Masyarakat Sipil Myanmar Meradang, Pabrik China Jadi Sasaran
Beijing melalui kedutaan besarnya di Myanmar mendesak petinggi junta militer untuk menghentikan kekerasan dan menangkap pelaku vandalisme.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Masyarakat sipil Myanmar menilai China bersikap diam atas langkah yang dilakukan junta militer. Sementara itu, korban jiwa terus berjatuhan akibat kekerasan aparat junta.
YANGON, SENIN -- Sebanyak 32 pabrik yang dibangun dengan dana investasi China di kawasan industri Shwe Lin Ban, di kota praja Hlaing Tharyar, Yangon, Myanmar, dirusak, dijarah, dan dibakar.
Beijing melalui kedutaan besarnya di Myanmar mendesak petinggi junta militer untuk menghentikan kekerasan dan menangkap pelaku vandalisme.
Sementara itu, kalangan sipil Myanmar menyatakan kemarahan atas kurangnya perhatian China terhadap nasib mereka, di mana lebih dari 100 orang terbunuh dalam aksi protes terhadap kudeta militer. Sikap diam China menimbulkan beragam tafsir, termasuk mengira Beijing mendukung kudeta.
Surat kabar China, The Global Times, Senin (15/3/2021), di akun Twitter-nya menyebutkan, dua karyawan China terluka akibat insiden itu dan kerugian diperkirakan 36,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 531,5 miliar.
Kedubes China di Myanmar telah meminta aparat keamanan junta untuk menjamin keselamatan perusahaan sekaligus karyawan pabrik-pabrik China. Rakyat Myanmar juga diminta untuk tidak terprovokasi dan jangan mau dimanfaatkan oleh para pelaku.
Investasi China pada industri tekstil Myanmar menciptakan sedikitnya 400.000 lapangan pekerjaan bagi rakyat setempat. ”Tindakan sangat buruk seperti itu juga akan merusak kepentingan rakyat Myanmar,” demikian pernyataan Kedubes China.
Pabrik China yang dirusak, antara lain, Huanqiu dan Meijie. The Global Times juga menyebutkan, dari pengakuan warga setempat, para pelaku diduga warga setempat juga. Sebanyak 20-30 orang yang berkendara sepeda motor dilaporkan menyerang pabrik-pabrik itu sambil membawa kapak, batang besi, dan bensin. Mereka merusak pabrik dan menuangkan bensin lalu membakarnya.
Lu Tong, warga China yang tinggal di dekat kawasan industri itu, mengatakan, ada hotel yang juga dirusak. Dari tempat tinggalnya, Tong melihat asap tebal dan mendengar suara-suara tembakan senjata dari kawasan industri itu. Para pelaku diduga warga Myanmar yang anti-China.
Jika ada satu saja warga sipil yang terbunuh, pabrik China akan dibakar
Dua hari sebelum serangan ke pabrik, pendiri NGO ”Jaringan Hak Asasi Manusia Burma”, Kyaw Win, mencuit di Twitter ”jika ada satu saja warga sipil yang terbunuh, pabrik China akan dibakar”. Cuitan Win disebarkan aliansi Teh Susu Myanmar.
Sentimen anti-China mulai terasa sejak awal kudeta militer, 1 Februari lalu, karena China dianggap diam saja dan tidak mengecam junta militer seperti halnya negara-negara lain.
Pemimpin protes, Thinzar Shunlei Yi, menegaskan rakyat Myanmar tidak membenci China, tetapi Beijing harus bisa memahami amarah rakyat Myanmar terhadap kudeta.
”Pemerintah China harus menghentikan dukungannya pada junta militer jika peduli dengan hubungan China-Myanmar dan jika mau melindungi bisnis mereka,” cuitnya di Twitter.
Korban terus berjatuhan
Situasi di Myanmar kian tidak terkendali dengan semakin banyaknya pengunjuk rasa yang tewas ditembak aparat keamanan junta. Sedikitnya lima pengunjuk rasa tewas ditembak aparat, Senin (15/3).
Bahkan, menurut Myanmar Now, akibat kekerasan brutal aparat sehari sebelumnya, 59 orang tewas di sejumlah kota praja, termasuk Hlaing Tharyar, Kyimyindaing, dan Dagon Selatan.
Para aktivis HAM menyebutkan kekejaman aparat junta dalam sehari itu sebagai pembantaian. Jumlah total korban tewas mencapai 140 orang.
Penyelidik HAM PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, meminta negara-negara anggota PBB untuk memutus pengiriman uang tunai dan suplai senjata ke junta militer Myanmar.
”Dalam satu hari saja, begitu banyak korban tewas akibat dibunuh aparat keamanan. Para pemimpin junta tidak sepantasnya berkuasa. Mereka harus dipenjara,” tulisnya di Twitter.
Junta militer menyatakan status darurat militer di enam kota praja, yakni Dagon Utara, Dagon Selatan, Dagon Seikkan, Okkalapa Utara, Hlaing TharYar, dan Shwepyitha. Kendali keamanan berada langsung di tangan militer dan bukan polisi.
Dewan Administrasi Negara bentukan junta militer disebut bertindak memperketat keamanan serta memulihkan hukum dan ketertiban. Komandan regional Yangon diberikan kekuasaan administratif, yudisial, dan militer di wilayahnya. (REUTERS/AFP/AP/LUK)