Mimpi-mimpi Buruk yang Menghantui Warga Suriah
Konflik di Suriah telah menewaskan atau melukai hampir 12.000 anak-anak dan membuat jutaan orang kehilangan sekolah mereka. Dampak pahit diperkirakan dirasakan negara itu selama bertahun-tahun mendatang.
BEIRUT, RABU — Perang saudara selama 10 tahun terakhir di Suriah terasa teramat pahit bagi warga sipil. Lebih dari 387.000 orang telah tewas, termasuk ribuan anak-anak di negeri itu. Jutaan warga harus mengungsi.
Kota-kota besar dan kecil dalam rusak parah, bahkan hancur. Ironisnya, mimpi-mimpi buruk itu tampaknya bakal tetap menghantui warga negeri itu karena belum juga terlihat konflik itu akan berakhir.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Rabu (10/3/2021) menyerukan lebih banyak akses kemanusiaan ke Suriah dan konsensus Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tentang masalah tersebut. Pernyataannya menandai satu dekade perang saudara di negara itu.
”Situasinya tetap menjadi mimpi buruk. Sekitar 60 persen warga Suriah berisiko kelaparan tahun ini,” kata Guterres. ”Sangat penting bagi kita untuk terus menjangkau semua warga Suriah yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Diperlukan lebih banyak akses kemanusiaan.
Guterres menyatakan, pengiriman lintas batas dan kesepakatan tentang lintas batas yang intensif sangat penting untuk menjangkau semua orang yang membutuhkan, di mana saja. Ia menekankan pentingnya berulang kali mendesak DK PBB untuk mencapai konsensus.
Menurut Barat, pengiriman bantuan tidak berhasil sebagian karena birokrasi yang diberlakukan oleh Damaskus dan keinginannya untuk memastikan bahwa tidak ada bantuan yang mencapai kelompok bersenjata.
Baca juga: Satu Dekade Perang yang Mengubah Timur Tengah
DK PBB yang beranggotakan 15 negara itu pertama kali mengesahkan operasi bantuan lintas batas ke Suriah pada 2014 sebanyak empat titik. Tahun lalu, empat titik itu dikurangi hanya tinggal satu titik, yakni dari Turki.
Hal itu terjadi setelah Rusia dan China melalui DK PBB menentang pembaruan keempat titik lintas batas itu. DK PBB akan membahas masalah bantuan lintas batas lagi pada Juli tahun ini. Rusia dengan mayoritas dukungan China telah memveto 16 resolusi DK PBB terkait dengan Suriah.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dalam laporan terbarunya menyatakan, konflik di Suriah telah menewaskan atau melukai hampir 12.000 anak-anak dan membuat jutaan orang kehilangan sekolah.
Dampak pahit diperkirakan dirasakan negara itu selama bertahun-tahun mendatang. Selama setahun terakhir, situasinya diperparah oleh krisis ekonomi dan keuangan berat dan pandemi Covid-19. Kelindan konflik dan pandemi memukul fasilitas medis secara simultan.
Berbicara tentang masa depan adalah berbicara tentang anak-anak dan kaum muda. Ironisnya, anak dan kaum muda adalah yang paling rentang posisinya dalam konflik di Suriah.
Unicef mencatat, jumlah anak yang dilaporkan menunjukkan gejala gangguan psikososial melonjak dua kali lipat pada 2020. Mereka terus terpapar kekerasan, shock, dan trauma yang berdampak signifikan pada kesehatan mental anak, dengan implikasi jangka pendek dan jangka panjang.
Berbicara tentang masa depan adalah berbicara tentang anak-anak dan kaum muda. Ironisnya, anak dan kaum muda adalah yang paling rentang posisinya dalam konflik di Suriah.
”Satu dari empat anak mengalami tanda-tanda tekanan psikososial,” kata Ted Chaiban, Direktur Unicef di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dia mengungkapkan, jumlah mereka yang mengalami tekanan psikososial itu naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Menurut Chaiban, Unicef akan melakukan segala upaya untuk membantu mereka, termasuk dukungan psikososial hingga pendidikan.
Data Unicef menyebutkan, hampir 12.000 anak tewas atau terluka dalam satu dekade terakhir. Selain itu, lebih dari 5.700 anak, beberapa di antaranya berusia 7 tahun, direkrut ke dalam aneka pertempuran yang berkecamuk. Unicef juga mengatakan, sejak konflik dimulai, lebih dari 1.300 fasilitas pendidikan dan medis diserang. Serangan juga mengarah pada guru dan tenaga kesehatan.
Badan tersebut juga mengatakan, hampir 2,45 juta anak di Suriah dan 750.000 anak Suriah di negara-negara tetangga tidak bersekolah, di mana 60 persen dari mereka adalah laki-laki. Dikatakan, situasi bagi banyak anak dan keluarga tetap genting, dengan hampir 90 persen anak membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Sebuah survei yang diprakarsai Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menyoroti ”harga mahal” yang harus ”dibayar” oleh kaum muda Suriah. Survei itu dilakukan terhadap 1.400 warga Suriah berusia 18-25 di Suriah, Lebanon, dan Jerman.
Di ketiga negara tersebut, kaum muda berbicara tentang keluarga dan pertemanan yang terkoyak, kekhawatiran dan kesulitan ekonomi yang luar biasa, ambisi yang terputus, cita-cita yang tidak tercapai, dan korban psikologis yang mendalam dari tahun-tahun penuh kekerasan dan gangguan yang tiada henti.
”Dekade ini merupakan masa penuh kehilangan brutal bagi seluruh warga Suriah. Khususnya bagi kaum muda, sepuluh tahun terakhir ditandai dengan kehilangan orang yang dicintai, hilangnya kesempatan, dan hilangnya kendali atas masa depan mereka. Survei ini adalah potret suram dari sebuah generasi yang kehilangan masa remaja dan masa dewasa awal akibat konflik,” kata Robert Mardini, Direktur Jenderal ICRC di Geneva dalam rilis ICRC.
Baca juga: Satu Dekade Terkurung Perang, Rakyat Suriah Jangan Sampai Dilupakan
Merujuk pada survei itu, hampir satu dari dua anak muda (47 persen) di Suriah mengatakan bahwa kerabat dekat atau teman mereka tewas dalam konflik tersebut. Satu dari enam anak muda Suriah mengatakan, setidaknya salah satu orangtua mereka tewas atau terluka parah. Sebanyak 54 persen dari mereka yang disurvei kehilangan kontak dengan kerabat dekat.
Di Lebanon, angka ini melonjak hingga hampir tujuh dari sepuluh anak muda. Sebanyak 62 persen melaporkan mereka harus meninggalkan rumah. Satu dari lima orang yang disurvei pun melaporkan menunda rencana pernikahan karena konflik.
Peluang ekonomi dan pekerjaan berada di urutan teratas daftar hal yang paling dibutuhkan kaum muda Suriah, diikuti oleh perawatan kesehatan, pendidikan, dan dukungan psikologis.
Kaum perempuan sangat terpukul secara ekonomi, di mana hampir 30 persen kaum muda di Suriah melaporkan tidak memiliki pendapatan sama sekali untuk menghidupi keluarga mereka. Kaum muda Suriah di Lebanon menyebutkan, bantuan kemanusiaan sebagai salah satu kebutuhan utama mereka.
Terlepas dari semua itu, mayoritas anak muda Suriah yang disurvei mengatakan bahwa mereka optimistis dengan masa depan. Harapan dan ambisi mereka untuk dekade berikutnya bisa diketahui secara universal: keselamatan dan stabilitas, kesempatan untuk memiliki keluarga dan pekerjaan bergaji memadai, perawatan dan pelayanan medis yang terjangkau dan dapat diakses, serta berakhirnya pergolakan dan konflik. Mereka ingin menghapus mimpi-mimpi buruk tentang masa depan mereka. (AFP/REUTERS/BEN)