Pemerintah AS dan Korsel memperkuat lagi hubungan setelah empat tahun tanpa kepastian. Kali ini, keduanya membahas strategi yang terkoordinasi dalam menghadapi ancaman nuklir Korut.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
SEOUL, JUMAT — Amerika Serikat dan Korea Selatan menekankan bahwa program rudal nuklir dan balistik Korea Utara merupakan ancaman. Dua negara itu juga sepakat memperkuat kembali kemitraan, termasuk menegaskan ulang komitmen bersama untuk menangani dan menyelesaikan ancaman itu dengan strategi terkoordinasi.
Isu nuklir Korut itu muncul dalam pertemuan ”dua plus dua”, yakni melibatkan menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara, di Seoul, Kamis (18/3/2021). Mereka adalah Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri Korsel Chung Eui-yong serta Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Korsel Suh Wook.
Lawatan bareng Blinken dan Austin ke Seoul merupakan bagian dari upaya Presiden AS Joe Biden untuk membangun kembali kemitraan dengan negara-negara Asia pasca-kebijakan presiden terdahulu, Donald Trump, yang lebih memprioritaskan ke dalam. Keduanya tiba di Seoul, Rabu (17/3/2021), setelah melakukan lawatan ke Tokyo, Jepang.
Kunjungan kenegaraan langsung dua menteri kabinet Biden ini untuk pertama kalinya dalam empat tahun terakhir sejak 2016 oleh pejabat tinggi AS. Pemerintahan Biden ingin memperkuat lagi setelah empat tahun tanpa kepastian di bawah pemerintahan Trump. Langkah Biden ini untuk menegaskan lagi prioritasnya ”menghidupkan kembali dan memodernisasi” kemitraan demokrasi dalam menghadapi beragam tantangan di masa depan, termasuk menghadapi Korut.
Koordinasi kebijakan antara AS dan Korsel menjadi agenda utama karena kedua negara ini mencari cara untuk memulai kembali hubungan diplomasi dengan Pyongyang sambil mencegah potensi provokasi di tengah tanda-tanda adanya aktivitas di kompleks nuklir Yongbyon, Korut. AS menekankan pentingnya implementasi penuh resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Semenanjung Korea.
”Kedua belah pihak memiliki pandangan yang sama bahwa masalah ini harus ditangani melalui strategi terkoordinasi penuh antara Korsel dan AS dalam menghadapi Korut,” demikian pernyataan bersama empat menteri itu, seperti dilaporkan kantor berita Yonhap.
Menurut Yonhap, kemarin, saat menerima kunjungan Blinken dan Austin, Presiden Korsel Moon Jae-in menyatakan, negaranya akan mempertahankan kerja sama yang erat dengan AS untuk mencapai denuklirisasi sepenuhnya di Semenanjung Korea dan mewujudkan perdamaian abadi di kawasan itu.
Moon mengatakan, dalam menjalin kemitraan selama 70 tahun, Korsel-AS berbagi nilai-nilai yang sama, seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua negara akan menghadapi tantangan bersama-sama. ”Khususnya, kedua pihak akan melanjutkan kerja sama erat dalam denuklirisasi Semenanjung Korea dan menciptakan perdamaian abadi,” ujarnya.
Sementara Blinken mengatakan bahwa pengkajian kembali kebijakan Washington terhadap Korut dilakukan, antara lain, dengan mengevaluasi semua opsi yang tersedia, termasuk ”langkah tekanan” dan ”jalur diplomasi”. Dalam prosesnya, AS juga mendengarkan suara dari sekutu-sekutunya, termasuk di semenanjung, yakni Korsel.
Washington pun telah beberapa kali berupaya mengontak Pyongyang sejak pertengahan Februari, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan.
Sementara Austin menyaksikan penandatanganan kesepakatan baru soal pembayaran Korsel bagi pendanaan 28.500 anggota pasukan AS yang ditempatkan di sana untuk melindungi kepentingan Washington di kawasan dan membela Korsel dari ancaman negara tetangganya.
Sebelumnya, Blinken menuduh rezim ”otoriter” di Korea Utara melakukan pelanggaran yang ”meluas dan sistemik” terhadap warganya sendiri. Sementara Austin menekankan pentingnya kemitraan AS-Korsel dalam menghadapi ”tantangan baru” dari Korut dan China.
Respons Korut
Menanggapi itu, Wakil Menteri Luar Negeri Pertama Korut Choe Son Hui menuduh Pemerintah AS mengadopsi ”teori gila”. Dikatakannya, Pyongyang akan mengabaikan upaya dialog yang dibangun Washington kecuali jika mereka mengubah arah kebijakannya yang cenderung menjadikan Pyongyang sebagai musuh bebuyutannya.
”Tidak akan ada kontak atau dialog antara Washington dan Pyongyang kecuali jika AS menarik kembali kebijakan permusuhannya terhadap Korut,” kata Choe dalam sebuah pernyataannya yang dirilis KCNA, kantor berita resmi rezim pemerintahan Kim Jong Un.
”Rezim baru” di AS, menurut Choe, hanya memiliki ”teori gila soal ancaman dari Korut dan retorika tidak berdasar tentang denuklirisasi sepenuhnya”. Blinken tidak memberikan komentar atau tanggapan balik atas pernyataan Choe tersebut.
Menurut Choe, jika Washington ingin bertemu dan melakukan pembicaraan dengan Pyongyang, keduanya harus bertemu dalam posisi yang setara. ”Kami pertegas lagi bahwa kami tak akan memberikan kesempatan seperti di Singapura dan Hanoi lagi,” ujar Choe, mengacu pada dua pertemuan Trump dan Jong Un sebelumnya.
Pembahasan denuklirisasi Semenanjung Korea yang pernah dilakukan Trump dan Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong Un kandas di Hanoi awal 2019 setelah mereka gagal menyepakati soal pencabutan sanksi bagi Korut.
Sebelum di Hanoi, keduanya bertemu di Singapura pada Juni 2018 seusai hubungan naik-turun yang sempat menutup peluang dialog bilateral di antara mereka. Belakangan ini, diplomasi AS-Korut kembali berada di jalan buntu dengan tensi ketegangan yang meningkat.
Dari Seoul, Blinken akan terbang ke Anchorage, Alaska, AS, untuk bertemu dengan para pejabat China, Jumat ini WIB. Di sana, ia akan memberikan tekanan kepada China terkait berbagai isu, termasuk denuklirisasi di Semenanjung Korea. Austin mengatakan, China, bersama dengan Korut, menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”China memiliki peran penting dalam meyakinkan Korut untuk berkomitmen dalam denuklirisasi,” ujar Blinken.
Blinken menekankan bahwa China memiliki kewajiban untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara atas uji coba rudal dan program nuklir mereka.
”Hampir semua hubungan ekonomi dan perdagangan Korea Utara dengan atau melalui China, jadi China memiliki pengaruh yang luar biasa. Saya pikir China juga memiliki kepentingan bersama soal program nuklir Korea Utara karena itu menjadi sumber ketidakstabilan di kawasan. Itu sumber bahaya dan jelas ancaman bagi kami dan mitra-mitra kami,” tutur Blinken dalam jumpa pers.
Kantor berita Yonhap melaporkan, Korea Selatan berencana menambah anggaran untuk meningkatkan hubungan sipil-militer sebesar 206 miliar won atau sekitar 182 juta dollar AS tahun ini, mengerjakan lebih dari 200 proyek yang berfokus pada penggunaan teknologi canggih.
Menurut Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan, tambahan anggaran itu menandai peningkatan alokasi dari 178 miliar won tahun lalu, menembus angka di atas 200 miliar won untuk pertama kalinya.
Dari total tambahan 206 miliar won, 164,3 miliar won di antaranya akan dipakai untuk menjalankan proyek bersama militer dan perusahaan swasta, sementara 32,5 miliar won akan digunakan untuk transfer teknologi.
Di bawah rencana itu, Korea Selatan akan melucurkan proyek penerapan teknologi realitas virtual dan realitas augmented dalam pemeliharaan kapal sambil mengembangkan program pendidikan dan pelatihan bagi prajurit.
Korea Selatan juga akan memanfaatkan teknologi cetakan tiga dimensi untuk menghasilkan peralatan dan komponen senjata militer serta berencana membuat panduan dan standar untuk mengurangi kerusakan. (AFP/REUTERS)