 di Timur Tengah
Lahirnya pertarungan geopolitik tersebut akibat sejumlah negara Arab terlibat dalam aksi dukung-mendukung atas komponen-komponen kekuatan politik dan militer yang saling berperang berebut kekuasaan di negara-negara Arab yang dilanda perang saudara itu.
Akan tetapi, memasuki tahun 2021, negara-negara Arab dan non-Arab di Timur Tengah yang terlibat dalam pertarungan geopolitik itu mulai bersedia melakukan evaluasi dan sekaligus rekonsiliasi dalam upaya menciptakan kawasan yang lebih aman dan damai. Rekonsiliasi Arab Teluk yang diumumkan dalam forum KTT GCC di kota Al-Ula itu ibarat lokomotif yang mendorong ke arah terjadinya rekonsiliasi di wilayah lain.
Hal itu barangkali lantaran faktor negara-negara Arab Teluk kaya yang saat ini sedang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Sikap dan manuver negara Arab Teluk kaya sekelas Arab Saudi, Qatar, dan UEA yang memiliki kekuatan ekonomi luar biasa sangat berdampak terhadap kawasan Timur Tengah lainnya.
Rekonsiliasi Arab Teluk itulah yang berandil besar atas tercapainya solusi politik di Libya dan tren rekonsiliasi Mesir-Turki. Cairnya hubungan Qatar, Arab Saudi, dan UEA di kawasan Teluk plus Mesir pasca-KTT GCC di Al-Ula turut membuat cair hubungan komponen-komponen politik dan militer di Libya yang saling berperang selama ini.
Pasalnya komponen-komponen yang saling berperang di Libya itu mendapat dukungan logistik dan senjata dari Qatar, UEA, dan Mesir plus Turki. Maka terjadinya rekonsiliasi di hulu itu segera membantu lahirnya rekonsiliasi di hilir (komponen-komponen yang saling berperang di Libya). Demikian juga rekonsiliasi Arab Teluk itu turut menurunkan ketegangan hubungan Turki dengan Mesir, Arab Saudi ,dan UEA.
Tren rekonsiliasi Mesir-Turki saat ini adalah buah dari rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk. Demikian juga mulai ada tren rekonsiliasi Arab Saudi-Turki dan UEA-Turki sebagai buah dari rekonsiliasi Arab Teluk.
Selama ini hubungan buruk Arab Saudi-Turki akibat konflik Arab Teluk, di mana Turki mendukung Qatar dalam menghadapi Arab Saudi. Hubungan kedua negara itu semakin diperburuk oleh kasus dibunuhnya kolumnis The Washington Post asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Istanbul pada Oktober 2018. Turki saat itu menuduh aparat keamanan Arab Saudi terlibat dalam pembunuhan Khashoggi.
Hal yang sama terjadi pada hubungan buruk Turki-UEA yang juga akibat konflik di kawasan Arab Teluk, ditambah konflik di Libya. Turki mendukung Qatar di kawasan Arab Teluk dalam melawan UEA dan pemerintah PM Fayez al-Sarraj di Tripoli, sedangkan UEA mendukung Jenderal Halifa Haftar di Benghazi.
Setelah mencairnya hubungan Turki-Arab Saudi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Selasa (16/3/2021), mengungkapkan Arab Saudi menyampaikan keinginannya untuk membeli pesawat tanpa awak (drone) canggih buatan Turki, Bayraktar TB-2s. Pesawat drone Bayraktar TB-2s kini sangat populer karena ternyata sangat efektif dalam memenangi pertempuran di Idlib, Suriah; Tripoli, Libya; dan terakhir pertempuran Nagorno-Karabakh di Azerbaijan.
Perkembangan positif di Palestina dengan kesepakatan untuk menggelar pemilu juga tidak lepas dari tercapainya rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk, plus terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru AS. Hamas selama ini mendapat dukungan dari Qatar dan Turki. Sementara faksi Fatah didukung Arab Saudi dan Mesir.
Kini tinggal menunggu tercapainya kesepahaman antara Iran dan Arab Saudi plus UEA untuk segera mencapai solusi politik di Yaman. Adapun isu nuklir Iran juga masih menunggu kemampuan Eropa menjembatani kepentingan AS, Iran, dan negara lain dalam isu nuklir dan isu regional lainnya.