Satu dekade sudah konflik Suriah berkecamuk dan tak ada tanda segera berakhir. Dunia perlu selalu diingatkan soal petaka konflik itu agar upaya solusi terus ditempuh.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menandai momentum satu dekade konflik dan perang di Suriah adalah bagian dari upaya mengingatkan komunitas internasional. Pada Maret ini, 10 tahun silam, letupan protes sekelompok pemuda menentang pemerintahan Bashar al-Assad di kota kecil Deraa di wilayah selatan Suriah bereskalasi dan meluas secara nasional sejak 15 Maret saat itu, yang lalu dicatat sebagai penanda awal revolusi rakyat Suriah.
Rezim Assad merespons protes itu dengan kekuatan militer, melahirkan perlawanan bersenjata dari berbagai kelompok oposisi. Konflik bersenjata tak terhindarkan, bahkan kian kronis akibat dukungan kekuatan asing, mengubah konflik Suriah dari perang saudara menjadi perang proksi dan pertarungan negara besar yang mengusung kepentingan masing-masing.
Pada perjalanannya, konfigurasi konflik menempatkan Rusia dan Iran berada di satu kubu sebagai penopang rezim Assad. Amerika Serikat (AS) pendukung perlawanan Kurdi, Turki di kubu berbeda, plus negara-negara di kawasan, seperti Arab Saudi dan Qatar, di pihak oposisi.
Konflik terjalin demikian rumit, setiap kubu bermain sesuai dengan kepentingan masing-masing. Seperti dicatat harian ini, Selasa (9/3/2021), kepentingan mereka satu sama lain berseberangan sehingga tak mudah—untuk tak mengatakan mustahil—mencari titik temu. Rusia, misalnya, menjadikan pertarungan di Suriah sebagai pintu masuk menancapkan lagi pengaruh di Timur Tengah dan Laut Tengah. Iran ingin membangun akses perlawanan terhadap Israel dan impian bulan sabit Syiah.
Di kubu yang berbeda, Turki tak ketinggalan mengirimkan militernya dengan sasaran meredam kebangkitan perlawanan Kurdi, yang dikhawatirkan Ankara memendam misi membangun negara Kurdi. Sementara AS hadir dengan dalih memerangi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta menopang oposisi Kurdi. Israel berulang kali melancarkan serangan udara ke Suriah dengan target Iran dan loyalisnya.
Sampai kapan konflik di Suriah akan berkecamuk? Hingga kini, secara pahit harus dikatakan: tidak ada yang tahu. Sudah lebih dari 387.000 orang tewas, sekitar 200.000 orang hilang, 6,7 juta orang menjadi pengungsi—hampir 5,6 juta orang mengungsi ke negara lain—dan sekitar 13,4 juta orang yang bertahan di Suriah hidup bergantung pada bantuan.
Di tengah kebuntuan ini, penting kiranya mencatat ”ketakutan” Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Maurer akan apatisme dan pesimisme komunitas internasional yang menganggap Suriah sebagai masalah yang tak bisa diselesaikan. Sikap itu berbahaya dan menutup mata pada penderitaan rakyat Suriah satu dekade terakhir ini.
Meminjam kata-kata Maurer, yang disampaikan di Geneva, Swiss, Kamis (4/3/2021), sikap itu akan ”meninggalkan sedikit pilihan jalan keluar bagi jutaan rakyat (Suriah) yang hidup dalam kehancuran”. Betapapun rumit dan terjal jalan keluar itu, konflik di Suriah harus diakhiri.