Sistem Pemilu China Dinilai Memusnahkan Elemen-elemen Demokrasi
Langkah Beijing merombak sistem pemilu di Hong Kong memicu protes warga Hong Kong di perantauan. Mereka menyerukan reformasi dan penghapusan UU Keamanan Nasional China.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
HONG KONG, SENIN – Reformasi pemilu yang diberlakukan China di Hong Hong dinilai memberangus elemen-elemen demokrasi. Karena itu, warga Hong Kong di pengasingan meluncurkan protes dan tekanan baru kepada Beijing setelah protes serupa di Hong Kong dibungkam, para aktivis dan tokoh prodemokrasi dipenjara.
Dalam surat bertajuk ”Piagam Hong Kong 2021”, para aktivis menyatakan, ”banyak warga Hong Kong tidak punya pilihan kecuali tinggal di pengasingan sementara mereka yang tersisa di Hong Kong hidup di bawah ketakutan yang terus-menerus akan dipersekusi secara politik satu hari nanti.”
”Reformasi Pemilu 2021 yang diberlakukan Partai Komunis China semakin memusnahkan elemen demokrasi dalam pemilu kami, meletakkan paku terakhir di peti mati untuk ”Satu Negara, Dua Sistem,” sebut surat itu seperti dilaporkan AP, Senin (15/3/2021).
Surat yang ditandatangani oleh delapan tokoh oposisi terkemuka itu menyerukan dukungan internasional untuk menangkal apa yang mereka sebut sebagai ”agresi global” Partai Komunis China bersama dengan reformasi pemerintahan dan kepolisian serta penghapusan Undang-Undang Keamanan Nasional China yang berlaku sejak Juli 2020.
Sejak diberlakukan, UU itu telah berdampak besar. Sejumlah mantan anggota parlemen telah didakwa menggunakan UU itu hingga membuat banyak di antara mereka lari mencari suaka ke luar negeri.
”Di bawah tekanan yang besar dari China seperti itu, diaspora Hong Kong memiliki tanggung jawab yang lebih untuk berbicara dan memastikan kami menarik perhatian internasional,” kata Nathan Law, warga Hong Kong, yang kini menetap di Inggris saat jumpa pers daring, Minggu (14/3).
”Kami berharap komunitas kami di luar negeri akan terus berjuang sampai kami bisa memilih pemimpin kami sendiri,” kata Nathan Law.
Pada 2019, selama berbulan-bulan Hong Kong diguncang gelombang protes antipemerintah yang disambut tindakan keras aparat keamanan dan otoritas di Beijing. Bulan ini, lembaga legislatif China menyetujui perubahan peraturan pemilu di Hong Kong yang akan mengeliminasi pengaruh oposisi politik.
Perubahan ini memperkuat kendali Beijing atas pemilihan pemimpin Hong Kong termasuk susunan anggota legislatifnya. Ini memicu kritik Amerika Serikat dan Inggris.
Ingkar janji
China telah berjanji membiarkan Hong Kong mempertahankan kebebasannya yang tidak dimiliki wilayah lain di China selama 50 tahun. Akan tetapi, aturan baru soal pemilu justru mengkhianati itu.
Pada 11 Maret 2021, South China Morning Post melaporkan, Kongres Rakyat Nasional China menyetujui resolusi yang akan merombak sistem pemilu Hong Kong secara drastis untuk memastikan hanya ”patriot” yang boleh memimpin Hong Kong. Persetujuan itu final.
Kantor berita pemerintah China, Xinhua, mengonfirmasi bahwa di bawah sistem pemilu yang baru anggota Kongres Rakyat Nasional dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China yang merupakan badan penasihat politik tertinggi, akan menjadi bagian dari Komite Pemilu yang memilih pemimpin Hong Kong tahun depan.
Anggota Komite Pemilu akan diperluas menjadi 1.500 orang untuk mengakomodasi 300 orang loyalis Beijing yang menjadi sektor kelima. Empat sektor lainnya, yaitu kelompok pebisnis, profesional, sosial, dan politik, masing-masing tetap memiliki 300 perwakilan dalam komite itu. Kelompok prodemokrasi tidak diberi ruang.
Dewan Legislatif juga akan ditambah dari 70 menjadi 90 kursi dan akan dipilih melalui komite, daerah pemilihan fungsional, dan pemilihan langsung. Memang itu keinginan Beijing.
Pada Sabtu (13/3), Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, mengatakan, keputusan Beijing untuk ”memberlakukan perubahan radikal membatasi partisipasi dalam sistem pemilu Hong Kong… adalah bagian dari pola yang dirancang untuk melecehkan dan membungkam semua suara kritis terhadap kebijakan China.”
Raab juga mengatakan, langkah itu merupakan pelanggaran ketiga Beijing atas kesepakatan tahun 1984 yang diharapkan akan melindungi kebebasan Hong Kong setelah penyerahan kekuasaan. (AP/ADH)