China sering salah kaprah antara kedaulatan dan hak kedaulatan serta jenis-jenis batas maritim.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
JAKARTA, KAMIS — Sengketa wilayah perairan tidak akan berakhir jika ada perbedaan penafsiran terhadap hukum laut internasional. Seperti China yang kerap memiliki penafsiran sendiri sehingga memicu konflik di wilayah perairan seperti Laut China Selatan dan Laut China Timur.
Komunitas internasional perlu bersama-sama menyadarkan China akan pemahaman yang keliru melalui dialog.
Hal itu dikemukakan oleh pakar hukum internasional Makoto Seta dari Yokohama City University, Jepang, dalam diskusi webinar ”Enforcement of Laws and Regulations of Coastal States”, Rabu (10/3/2021). ”China itu negara besar dan kuat sehingga akan sulit membuat China mau mematuhi hukum internasional. Kita harus bersama-sama menunjukkan China keliru,” ujarnya.
Selain proses dialog, komunitas internasional juga bisa menggunakan kekuatan ekonomi dan militer dalam menghadapi China. Makoto mengatakan, China seharusnya ingat ada tiga jenis batas maritim yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, yakni laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
”China sering salah kaprah antara kedaulatan dan hak kedaulatan serta jenis-jenis batas maritim,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengajak China menjaga keamanan dan perdamaian di Laut China Selatan (LCS) saat bertemu Menlu China Wang Yi, 12 Januari lalu (Kompas, 13 Januari 2021). Untuk itu, semua negara harus menghormati dan menjalankan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Pada pertemuan itu, Wang menyatakan akan terus mengikuti prinsip-prinsip konsultasi yang disepakati ASEAN-China pada dokumen deklarasi tata perilaku (DOC) di LCS yang disepakati ASEAN dan China pada tahun 2012. Kini, ASEAN dan China tengah membahas panduan tata perilaku di LCS.
Terkait dengan pembahasan COC di LCS, Makoto mengingatkan perlunya menentukan apakah ketentuan dalam COC itu mengikat atau tidak. Selain itu, juga perlu dibahas mekanisme persidangannya apabila terjadi pelanggaran seperti yang ada di UNCLOS.
”Saya mengkhawatirkan mekanisme penyelesaian sengketa dengan memakai aturan negara masing-masing,” ujarnya.
Makoto mengatakan, di dalam UNCLOS tidak diperbolehkan ada hukuman pidana bagi pelanggar hukum. Jepang juga mengalami masalah penangkapan ikan ilegal yang dilakukan nelayan Korea Selatan dan China. Nelayan yang melanggar aturan tidak bisa dipenjarakan sehingga hanya denda yang diberikan.
Penjaga pantai
Persoalan hukum kelautan lain yang saat ini meresahkan negara-negara tetangga China adalah penetapan Undang-Undang Penjaga Laut China yang baru. Keprihatinan soal ini disampaikan Menlu Jepang Motegi Toshimitsu saat berbicara melalui telewicara dengan Menlu Retno, Kamis (4/3/2021).
Makoto menjelaskan, dalam UU baru itu disebutkan, armada penjaga pantai China diperbolehkan menggunakan senjata api dalam proses penegakan hukumnya. Ia khawatir karena dalam UU baru China itu tidak didefinisikan soal perairan yurisdiksi.
”Jika UU baru itu diaplikasikan untuk kepentingan domestik, tidak masalah. Tetapi, jika dilakukan di wilayah yang diklaim milik China dan menjadi sengketa, seperti LCS, itu akan jadi masalah,” ujarnya.
Makoto mencontohkan, salah satu pasal yang ”bermasalah” dalam UU baru itu adalah Pasal 21 yang menyebutkan, ”jika kapal militer atau kapal milik pemerintah negara lain masuk wilayah China, maka China bisa menghalau kapal itu”.
Dalam hukum internasional yang sudah ada sekarang, suatu negara tidak bisa menghalau kapal militer atau kapal milik pemerintah karena ada imunitas. ”Tetapi, dalam UU baru China diperbolehkan. Ini akan mengancam negara-negara tetangga China, termasuk Jepang,” ujarnya.
Selain itu, ada pula Pasal 22 yang memperbolehkan China menggunakan kekuatan senjata tanpa perlu ada alasan mereka sedang diserang sekalipun. Padahal, dalam piagam PBB sudah disebutkan, penggunaan senjata diperbolehkan hanya jika dalam kondisi sedang diserang.
”Kalau di Jepang, kami tidak menggunakan senjata api, melainkan hanya meriam air,” kata Makoto.
UU baru China yang disahkan pada 22 Januari lalu terkait kewenangan penjaga pantainya di LCS dan Laut China Timur (LCT) ini dikhawatirkan akan memicu konflik baru, terutama dengan negara tetangga yang selama ini sudah terlibat tumpang tindih klaim di kawasan.
UU baru ini memberikan wewenang lebih kepada penjaga pantai untuk menghancurkan bangunan negara lain yang berdiri di atas karang dan pulau serta menyita, mengusir, dan menembak kapal asing yang masuk secara ilegal di perairan yang diklaim China.
Di LCS, China bersitegang dengan Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Taiwan. Sementara di LCT, China juga bentrok dengan Jepang dan Korsel. UU baru ini memperbolehkan penggunaan senjata ketika kedaulatan nasional, hak kedaulatan, dan yurisdiksi dilanggar secara ilegal oleh organisasi atau individu asing di laut.