Gerakan Reformasi Kaum Perempuan di Dunia Arab
Kaum perempuan di dunia Arab juga terus berjuang bagi terciptanya kesetaraan jender. Arab Saudi yang paling konservatif di Timur Tengah mulai membuka ruang untuk mencapai kesetaraan jender.

Musthafa Abd Rahman, Wartawan Senior Kompas
Dunia baru saja memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret setiap tahunnya. Tahun ini, UN Women mengusung tema ”Perempuan dalam Kepemimpinan: Mencapai Masa Depan yang Setara di Era Covid-19”.
Seperti halnya di belahan bumi lainnya, kaum perempuan di dunia Arab juga turut memperingati dengan semangat dan meriah hari perempuan internasional tersebut. Kaum perempuan di dunia Arab juga terus berjuang bagi terciptanya kesetaraan jender.
Kaum perempuan Arab yang hidup di dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang masih relatif konservatif, perjuangan menuju terciptanya kesetaraan jender tentu tidak mudah dan butuh energi ekstra. Namun, berkat kegigihan perjuangan kaum perempuan Arab meraih hak-haknya, nasib mereka kini jauh lebih baik, khususnya kaum perempuan Arab di kawasan Arab Teluk.
Memang tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Arab yang sudah memasuki era digital kecuali bangkit bahu-membahu antara kaum lelaki dan perempuannya secara setara, menyongsong kemajuan teknologi yang luar biasa saat ini.
Tanpa perjuangan bahu-membahu itu, maka dunia Arab ibarat burung, hanya terbang dengan satu sayap saja, yang pasti akan ketinggalan dan bisa jadi segera jatuh. Inilah yang sangat disadari oleh elite penguasa muda di dunia Arab saat ini, terutama di kawasan Arab Teluk.

Rana Almimoni (30) bersiap di Sirkuit Dirap, Riyadh. Sejak Juni 2018, Arab Saudi mencabut larangan perempuan untuk mengemudi. Pencabutan itu salah satu bentuk transformasi di kerajaan tersebut.
Tampilnya Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) yang baru berusia 35 tahun dan secara de facto kini adalah penguasa hakiki di negaranya mengantarkan terjadinya revolusi atas nasib kaum perempuan di Arab Saudi yang selama ini terkenal paling tertinggal di dunia Arab.
Selama tiga tahun terakhir ini, yakni sejak MBS tampil sebagai putra mahkota tahun 2017, perubahan nasib kaum perempuan di Arab Saudi luar biasa. MBS meletakkan posisi kaum perempuan dalam visi Arab Saudi 2030 yang diluncurkan tahun 2016, setara dengan kaum lelaki dan harus bahu-membahu mengusung serta menyukseskan visi 2030 itu.
Baca juga: Dunia Arab Butuh Solusi ”Out of the Box”
MBS menyadari, tanpa partisipasi kaum perempuan secara efektif, maka visi 2030 bisa gagal karena potensi kaum perempuan di negara itu yang tidak mungkin bisa diabaikan lagi.
Menurut data badan statistik kependudukan Arab Saudi, persentase jumlah kaum perempuan di negara itu mencapai 49 persen atau hampir separuh dari jumlah penduduk Arab Saudi yang mencapai 34,218,169 (menurut versi Bank Dunia tahun 2019).

Seorang perempuan Arab Saudi menunggang kuda dalam Festival Souk Okaz di kota Taif, Arab Saudi, Rabu (7/8/2019). Untuk pertama kali, pada 2019, perempuan diizinkan datang ke festival itu.
Sejak reformasi yang dilakukan MBS, kaum perempuan yang masuk pasar kerja di Arab Saudi telah mencapai 35,2 persen pada 2020. Kaum perempuan Arab pun sudah mulai memegang posisi unsur pimpinan di berbagai bidang.
Kini, sudah mulai terlihat kaum perempuan Arab Saudi menduduki posisi tinggi di jajaran pemerintahan yang tidak mungkin terjadi dalam dekade sebelum ini. Wakil Ketua Majelis Syura (parlemen) Arab Saudi kini diduduki kaum perempuan bernama Hanan al-Ahmadi yang menjabat sejak Oktober 2020.
Ada nama Amal Yahya al-Moallimi yang adalah perempuan Arab Saudi kedua yang menjabat duta besar. Al-Moallimi kini menjabat Dubes Arab Saudi untuk Norwegia.
Baca juga: Dunia Arab, dari Isu Demokrasi ke Isu Stabilitas
Sementara perempuan pertama Arab Saudi yang mendapat kepercayaan menjabat duta besar dari Raja Salman adalah Reema binti Bandar. Ia kini menjabat Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS). Ada pula perempuan bernama Joumana al-Rashed yang kini menjabat CEO pada grup riset dan marketing Arab Saudi (SRMG).
Menurut laporan lembaga PBB urusan kotak dana kependudukan (UNFPA) tahun 2020, Arab Saudi merupakan negara yang paling revolusioner dalam melakukan reformasi terkait hak kaum perempuan.
Harian Asharq Al Awsat edisi Senin, 8 Maret 2021, menurunkan laporan, reformasi atas hak kaum perempuan di Arab Saudi memberikan hasil sejak 2013 jumlah kaum perempuan di negara itu yang berkerja di ranah diplomasi meningkat 150 persen, di antaranya tiga kaum perempuan menjabat duta besar.

Putri Reema binti Bandar al-Saud, dalam foto yang diambil pada 24 Oktober 2018, berpidato pada konferensi Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi, Sabtu (23/2/2019), menunjuk Putri Reema sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat menggantikan Pangeran Khalid bin Salman.
Sebanyak 50 persen anggota Dewan HAM Arab Saudi dari kaum perempuan. Persentase kaum perempuan yang berpartisipasi dalam pemilu lokal mencapai 81 persen. Anggota Majelis Syura Arab Saudi dari kaum perempuan mencapai 20 persen. Sebanyak 30 persen UMKM di Arab Saudi dimiliki kaum perempuan.
Persentase kaum perempuan yang menjadi pegawai negeri mencapai 40 persen dan swasta 30 persen. Keterlibatan kaum perempuan dalam sektor non-pemerintah (NGO) mencapai 69 persen.
Baca juga: Dunia Arab yang Selalu Menunggu Dokter Asing untuk Mengobati Sakitnya
Di negara Arab Teluk lain, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait, hak kaum perempuan sudah dikenal cukup baik dan maju. Kaum perempuan Kuwait sudah mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri sejak 1950-an. Sebagian besar kaum perempuan Kuwait saat itu melanjutkan pendidikan tinggi di Kairo dan Baghdad.
Kiprah kaum perempuan Kuwait sudah merambah ke berbagai sektor kecuali di sektor politik yang baru bisa masuk tahun 2005. Hanya disayangkan pada pemilu parlemen Desember 2020, tidak ada satu kandidat pun dari kaum perempuan yang lolos menjadi anggota parlemen.

Perempuan Saudi memberikan suara di tempat pemungutan suara di Riyadh, Arab Saudi, 12 Desember 2015. Pada Pemilu 2015, perempuan di Saudi untuk pertama kalinya memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
Di UEA, kedudukan kaum perempuan sudah dirancang setara dengan kaum lelaki sejak berdirinya negara UEA tahun 1971. Namun, puncak upaya UEA membangun kesetaraan jender adalah ketika membentuk Majelis UEA untuk Kesetaraan Jender tahun 2015 yang digagas oleh PM UEA Pangeran Mohammed bin Rashid al-Maktoum.
Prestasi dari pembentukan majelis tersebut adalah UEA berhasil menempati posisi ke-18 negara terbaik dalam membangun kesetaraan jender menurut versi PBB tahun 2020 dan menempati posisi nomor satu di dunia Arab.
Menurut Ketua Majelis UEA untuk Kesetaraan Jender Sheikha Manal binti Mohammed bin Rashid al-Maktoum, persentase keanggotaan kaum perempuan dalam Dewan Nasional Persatuan (parlemen) mencapai 50 persen dan keterlibatan kaum perempuan dalam kerja pemerintahan mencapai 27,5 persen, di antaranya ada 9 menteri dari kaum perempuan.
Sebanyak 30 persen pekerja sebagai diplomat di UEA dari kaum perempuan. Sebanyak 19,8 persen anggota Kamar Dagang UEA berasal dari kaum perempuan. Sebanyak 46,6 persen lapangan kerja di UEA diisi kaum perempuan. Di sektor keuangan dan perbankan, 70 persen diisi kaum perempuan. Sebanyak 45 persen di sektor antariksa UEA diisi kaum perempuan.
Di luar negara Arab Teluk, Lebanon misalnya, hak kaum perempuan di negara itu sudah sangat dikenal sangat maju. Sejak era kolonial Perancis, kaum perempuan Lebanon sudah menikmati hak-hak yang lebih maju dibandingkan dengan negara Arab lain. Kaum perempuan Lebanon jauh lebih dulu dari kaum perempuan negara Arab lain yang berhasil menikmati jabatan politik di parlemen dan kabinet.

Dalam foto bertanggal 6 Agustus 2017, tampak sejumlah perempuan Uni Emirat Arab berjalan-jalan di Distrik City Walk, Dubai, UEA. Perempuan UEA mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dengan laki-laki di UEA.
Di kota Beirut, bisa melihat pemandangan kaum perempuan yang tampil cukup bebas dengan pakaian model Barat yang memperlihatkan gaya hidup liberalisme di negara tersebut.
Di Palestina, kaum perempuan ikut berjuang bahu-membahu dengan kaum lelaki dalam upaya meraih hak-hak rakyat Palestina. Di pentas pejuangan Palestina, sudah tidak asing lagi dengan nama Hanan Ashrawi yang pernah menjadi juru bicara PLO dan anggota kabinet dalam pemerintah otoritas Palestina.
Ada nama Laila Khaled yang namanya terkenal karena membajak pesawat penumpang AS, TWA 840, pada 1969 dengan memaksa pesawat itu terbang dari Roma ke Amman, Jordania.
Di Maroko, kaum perempuan sudah banyak menduduki jabatan politik sejak 1990-an. Mendiang Raja Hassan II menunjuk empat menteri dari kaum perempuan dalam pemerintahan yang dipimpin PM Abdellatif Filali (1994-1998).

Hanan Ashrawi, Anggota Komite Eksekutif Palestine Liberation Organisation (PLO), berbicara dalam jumpa pers saat Palestina mengajukan diri menjadi anggota non-negara di PBB, 28 September 2012.
Kehadiran kaum perempuan dalam kabinet Maroko terus berlanjut sampai saat ini. Pada pemerintahan PM Saadeddine Othmani saat ini, ada empat perempuan yang menduduki posisi di kabinet.
Di Aljazair, menurut badan statistik pemerintah, kaum perempuan yang masuk pasar kerja mencapai 17,6 persen. Di sektor kesehatan ada 59 persen dokter dari kaum perempuan. Di sektor industri, terdapat 55,8 persen dari kaum perempuan. Anggota parlemen yang terpilih dari kaum perempuan 154 orang atau 30 persen dari keseluruhan anggota parlemen.
Demikian geliat kaum perempuan di dunia Arab yang terus gigih meraih hak-haknya sehingga mencapai keberhasilan seperti yang mereka nikmati saat ini.