Selama berkuasa, Taliban melarang perempuan keluar rumah. Anak perempuan tidak boleh sekolah. Setelah Taliban terguling, perempuan Afghanistan bisa sekolah dan bekerja.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
KABUL, SABTU — Warga Afghanistan marah dengan edaran Kementerian Pendidikan yang melarang pelajar berusia di atas 12 tahun untuk menyanyi di depan umum. Warga khawatir, larangan itu bagian dari upaya birokrasi untuk kembali menghidupkan pembatasan terhadap perempuan Afghanistan.
Pegiat hak asasi manusia (HAM) Afghanistan, Sima Samar, menyebut larangan itu melanggar HAM. Larangan itu juga melanggar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak. ”Ini talibanisasi dari dalam pemerintahan,” ujarnya, Jumat (12/3/2021), di Kabul.
Ia mengacu pada periode pembatasan hak perempuan di masa kekuasaan Taliban pada akhir dekade 1980-an sampai 2001. Kala itu, Taliban melarang perempuan keluar rumah. Anak perempuan tidak boleh sekolah.
Setelah Taliban terguling, perempuan Afghanistan bisa sekolah dan bekerja. Bahkan, ada perempuan di antara delegasi pemerintah yang berunding dengan Afghanistan.
Edaran itu dikeluarkan kala pemerintah dan Taliban sedang merundingkan perdamaian. Sebagian tuntutan Taliban adalah pemberlakuan syariat Islam dan pembatasan aktivitas perempuan di luar rumah.
Juru bicara Kementerian Pendidikan Afghanistan, Najiba Arian, menyebut, edaran itu salah dipahami. Edaran itu dinyatakan bagian dari upaya pencegahan penularan Covid-19. Karena itu, edaran diralat menjadi larangan bagi seluruh pelajar untuk bernyanyi dan bermain musik bersama.
Selain itu, Arian mengungkap permintaan sejumlah orangtua agar putri mereka tidak tampil di depan umat. Ia juga mengklaim sejumlah pelajar mengeluh kesulitan belajar karena harus mempersiapkan penampilan di depan umum.
Meski demikian, dalam salinan edaran sama sekali tidak disinggung soal pandemi Covid-19 atau masalah kesehatan lain. Edaran hanya melarang siswi berusia di atas 12 tahun tampil di depan umum dan sama sekali melarang bernyanyi. Selain itu, hanya guru perempuan boleh mengajar musik kepada siswi berusia di atas 12 tahun.
Pendiri Institute of Music Afghanistan, Ahmad Sarmast, menyebut larangan itu melanggar hukum nasional dan internasional. Ia menggalang petisi untuk menentang larangan itu.
Bukan kali ini saja Kementerian Pendidikan Afghanistan membuat kebijakan kontroversial. Pada Desember 2020, kementerian itu mengedarkan anjuran pelajar kelas 1-3 SD sekolah di masjid. Protes massal meletus dan membuat edaran itu diperbaiki dengan alasan anjuran diarahkan kepada warga perdesaan yang miskin. Di kawasan seperti itu biasanya tidak ada gedung sekolah sehingga masjidlah satu-satunya bangunan yang bisa digunakan untuk bersekolah.
Anjuran itu mengkhawatirkan karena madrasah di Afghanistan sebagian dikelola oleh orang-orang yang berpandangan keras. Sejumlah madrasah di negara itu diduga menjadi tempat penyebaran radikalisme. Kementerian Dalam Negeri Afghanistan pada Januari lalu mengatakan akan mendata ribuan madrasah yang beroperasi di negara itu.
Kekerasan
Selain konflik sektarian, kekerasan terhadap perempuan Afghanistan kerap terjadi. Komisi HAM Independen yang dibentuk Samar menemukan 65 perempuan tewas dalam serangan yang disengaja sepanjang 2020. Sementara 95 orang lainnya cedera.
Sasaran antara lain rumah bersalin, sekolah tempat siswi belajar, hingga rumah. Perempuan yang menjadi hakim, pegiat HAM, dan pendamping pemberdayaan masyarakat paling kerap jadi sasaran.
Sementara itu, dalam pernyataan terpisah, Dewan Keamanan PBB mendorong partisipasi menyeluruh perempuan dalam proses perdamaian Afghanistan. ”Anggota DK PBB mengakui bahwa perdamaian sejati hanya bisa dicapai melalui proses yang dipimpin dan dimiliki warga Afghanistan secara menyeluruh dan inklusif,” demikian pernyataan itu.
DK PBB juga mengecam aneka serangan yang diduga kuat sengaja menyasar warga sipil. ”Anggota DK mendorong perundingan untuk membangun saling percaya, mengurangi kekerasan, dan meneruskan hubungan,” lanjut pernyataan itu. (AFP/REUTERS)