Dua Kasus Pemerkosaan di Perth Seret Nama Jaksa Agung Australia
Dua kasus pemerkosaan remaja perempuan di Australia menyeret Jaksa Agung Christian Porter asal Perth sebagai terduga. Namun, Porter membantahnya.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
PERTH, MINGGU —Kampanye kesetaraan jender dan perlawanan terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan, #March4Justice, kembali menggelora di Australia. Ribuan orang turun ke jalanan kota Perth memprotes dua kasus tuduhan pemerkosaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Lebih dari 40 unjuk rasa menurut rencana akan digelar di sejumlah daerah di Australia, Senin, termasuk di luar Gedung Parlemen di Canberra.
Gelombang protes ini berawal dari testimoni mantan pegawai pemerintah di kantor kementerian, Brittany Higgins, yang bulan lalu mengaku diperkosa oleh rekannya beberapa pekan sebelum pemilu 2019. Ketika mengadu kepada atasannya, Higgins diperlakukan seperti ”masalah politik”.
Kasus kedua melibatkan Jaksa Agung Christian Porter yang berasal dari Perth. Ia dituduh memerkosa dua remaja perempuan berusia 16 tahun pada 1988 ketika keduanya masih sekolah.
Porter membantah tuduhan kasus pemerkosaan yang diadukan korban ke polisi sebelum kemudian ia meninggal tahun lalu. Dengan meninggalnya korban, penyelidikan pada kasus itu pun dihentikan.
Publik menjadi marah lalu turun ke jalan untuk protes dan menuntut keadilan karena pemerintah dianggap gagal menangani kasus-kasus pemerkosaan itu. ”Saya kagum kepada Brittany Higgins dan seorang perempuan lain yang jadi korban karena berani mengungkapkan kasus ini," kata Dallas Phillips, warga pribumi Aborigin Australia dari suku Noongar, Minggu (14/3/2021).
Phillips menilai, selama ini terjadi epidemi seksisme, kebencian terhadap perempuan, pemberian hak istimewa dan hak pada laki-laki, dan maskulinitas beracun di Australia.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan siap bertemu dengan perwakilan gerakan perempuan itu dan memastikan pihaknya sudah menangani masalah itu dengan sangat serius. ”Isu kekerasan terhadap perempuan masih tetap menjadi prioritas tertinggi pemerintahan saya,” ujarnya, Minggu.
Selama ini Parlemen Australia berkali-kali dikritik karena budaya tempat bekerjanya yang dianggap ”beracun”. Ini karena kerap terjadi kasus-kasus perundungan, pelecehan, dan kekerasan seksual.
Koalisi berkuasa di pemerintah juga kerap dituding tidak sepenuhnya mendukung anggota partai perempuan, terutama setelah sejumlah perempuan keluar dari parlemen menjelang pemilu 2019. Perundungan menjadi alasan mereka keluar. Morrison sudah memerintahkan penyelidikan independen terhadap budaya di tempat kerja itu.
Sejak kasus pemerkosaan ini muncul dan menjadi ramai, Porter mengambil cuti dengan alasan kesehatan. Begitu pula dengan Menteri Pertahanan Linda Reynolds yang dianggap tidak becus menangani kasus Higgins itu.
Harian The Guardian, Minggu, menyebutkan, banyak mantan staf dan staf Partai Buruh mengaku mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan mereka menuntut para pelaku diganjar hukuman setimpal.
Di dalam kelompok media sosial terbatas yang beranggotakan 1.300 perempuan mantan staf dan staf Partai Buruh diceritakan pengalaman mereka dan sudah tidak tahan berdiam diri.
Perlakuan yang mereka terima antara lain dipanggil dengan nama tidak senonoh dan merendahkan, membujuk untuk berhubungan seks, dan mengajak perempuan minum minuman alkohol hingga mereka setengah tidak sadar. Mantan staf Partai Buruh, Anna Jabour, juga pernah mengalami pelecehan dan sudah menceritakan pengalamannya di media.
”Butuh waktu sangat lama untuk menerima kenyataan menjadi korban pelecehan. Namun, penting bagi perempuan untuk mau mengungkap apa yang dialami,” ujarnya.
Anggota parlemen perempuan dari Partai Buruh, seperti Tanya Plibersek, Anika Wells, Katy Gallagher, dan Sharon Claydon, memercayai semua korban dan mendorong mereka untuk menceritakan kasusnya.
”Kami percaya dan minta maaf karena harus mengalami pengalaman buruk saat bekerja di partai,” sebut mereka dalam pernyataan tertulis.
Mereka berjanji akan memastikan kasus-kasus ini ditangani serius dan mengubah kultur budaya yang buruk itu supaya tidak ada korban lain. ”Ini harus diubah. Kami akan berusaha keras memastikan perubahan ini,” sebut mereka. (AFP)