Korban Terus Bertambah, Dunia Kembali Kecam Brutalisme Junta Militer Myanmar
Rakyat Myanmar terus menjadi sasaran perburuan junta militer meski dunia internasional berulang kali mengeluarkan kecaman terhadap kekejaman aparat keamanan junta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Rakyat Myanmar terus saja menjadi sasaran empuk kekerasan senjata aparat junta militer meski dunia sudah berulang kali mengecamnya. Setelah sedikitnya 183 orang tewas, kini komunitas internasional mengulangi lagi seruannya agar junta menghentikan kekerasan brutalnya.
Seruan tersebut disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS), dan Inggris. Jumlah warga sipil yang tewas terus bertambah setelah Senin (15/3/2021) aparat menembak mati sedikitnya 20 pengunjuk rasa damai.
Pada Minggu, 74 warga tewas, sebagaimana disampaikan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Total, menurut catatan AAPP, sejak hari pertama kudeta, korban sipil yang tewas akibat kebrutalan junta telah mencapai angka 183 jiwa.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres terkejut dengan meningkatnya kekerasan di tangan militer negara. Apalagi sejauh ini para pemimpin junta militer menutup mata tentang jatuhnya korban warga sipil dengan tidak mengindahkan seruan untuk menahan diri.
Melalui juru bicaranya, Stephane Dujarric, Guterres mendesak dunia internasional membantu mengakhiri penindasan junta militer yang dipimpin Jenderal Senior Ming Aung Hlaing. Hlaing berada di pusaran bisnis dan politik negara pariah tersebut sehingga segala cara diambil untuk menjaga posisi itu.
Pemerintah AS mengulangi seruannya kepada dunia internasional untuk mengambil tindakan konkret terhadap junta militer Myanmar.
”Junta telah menanggapi seruan untuk pemulihan demokrasi di Birma (Myanmar) dengan peluru. AS terus meminta semua negara untuk mengambil tindakan konkret untuk menentang kudeta dan meningkatkan tekanannya terhadap junta,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jalina Porter.
Desakan agar komunitas internasional melakukan tindakan nyata disampaikan Dr Sasa, Utusan Khusus Komite Mewakili Majelis Persatuan (Pyidaungsu Hiuttaw), melalui cuitannya. Pyidaungsu Hiuttaw merupakan lembaga legislatif dua kamar, yakni majelis tinggi (Amyotha Hluttaw) dan majelis rendah (Pyithu Hluttaw).
Menurut Sasa, tekanan internasional yang keras, terorganisasi dalam bentuk sanksi ataupun yang lain sangat diperlukan untuk bisa menghentikan kebrutalan junta. ”Rakyat Myanmar sangat membutuhkan bantuan untuk menjatuhkan rezim militer yang sangat represif, brutal, dan ilegal ini,” kata Sasa.
Sikap China
Di saat keluarga puluhan korban tewas akibat kebrutalan aparat keamanan Myanmar menyiapkan pemakaman untuk anggota keluarga mereka, Pemerintah China mengeluarkan dukungan terkait kepentingannya dengan mengecam kekerasan di Myanmar.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menggambarkan kekerasan yang terjadi sejak Sabtu (13/3/2021) hingga Senin (15/3/2021) sebagai sebuah kejadian yang keji. Beijing pun mendesak Myanmar untuk menghindari terulangnya insiden yang mengakibatkan puluhan warga sipil tewas.
Meski begitu, Beijing juga memikirkan investasi yang telah ditanamkannya di Myanmar dengan menyatakan prihatin tentang keselamatan institusi dan warga mereka yang ada di Myanmar. Bahkan, sebelumnya, Beijing meminta agar aparat bertindak ”tegas” terhadap kelompok tidak dikenal yang diduga ingin merusak investasi ”Negeri Tirai Bambu” di Myanmar.
Sementara untuk melindungi investasi milik warga Taiwan di Myanmar, Pemerintah Taiwan menyarankan perusahaannya di Myanmar untuk mengibarkan bendera pulau itu agar tidak menjadi sasaran.
Sentimen anti-China telah meningkat sejak kudeta, yang dipicu oleh kritik diam-diam Beijing terhadap pengambilalihan tersebut dibandingkan dengan kecaman Barat. Bersama Rusia, China dianggap menghalangi tindakan Dewan Keamanan PBB dan menilai bahwa persoalan di Myanmar adalah urusan dalam negeri yang tidak bisa dicampuri oleh siapa pun.
Pemimpin protes Thinzar Shunlei Yi mengatakan, rakyat Myanmar tidak membenci China, negara tetangga mereka. Namun, pada saat yang sama, Beijing, menurut dia, harus memahami kemarahan yang dirasakan atas dukungan China untuk junta.
”Pemerintah China harus berhenti mendukung dewan kudeta jika mereka benar-benar peduli dengan hubungan Sino-Myanmar dan untuk melindungi bisnis mereka,” katanya di Twitter. (AFP/REUTERS)