Dua Menteri AS Akan Bahas Korea Utara dengan Seoul
Dua menteri Amerika Serikat tiba di Seoul, Korea Selatan, setelah menggelar kunjungan ke Tokyo, Jepang. Lawatan ke dua negara ini adalah upaya AS merekalibrasi posisinya di kawasan Asia.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
ANDREW CABALLERO-REYNOLDS/POOL/AFP
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berpidato tentang prioritas kebijakan luar negeri pemerintahan Biden di ruang Benjamin Franklin di Departemen Luar Negeri AS di Washington, AS, 3 Maret 2021.
SEOUL, RABU — Seusai dari Tokyo, Jepang, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin melanjutkan lawatannya di Seoul, Korea Selatan, Rabu (17/3/2021). Dalam lawatan kali ini, isu Korea Utara menjadi fokus utama yang akan dibahas Blinken dan Lloyd dengan mitranya dari Korea Selatan.
Topik lain yang mungkin dibahas adalah pembicaraan apakah Korea Selatan akan aktif berpartisipasi dalam upaya yang dipimpin AS untuk menandingi kekuatan China yang menguat di kawasan.
Korea Selatan adalah sekutu lama AS dan menjadi pangkalan bagi 28.500 pasukan AS. Namun, ekonomi Korea Selatan sangat bergantung dengan China hingga membuatnya sulit mengambil langkah apa pun yang dianggap provokatif terhadap mitra dagang terbesarnya itu. Ketika Korea Selatan diizinkan memasang pertahanan antirudal pada tahun 2017, Negeri Ginseng itu sedang mengalami pembalasan ekonomi dari China yang melihat sistem pertahanan itu sebagai ancaman.
Blinken akan bertemu dengan mitranya, Menteri Luar Negeri Korea Selatan Chung Eui-yong, sementara Austin akan dijamu Menteri Pertahanan Korea Selatan Suh Wook secara terpisah dan akan menggelar pertemuan bersama, Kamis (18/3/2021).
Sudah hampir dua tahun pembahasan soal program nuklir Korea Utara mandek. Sejumlah pakar mengatakan, AS dan sekutunya harus menyetujui kesepakatan yang akan menghentikan program nuklir Korea Utara, dengan imbalan relaksasi sanksi dan—barangkali—membiarkan senjata nuklir yang sudah dikembangkan Pyongyang.
Diplomasi AS soal Korea Utara berada dalam ketidakpastian sejak pertemuan puncak antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada Februari 2019 di Hanoi, Vietnam. Pertemuan itu gagal mencapai titik temu, terutama soal sanksi dan penghapusan nuklir Korut. Sejak itu, Kim mengancam akan memperluas program senjata nuklirnya sebagai protes terhadap apa yang disebutnya sebagai sikap permusuhan AS.
Kompas
Kim Yo Jong, adik Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, 2 Maret 2019.
Selasa kemarin, Kiom Yo Jong, saudari Kim Jong Un, mengecam latihan militer AS bersama Korea Selatan. Korea Utara melihat latihan ini sebagai latihan invasi. ”Kami jadikan kesempatan untuk memperingatkan pemerintahan AS,” kata Kim Yo Jong dalam pernyataannya. ”Jika AS ingin tidur dalam damai untuk empat tahun ke depan, sebaiknya langkah pertamanya jangan menimbulkan bau," kata Kim Yo Jong yang juga duduk sebagai pejabat senior di Korea Utara.
Sejumlah pakar menyebut pernyataan Yo Jong itu sebagai taktik tekanan. Selain itu, Pyongyang mungkin akan terus meningkatkan permusuhan dengan menguji senjata untuk menaikkan pengaruhnya dalam negosiasi dengan Washington.
Ditanya soal pernyataan Kim Yo Jong, Menlu AS Antony Blinken dalam jumpa pers di Tokyo mengatakan, dirinya akrab dengan komentar seperti itu tapi ia lebih tertarik mendengarkan sekutu dan mitra AS.
Menurut Blinken, Washington mencoba menghubungi Korea Utara melalui berbagai kanal mulai pertengahan Februari 2021, tapi tidak pernah direspons. Pemerintahan Biden sedang menyelesaikan kajian kebijakan soal Korea Utara dalam beberapa minggu ke depan. Ada kemungkinan munculnya langkah-langkah atau tekanan tambahan serta mengoptimalkan jalur diplomasi.
Shim Beomchul, analis Korea Research Institute for National Strategy yang berbasis di Seoul, mengatakan, dirinya berharap pemerintahan Biden benar-benar mengusahakan tercapainya kesepakatan dengan Korea Utara seperti kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Kesepakatan itu antara lain berisi pembekuan program nuklir Iran sebagai imbalan pencabutan sanksi.
REUTERS/DIGITALGLOBE 2019/BEYOND PARALLEL/CSIS
Citra satelit yang diambil pada Jumat, 12 April 2019, dan dirilis pada Selasa (16/4/2019), menunjukkan apa yang oleh para peneliti dari Beyond Parallel, dalam proyek CSIS, diduga sebagai peti kemas pengiriman berukuran 6 meter di dekat pabrik pengayaan uranium di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon di Pyongan Utara, Korea Utara.
AS sepertinya cenderung tidak akan menurunkan komitmennya terhadap denuklirisasi Korea Utara. Namun, mengembalikan kemampuan nuklir Korea Utara ke titik nol bukanlah tujuan diplomatik jangka pendek yang realistis.
Dalam opininya di New York Times tahun 2018, Blinken yang saat itu adalah Direktur Penn Biden Center for Diplomacy and Global Engagement berargumen bahwa kesepakatan terbaik AS dengan Korea Utara akan mirip seperti yang dicapai Barack Obama dengan Iran.
Menurut Blinken, kesepakatan sementara akan memberi waktu untuk negosiasi kesepakatan yang lebih komprehensif, termasuk tahapan peta jalan yang membutuhkan diplomasi berkelanjutan. Menurut Blinken, itulah pendekatan yang diambil Presiden Obama dengan Iran.
Akan tetapi, pakar lain mengatakan, gaya pendekatan Iran tidak akan berhasil jika diterapkan dengan Korea Utara. Iran belum mengembangkan satu pun bom nuklir, tapi Korea Utara telah memproduksi puluhan. (AP)