Belanja yang didorong Amerika Serikat melalui stimulus itu akan meningkatkan PDB AS sebesar 5-6 persen selama tiga tahun. Risikonya, utang AS akan naik, bisa muncul masalah inflasi, dan kredibilitas bank sentral diuji.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
Amerika Serikat bergegas. Hanya selang tiga hari setelah Presiden Joe Biden menandatangani paket stimulus ekonomi menjadi undang-undang, pada akhir pekan lalu warga AS langsung mulai mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) yang dijanjikan. Tahap pertama BLT sebesar 1.400 dollar AS atau sekitar Rp 20 juta per orang. Ini berarti, satu keluarga Amerika beranggotakan empat orang yang berpenghasilan hingga 150.000 dollar AS per tahun akan menerima 5.600 dollar AS.
Hampir 160 juta rumah tangga di AS akan menerima sekitar 400 miliar dollar AS BLT tersebut. Bantuan itu akan mendorong penghasilan individu senilai 75.000 dollar AS dan pasangan 150.000 dollar AS per tahun. Bantuan itu, menurut rencana, diberikan kepada semua warga yang memenuhi syarat. Termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, warga dewasa penyandang disabilitas, orang tua, dan lansia. Sistemnya diberikan secara langsung dalam bentuk cek ataupun lewat kartu debit.
”Legislasi bersejarah ini adalah tentang membangun kembali tulang punggung negara ini dan memberi orang-orang di negara ini—pekerja, kelas menengah, orang-orang yang membangun negara—kesempatan berjuang,” kata Biden saat menandatangani stimulus itu menjadi UU, Rabu (10/3/2021).
Biden sangat berharap stimulus tersebut akan dapat segera melepaskan negaranya dari tekanan pandemi Covid-19. Stimulus itu akan menyuntikkan dana senilai 1,9 triliun dollar AS ke dalam ekonomi yang tertekan hebat akibat pandemi Covid-19. Selain BLT, usaha-usaha kecil akan didanai, tunjangan pengangguran yang akan berakhir dalam beberapa hari bakal diperpanjang lewat stimulus itu.
Ketika pandemi melanda dunia pada akhir 2019 dan awal 2020, wajar jika banyak kalangan takut bahwa ekonomi dunia akan tetap lesu selama bertahun-tahun. Namun, The Economist menilai Amerika Serikat menentang pesimisme itu. Hal ini diperlihatkan Biden seusai terpilih sebagai Presiden AS mengalahkan Donald Trump dalam pemilu November 2020. Setelah melampaui perkiraan pertumbuhan yang muram pada musim panas tahun lalu, Washington menambah bahan bakar fiskal ke dalam bauran kebijakan ekonomi. Paket stimulus ekonomi Biden ini salah satunya.
Washington di bawah Biden berupaya lebih progresif setelah cenderung malu-malu selama satu dekade pascakrisis keuangan global tahun 2007-2009. Belanja AS selama pandemi plus stimulus akan hampir mencapai 6 triliun dollar AS atau setara dengan 28 persen produk domestik bruto (PDB) AS. Bank sentral AS, The Federal Reserve, dan Departemen Keuangan juga akan mengalirkan sekitar 2,5 triliun AS ke dalam sistem perbankan tahun ini. Suku bunga sejauh ini dijaga mendekati level nol persen.
Pilihan yang menjadi pertaruhan telah diambil Biden. Jika berhasil, AS akan terhindar dari tekanan ekonomi yang lebih parah akibat pandemi. Stimulus fiskal besar-besaran dapat menjadi respons normal terhadap resesi. Hal itu bisa ditiru negara dan bank sentral lain. Risikonya, AS dibiarkan dengan utang yang meningkat, dinamika masalah inflasi, dan bank sentralnya menghadapi ujian kredibilitasnya.
Menurut perkiraan awal Dana Moneter Internasional (IMF), belanja yang didorong melalui stimulus itu akan meningkatkan PDB AS sebesar 5-6 persen selama tiga tahun. Permintaan yang lebih tinggi juga akan membantu negara lain menjual lebih banyak produk ke konsumen AS. Namun, diingatkan kemungkinan terlalu panasnya perekonomian.
IMF mengingatkan bahwa dengan suku bunga rendah, pembuat kebijakan di seluruh dunia harus waspada terhadap perubahan mendadak dalam biaya pinjaman. Percepatan vaksinasi Covid-19 menawarkan harapan pemulihan yang cepat, tetapi juga memicu kekhawatiran bahwa pertumbuhan dapat memicu spiral inflasi. Kondisi itu bisa memaksa The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan. Perubahan-perubahan tersebut harus diantisipasi negara-negara di dunia.