Rumah yang dikelilingi pepohonan dan tanaman hijau akan menyegarkan suasana. Bercocok tanam juga membantu mengatasi rasa cemas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Belajar mengenali berbagai jenis tanaman hias dan merawatnya adalah bagian dari ”kehidupan” masyarakat urban. Ini tidak hanya terjadi di Jakarta, Indonesia, tetapi juga terjadi di Malaysia. Pandemi membuat hobi bercocok tanam, terutama tanaman hias, menjadi booming.
Bagi Leiister Soon, seorang kolektor lukisan, membedakan bentuk tanaman kuping gajah dengan bunga flamingo, yang masuk dalam spesies anturium, adalah hobi yang menarik untuk ditekuni di tengah pandemi.
”Ini seperti melihat lukisan. Merawat tanaman membuat saya bisa mengalihkan perhatian daripada melihat jumlah kasus penularan Covid-19 yang terus meningkat,” kata Soon.
Bersama kolektor anturium lainnya, Soon mencari spesimen tertentu yang memiliki lembaran daun dengan pola rumit berupa rangkaian warna merah, kuning, dan hijau yang mereka pandang memesona. Setelah itu, mereka mengabadikan temuannya dan membagikannya melalui media sosial.
Tanaman yang dimaksud dikenal oleh sebagian besar sebagai tanaman keladi. Namun, tren tanaman hias yang mulai menanjak beberapa tahun terakhir dan sepanjang masa pandemi yang sudah berlangsung hampir setahun terakhir berkembang dan mencakup spesies lain, seperti anturium dan Alocasias. Salah satu spesiesnya yang dikenal luas adalah naga perak.
Dulu, tanaman ini tidak banyak dilirik. Harganya pun masih sangat murah. Namun, harganya mulai melonjak tahun lalu ketika Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan pembatasan pergerakan. Minat untuk mengoleksi dan mengembangkan tanaman itu membuat harganya mulai merayap naik.
Masih ada tanaman yang sama, tetapi mungkin tidak terlalu diminati para kolektor, yang bisa dibeli dengan harga 20 ringgit atau sekitar Rp 70.000. Namun, jenis yang langka dan menjadi buruan kolektor harganya bisa gila-gilaan. Bahkan, ada yang bisa mencapai 6.000 ringgit atau sekitar Rp 20 juta.
Soon mengaku setahun terakhir dia harus merogoh koceknya lebih dari 20.000 ringgit untuk berburu tanaman hias yang diincarnya.
Bagi Daud Kasim, pemilik kebun penbibitan di kawasan Sungai Besar, sekitar 100 kilometer barat laut Kuala Lumpur, Malaysia, kondisi sekarang adalah berkah bagi dirinya dan orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis tanaman hias. Kebijakan pembatasan pergerakan membuat para pemilik rumah, baik laki-laki maupun perempuan, mencari cara untuk mengatasi kondisi beban psikologis yang tengah mereka hadapi.
Hampir setengah dari persediaan pembibitannya sekarang terdiri dari tanaman semacam itu, dengan varietas asing dari negara-negara seperti Thailand, China, Amerika Serikat, dan Belanda. ”Melihat tanaman ini, stres mereka akan hilang,” kata Daud, berpromosi.
Yvonne Black, peneliti dari Universitas Hull, di dalam kolomnya di laman The Conversation mengatakan, berada di alam bebas, ditemani oleh tanaman hijau dan udara yang segar bisa mengurangi kecemasan dan stres terhadap kondisi lingkungan manusia. Bahkan, Pusat Layanan Kesehatan (NHS), Inggris, menyarankan kegiatan luar ruang di alam terbuka atau bahkan taman kecil di depan rumah yang dipenuhi tanaman sebagai resep atau green prescription untuk mengatasi kecemasan.
Tren berkebun di lahan sempit, menurut Farhana Mohamed, dikutip dari laman The Star, mulai melonjak sejak awal pandemi. Alat-alat berkebun menjadi salah satu barang yang dicari warga.
Nur Aida Md Zainuddin, seorang pengacara, mengaku kalau bercocok tanam bisa mengalihkan rasa cemasnya. ”Aktivitas ini bisa membantu saya berkeringat. Aktivitas ini juga membantu saya tetap kalem dalam situasi sekarang ini,” katanya.
Daud berharap tren ini tidak hilang seiring membaiknya penanganan pandemi dan vaksinasi yang mulai berjalan. Manfaat yang lebih besar, seperti mempercantik penampilan rumah dan bahkan membantu mengolah udara sekitar rumah menjadi lebih segar, dan tentu saja membantu pemilik atau kolektor tanaman mengatasi rasa cemas, adalah hal-hal yang akan terus dibutuhkan meski pandemi telah hilang. (AFP)