Rusia menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi perdamaian Afghanistan. Konferensi ini akan membahas proposal perdamaian AS yang baru, yang mendorong pembentukan pemerintahan sementara di Afghanistan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Rusia akan menjadi tuan rumah konferensi perdamaian Afghanistan, yang akan membahas langkah lebih lanjut perundingan damai yang menemui jalan buntu. Konferensi yang akan berlangsung di Moskwa, mulai Kamis (18/3/2021) waktu setempat, membahas proposal perdamaian terbaru dari Pemerintah Amerika Serikat.
Para tokoh kunci dari para pihak akan hadir dalam konferensi tersebut. Pemerintah Afghanistan dikabarkan mengirimkan Penasihat Keamanan Nasional Hamdullah Mohib untuk hadir dalam konferensi pertama dari tiga konferensi yang direncanakan itu.
Sedangkan Kelompok Taliban mengutus salah satu pendiri kelompok ini yang juga merupakan Kepala Kantor Politik di Qatar, Mullah Abdul Ghani Baradar, beserta 10 orang anggota delegasi.
Sementara AS diwakili oleh Utusan Khusus untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad. Pakistan, Iran, India, dan China juga turut berpartisipasi dalam konferensi pertama ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diminta oleh Pemerintah AS sebagai fasilitator perundingan damai kali ini menunjuk diplomat veterannya, Jean Arnault, untuk menghadiri pertemuan itu bersama Kepala Misi bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA), Deborah Lyons.
Stephane Dujarric, juru bicara Sekjen PBB Antonio Guterres, mengatakan bahwa penunjukan Arnault sebagai utusan khusus mencerminkan komitmen berkelanjutan PBB untuk penyelesaian damai konflik di Afghanistan.
Pertemuan di Moskwa kemungkinan akan membahas beberapa proposal perdamaian baru yang diusulkan Gedung Putih. Beberapa hal yang progresif dalam usulan itu adalah pembentukan pemerintahan sementara yang terdiri dari berbagai elemen menggantikan pemerintahan yang ada sekarang ini, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta masalah gencatan senjata.
Selain itu, kelompok Taliban diminta untuk menghapus semua struktur militer dan militernya dari negara-negara tetangga.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah mengusulkan pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Turki untuk mencapai kesepakatan komprehensif yang dapat membentuk pemerintahan baru yang inklusif berdasarkan proposal baru tersebut.
Namun, masih banyak masalah yang tampaknya tak terpecahkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh rival di Afghanistan memiliki sejarah terpecah-pecah dan kekerasan. Yang terperangkap di tengah adalah warga Afghanistan biasa. Mereka khawatir, masa depan mereka yang tidak pasti akan ditentukan oleh panglima perang, pemerintahan yang korup, dan fundamentalis Taliban.
Tenggat 1 Mei
Pelaksanaan konferensi itu juga terkait dengan rencana penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan pada 1 Mei mendatang. Presiden AS Joe Biden mengatakan, akan sangat sulit bagi Pemerintah AS untuk memenuhi tenggat itu.
”Bisa saja terjadi, tapi sulit. Saya sedang dalam proses membuat keputusan itu sekarang,” kata Biden, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi.
Taliban dengan cepat bereaksi terhadap komentar Biden. Seorang juru bicara Taliban mengatakan, akan ada konsekuensi jika AS tidak berpegang pada jadwal yang disepakati.
Biden mengatakan, tenggat itu bukan kesepakatan yang dinegosiasikan dengan sangat kuat dan diawasi dengan baik oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Dia juga menilai, ada kontribusi masa transisi pemerintahan AS dari Trump pada dirinya yang memberi dampak terhadap situasi sekarang ini.
”Kegagalan untuk memiliki transisi yang teratur dari kepresidenan Trump ke kepresidenan saya telah menghabiskan waktu dan ini konsekuensi saya. Itu salah satu masalah yang kita bicarakan sekarang mengenai Afghanistan,” paparnya.
Amerika Serikat seharusnya menarik semua tentaranya pada 1 Mei sesuai kesepakatan yang membuat Taliban menyetujui pembicaraan damai dengan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani di Afghanistan.
Sesuai kesepakatan itu, kelompok Taliban juga berjanji untuk tidak mengizinkan wilayah tersebut digunakan oleh ”teroris”, tujuan awal invasi AS ke Afghanistan setelah serangan 11 September 2001. Namun, pembicaraan damai yang seharusnya diadakan di Qatar sejak September tidak membuat banyak kemajuan. (AFP/AP)