Di Tengah Pandemi, Bar-bar Tanpa Minuman Beralkohol Semakin Menjamur
Pandemi Covid-19 meniupkan angin perubahan, antara lain, berupa kesadaran warga akan pentingnya kesehatan. Kini banyak orang yang biasa mengonsumsi minuman beralkohol beralih ke minuman non-alkohol atau rendah alkohol.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 membawa angin perubahan pada hampir semua lini kehidupan masyarakat. Berbagai jenis usaha pun terpaksa tutup, bahkan gulung tikar, karena pandemi. Namun, kini perlahan dunia usaha kembali bangkit, termasuk bar atau tempat minum.
Hanya saja, tak semuanya bisa kembali seperti sedia kala. Perubahan yang paling kentara dari layanan bar adalah tidak ada lagi minuman beralkohol. Kini, semakin banyak bar yang hanya menyediakan ”minuman orang dewasa” racikan khusus mirip koktail, tetapi minus alkohol.
Contoh tren ”bar tanpa mabuk” yang tidak lagi menyediakan minuman beralkohol itu ada di bar-bar futuristik di Tokyo, Jepang. Konsumen bisa meminum campuran anggur putih non-alkohol, sake, dan cranberry yang disajikan dalam gelas berbingkai gula.
Ada juga ”bar nol persen alkohol” di Sans Bar, Austin, Texas, Amerika Serikat. Bar ini hanya menyediakan minuman tanpa alkohol dalam botol dan minuman-minuman lain, seperti mockarita semangka atau mirip-mirip tequila.
”Bar-bar tanpa mabuk” seperti itu bukan fenomena baru. Bar model seperti ini pertama kali muncul pada abad ke-19 sebagai bagian dari gerakan kesederhanaan pada waktu itu.
Dulu, bar-bar semacam tersebut menjadi tujuan konsumen non-peminum atau siapa saja yang sedang melepaskan diri dari jerat alkohol. Tetapi, kini lebih banyak berisi orang-orang yang hanya penasaran dan orang yang sudah bebas alkohol.
”Banyak orang kini hanya mau minum sedikit saja,” kata pemilik Sans Bar, Chris Marshall.
Marshall sendiri sudah terbebas dari alkohol selama 14 tahun. Ia mulai membuka ”bar tanpa mabuk” setelah menjadi konselor pecandu alkohol. Tetapi, ia masih yakin, ada paling tidak 75 persen pelanggannya masih minum alkohol di luar barnya.
”Lebih enak nongkrong di sini. Saya tidak perlu khawatir meninggalkan mobil saya di sini dan pulang naik taksi. Saya bisa tidur dan bangun pagi tanpa merasa pening sakit kepala,” kata Sondra Prineaux, salah satu pelanggan setia Sans Bar.
Sadar kesehatan
Tren bar semacam itu mulai muncul lagi tahun 2013 atau saat ada kampanye kesehatan masyarakat ”Dry January” yang mengajak masyarakat, terutama di Eropa, untuk tidak mengonsumsi alkohol selama Januari. Selain itu, kata Brandy Rand, dari Analisis Pasar Minuman IWSR, juga karena perhatian masyarakat pada isu kesehatan dan kebugaran belakangan ini semakin besar.
Pada tahun lalu, konsumsi alkohol di 10 pasar utama, seperti AS, Jerman, Jepang, dan Brasil, turun sebesar 5 persen. Sementara konsumsi minuman beralkohol rendah dan minuman non-alkohol naik 1 persen pada periode yang sama.
Namun, penjualan alkohol masih tetap lebih tinggi ketimbang minuman alkohol kadar rendah dan minuman nol alkohol. Para peminum di pasar-pasar utama itu mengonsumsi 9,7 miliar minuman beralkohol dalam botol berukuran 9 liter pada tahun 2020 dan hanya mengonsumsi 292 juta minuman rendah alkohol dan tanpa alkohol dalam botol berukuran 9 liter.
Meski demikian, Rand mengatakan, konsumsi global minuman lain, seperti bir rendah alkohol dan bir tanpa alkohol, anggur, dan soda, malah naik dua sampai tiga kali lebih cepat dibandingkan jumlah total konsumsi minuman beralkohol.
Penjualan minuman rendah kadar alkohol dan tanpa alkohol terjadi, salah satunya, karena banyaknya produk-produk baru yang muncul di pasar. Seperti produsen minuman Ritual Zero Proof di Chicago yang membuat wiski, gin, dan tequila tanpa alkohol. Ini juga dilakukan perusahaan besar, seperti Anheuser-Busch yang memperkenalkan bir Budweiser Zero tanpa alkohol tahun lalu.
Pembatasan pandemi
Douglas Watters, pemilik toko Spirited Away di New York, AS, yang khusus menjual bir, anggur, dan soda tanpa alkohol, menuturkan bahwa ia mulai membuka toko itu setelah kebijakan pembatasan fisik dan sosial akibat pandemi diberlakukan. Ia pun mulai bereksperimen meracik minuman tanpa alkohol. Ternyata, banyak pelanggan suka dengan minuman tanpa alkohol racikannya itu.
Para pelanggan di tokonya pun beragam. Banyak yang bekas pecandu alkohol. Ada juga perempuan hamil dan orang yang memiliki masalah kesehatan. Ada juga orang yang sedang berlatih untuk mengikuti lomba lari maraton atau sekadar mau mengurangi konsumsi alkoholnya.
”Banyak sekali orang yang beli sejak tahun lalu. Ini mungkin karena orang mulai kritis tentang apa yang mereka minum dan dampaknya setelah mereka minum,” ujar Watters.
Joshua James, seorang bartender, juga memiliki kesadaran yang sama dengan Watters saat pandemi. Setelah sempat bekerja di pusat perawatan penyalahgunaan narkoba dan minuman beralkohol, Friendship House, ia membuka Ocean Beach Cafe yang bebas minuman beralkohol di San Francisco, AS.
”Saya mau mengubah stigma kecanduan, pemulihan, dan kewarasan. Ada ribuan alasan untuk tidak minum sebanyak-banyaknya,” ujar James.
Pandemi Covid-19, kata James, telah mempercepat perubahan kebiasaan minum minuman beralkohol. Meski banyak bar yang kemudian ramai didatangi, banyak juga bar serupa yang belum bisa beroperasi kembali, seperti The Virgin Mary Bar di Dublin dan Zeroliq di Berlin, Jerman. Ini karena ada larangan dari pemerintah setempat. Agar tetap bisa beroperasi, bar Getaway non-alkohol di New York untuk sementara berubah menjadi warung kopi selama pandemi.
Billy Wynne, salah satu pemilik bar Awake di Denver, AS, juga kini menjual kopi dan soda botol tanpa alkohol hanya ingin agar barnya tetap bisa beroperasi. Ia mengatakan, harga minuman tanpa alkohol sebenarnya sama saja dengan minuman beralkohol. Minuman beralkohol malah lebih murah. Proses pembuatan minuman tanpa alkohol itu bisa mengakibatkan harga lebih mahal karena diracik dari beberapa jenis minuman.
Seperti situs pengiriman alkohol Drizly yang memberikan harga 33 dollar AS untuk minuman non-alkohol Seedlip Spice 94 dalam botol berukuran 700 mililiter. Harganya lebih mahal ketimbang minuman beralkohol sebotol Aviation Gin berukuran 750 mililiter yang dijual dengan harga 30 dollar AS. Meski begitu, menurut Wynne, pelanggan tetap mau membeli minuman dengan harga berapapun asalkan dibuat menjadi koktail atau anggur aneka rasa tanpa peduli apakah itu mengandung alkohol atau tidak.
Para pelanggan Wynne yang berusia 30-an atau 40-an tahun dan mayoritas perempuan mengaku sudah lama menunggu bar non-alkohol seperti ini. ”Ini bukan sekadar tren yang akan hilang. Orang tidak sadar akan dampak negatif alkohol pada kehidupan mereka. Kini, mereka mulai sadar dan berubah pikiran,” kata Wynne. (AP)