Banyak Negara Tunda Vaksin AstraZeneca, PM Thailand Percaya Diri
Kasus penggumpalan dan pembekuan darah warga yang telah disuntik dengan vaksin AstraZeneca-Oxford memicu kewaspadaan. Di tengah kewaspadaan global itu, Thailand tetap menggulirkan vaksinasi menggunakan AstraZeneca.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
BANGKOK, SELASA — Semakin banyak negara Eropa, termasuk Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol, menangguhkan penggunaan vaksin Covid-19 yang dikembangkan AstraZeneca-Universitas Oxford menyusul sejumlah laporan tentang efek samping berupa pembekuan darah pada beberapa penerima. Namun, di belahan dunia lain, vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca tetap jalan terus.
Di Thailand, meski sempat menangguhkan penggunaan vaksin tersebut, pada Selasa (16/3/2021) Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menjadi orang pertama di negerinya yang menjalani suntikan dengan vaksin AstraZeneca. Pemerintah Australia juga menegaskan akan tetap menjalankan vaksinasi dengan vaksin itu.
”Hari ini saya ingin menumbuhkan kepercayaan di kalangan masyarakat umum,” kata Prayuth kepada wartawan sebelum menjalani suntikan. PM berusia 67 tahun itu mengaku baik-baik saja setelah disuntik vaksin tersebut.
Strategi vaksinasi di Thailand secara umum mengandalkan pada vaksin buatan AstraZeneca. Vaksin ini akan diproduksi oleh sebuah perusahaan milik Raja Thailand. Sebanyak 61 juta dosis vaksin tersebut telah dipesan untuk memvaksin penduduk Thailand. Vaksin AstraZeneca produksi di Thailand diperkirakan baru akan tersedia paling cepat pada Juni mendatang.
Sebelumnya, Thailand mengimpor 117.300 dosis vaksin AstraZeneca dan 200.000 vaksin CoronaVac buatan Sinovac. Pada Maret ini, tambahan 800.000 dosis vaksin CoronaVac akan tiba di negara itu, disusul 1 juta dosis berikutnya pada April mendatang.
Di tengah laporan tentang efek samping yang ditimbulkan vaksin tersebut, AstraZeneca, Universitas Oxford, Badan Kesehatan Eropa (MEA), hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berharap vaksinasi terus berjalan. Penangguhan vaksinasi dikhawatirkan melemahkan perang melawan pandemi.
Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn, Senin (15/3/2021) waktu setempat, mengatakan bahwa keputusan menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca diambil atas saran regulator vaksin di negara itu, Institut Paul Ehrlich. Badan ini merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut terhadap tujuh kasus pembekuan darah di otak pada orang yang telah divaksin. ”Keputusan hari ini adalah murni tindakan pencegahan,” kata Spahn.
Di antara negara-negara anggota Uni Eropa, Denmark adalah negara pertama yang memutuskan menunda penggunaan vaksin AstraZeneca-Oxford. Setelah itu, tindakan sama dilakukan berbagai negara, di antaranya Irlandia, Belanda, Norwegia, Eslandia, dan Bulgaria. Di luar negara Eropa, tercatat antara lain Venezuela, Kongo, dan Indonesia juga menyatakan penundaan penggunaan vaksin AstraZeneca-Oxford.
Presiden Perancis Emmanuel Macron menyatakan, negaranya juga menangguhkan penggunaan vaksin tersebut. Sementara Kanada dan Inggris menyatakan akan melanjutkan program vaksinasi mereka menggunakan vaksin AstraZeneca.
Kepala Badan Obat Spanyol Maria Jesús Lamas mengatakan bahwa Spanyol mendeteksi kasus penggumpalan darah untuk pertama kali pada Sabtu (13/3). Dia menyebutkan, penundaan bukanlah keputusan yang mudah karena pemerintah menyadari kondisi itu akan semakin memperlambat kampanye vaksinasi nasional. Namun, tindakan itu dianggap sebagai pendekatan paling bijaksana.
37 laporan kasus
AstraZeneca mengatakan, ada 37 laporan pembekuan darah dari 17 juta orang lebih yang divaksinasi di 27 negara UE dan Inggris. Angka ini, dalam pandangan AstraZeneca, jauh lebih rendah daripada angka kasus yang mungkin terjadi secara alami pada populasi umum dengan ukuran jumlah tersebut. Kasus seperti itu juga dinilai sama dengan yang menimpa vaksin-vaksin Covid-19 lain.
Adapun WHO dan MEA menyatakan bahwa data tersebut tidak menunjukkan vaksin menyebabkan pembekuan. Dalam pernyataannya, MEA mengemukakan bahwa insiden pembekuan darah pada orang yang divaksinasi tidak lebih tinggi daripada yang terlihat pada populasi umum. Karena itu, program vaksinasi harus terus berjalan.
Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan berharap, adanya temuan-temuan tersebut tidak membuat orang panik dan program vaksinasi terus berjalan. ”Sejauh ini, kami tidak menemukan hubungan antara kejadian ini dan vaksin,” katanya, mengacu pada laporan penggumpalan darah dari beberapa negara.
Michael Head, peneliti senior kesehatan global di University of Southampton di Inggris, mengatakan bahwa belum ada data yang membenarkan penangguhan vaksin AstraZeneca. Ia menyebut keputusan itu ”membingungkan”.
”Menghentikan peluncuran vaksin selama pandemi memiliki konsekuensi, yaitu penundaan dalam memberikan perlindungan kepada warga dan potensi peningkatan keragu-raguan terhadap vaksin,” kata Head.
Pernyataan AstraZeneca
Manajemen AstraZeneca, dikutip dari laman resmi perusahaan, mengatakan bahwa vaksin yang dikembangkan bersama dengan para ilmuwan Universitas Oxford menawarkan keamanan bagi para penggunanya dari kemungkinan terinfeksi virus SARS-CoV-2 berdasarkan bukti ilmiah yang jelas. Mereka menyatakan, keamanan vaksin adalah hal terpenting. Perusahaan akan terus memantau kondisi di lapangan.
”Keamanan publik akan selalu diutamakan. Perusahaan sedang menjaga masalah ini dalam peninjauan yang cermat, tetapi bukti yang tersedia tidak mengonfirmasi bahwa vaksin adalah penyebabnya,” kata manajemen AstraZeneca dalam pernyataannya.
Ann Taylor, Ketua Tim Medis AstraZeneca, menyatakan bahwa keamanan vaksin telah dibuktikan pada sekitar 17 juta penduduk Uni Eropa dan Inggris. Dari belasan juta warga yang sudah menerima vaksin AstraZeneca-Oxford, jumlah kasus pembekuan darah pada kelompok ini lebih rendah dibandingkan dengan kasus yang mungkin terjadi pada populasi masyarakat umum.
”Sifat pandemi telah meningkatkan perhatian dalam kasus individu dan kami melampaui praktik standar untuk pemantauan keamanan obat-obatan berlisensi dalam melaporkan kejadian vaksin, untuk memastikan keamanan publik,” kata Taylor.
Manajemen AstraZeneca juga menyatakan, tidak ada masalah dengan kualitas vaksin yang mereka produksi dan telah digunakan di Eropa dan dunia. Selama proses produksi, mengutip pernyataan manajemen AstraZeneca, lebih dari 60 pengujian kualitas dilakukan baik oleh perusahaan sendiri maupun oleh lebih dari 20 laboratorium pengujian independen.
”Semua pengujian harus memenuhi kriteria ketat untuk kontrol kualitas dan data ini dikirimkan ke regulator di setiap negara atau wilayah untuk ditinjau secara independen sebelum batch apa pun dapat dirilis ke negara-negara tersebut,” menurut pernyataan manajemen.
Tinjauan yang cermat terhadap semua data keamanan yang tersedia lebih dari 17 juta orang yang divaksinasi di Uni Eropa (UE) dan Inggris dengan Vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak menunjukkan bukti peningkatan risiko emboli paru, trombosis vena dalam (DVT) atau trombositopenia dalam kelompok usia, jenis kelamin, kelompok tertentu, atau di negara tertentu.
Sejauh ini, di seluruh UE dan Inggris, terdapat 15 kejadian DVT dan 22 kejadian emboli paru di kalangan mereka yang diberi vaksin tersebut, berdasarkan jumlah kasus yang telah diterima perusahaan hingga 8 Maret.
WHO mengimbau negara-negara untuk tidak menghentikan vaksinasi terhadap penyakit yang telah menyebabkan lebih dari 2,7 juta kematian di seluruh dunia. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, ada sistem untuk melindungi kesehatan masyarakat.
”Ini tidak berarti peristiwa-peristiwa tersebut terkait dengan vaksinasi Covid-19, tetapi merupakan praktik rutin untuk menyelidikinya dan ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan berfungsi dan kontrol yang efektif sudah ada,” katanya dalam pernyataan kepada media. (AFP/AP/REUTERS/SAM)