10 Tahun Setelah Tsunami, Fukushima Terseok-seok
Setelah 10 tahun, kenangan buruk pada kecelakaan nuklir di Fukushima, Jepang, masih menyisakan ”luka”. Bencana itu memicu dilema bagaimana Jepang harus memenuhi kebutuhan energi dan memenuhi komitmen mengurangi emisi.
Sepuluh tahun lalu, 11 Maret 2011, gempa bermagnitudo 9 memicu gelombang tsunami setinggi 40 meter yang menyapu hampir seluruh wilayah timur laut Jepang. Sedikitnya 20.000 orang tewas, 100.000 rumah hancur, dan puluhan ribu warga harus mengungsi sehingga kerugian ekonomi mencapai 200 miliar dollar AS. Belum lagi kebocoran reaktor nuklir Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.
Baca juga: Jejak 10 Tahun Gempa dan Tsunami Jepang
Sampai sekarang, Jepang masih bergelut mengatasi dampak bencana nuklir terburuk di dunia setelah Chernobyl, Ukraina. Sekitar 160.000 warga Fukushima mengungsi karena radiasi. Pemerintah menghabiskan 300 miliar dollar AS untuk membangun kembali wilayah Tohoku yang hancur karena tsunami. Namun, kawasan di sekitar PLTN Fukushima tetap belum disentuh karena kekhawatiran pada radiasi. Penonaktifan PLTN yang lumpuh akan memakan waktu puluhan tahun dan miliaran dollar AS.
Jepang kembali memperdebatkan peran tenaga nuklir sebagai salah satu sumber energi di tengah upaya pemerintahan Perdana Menteri Yoshihide Suga mencapai target netralitas karbon pada 2050 untuk melawan pemanasan global. Namun, survei stasiun televisi NHK menunjukkan, 85 persen publik khawatir dengan kecelakaan terkait nuklir.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Hidup Normal
Para pendukung tenaga nuklir berkeyakinan tenaga nuklir penting untuk dekarbonisasi. Sebaliknya, para penentang nuklir menilai biaya, keamanan, dan penanganan limbah nuklir menjadi alasan logis untuk tidak menggunakan nuklir.
Survei nasional harian Asahi, Februari lalu, menunjukkan, 53 persen warga menentang reaktor nuklir diaktifkan kembali. Di Fukushima, hanya 16 persen warga yang setuju reaktor diaktifkan lagi. Hanya 9 dari 33 reaktor komersial di Jepang yang sudah disetujui untuk diaktifkan kembali dengan standar keamanan baru, seperti membangun dinding laut, sistem filter, dan fitur keamanan lain yang baru.
Masa depan suram
Sebelum bencana, ada 54 reaktor nuklir yang aktif. Pada kuartal pertama 2020, tenaga nuklir menyuplai sekitar 6 persen dari total kebutuhan energi Jepang. Sementara suplai dari sumber energi terbarukan sekitar 23,1 persen dan sumber energi dari bahan bakar fosil sekitar 70 persen.
Penasihat Kebijakan Energi Pemerintah Jepang, Takeo Kikkawa, menjelaskan, dengan memperpanjang usia 33 reaktor komersial yang ada menjadi 60 tahun nantinya hanya akan ada 18 reaktor tersisa pada 2050 dan pada 2069 tidak akan ada lagi yang tersisa. Ini karena upaya industri mendorong sumber energi terbarukan menguat. ”Jepang miskin sumber energi jadi sebaiknya tenaga nuklir jangan ditinggalkan. Tetapi realitanya, masa depan tenaga nuklir suram,” ujarnya.
Baca juga: Proses Pemulihan Bencana Fukushima Masih Butuh Waktu
Analis independen dan konsultan kebijakan energi dan nuklir di Paris, Mycle Schneider, menilai, biaya konstruksi yang besar dan kekhawatiran akan keamanan tenaga nuklir, terutama di bagian pengolahan limbah nuklir, membuat ketertarikan industri pada tenaga nuklir menurun. Jumlah reaktor nuklir menurun di seluruh dunia dalam 10 tahun terakhir, dari 429 pada 2010 menjadi 412 tahun lalu.
Menurunnya minat pada tenaga nuklir ini, antara lain, juga karena sumber energi terbarukan, seperti teknologi tenaga angin dan tenaga matahari, yang kian terjangkau.
Baca juga: Jepang Setelah Delapan Tahun Diterjang Tsunami
Setelah bencana Fukushima, Jerman memutuskan meninggalkan tenaga nuklir pada 2022. Belgia dan Swiss juga berniat sama. Namun, beberapa negara tetap berminat mengembangkan tenaga nuklir, seperti China yang tengah membangun 25 reaktor. Bangladesh, Belarusia, Uni Emirat Arab, Turki, dan Polandia juga masih menginginkan tenaga nuklir.
Untuk mengatasi kekhawatiran akan limbah nuklir, sejumlah negara mengembangkan reaktor nuklir generasi keempat yang menghasilkan limbah nuklir minim. Industri nuklir saat ini juga tengah membangun reaktor modular kecil (SMR) yang mampu menghasilkan 300 megawatt listrik. Rusia sudah memakai teknologi itu. Amerika Serikat, yang memiliki reaktor nuklir terbanyak di dunia, Perancis, dan Inggris juga tertarik dengan teknologi ini.
Dilematis
Pemerintah Jepang menghadapi dilema karena pemerintahan Suga menjanjikan karbon netral pada 2050. Untuk memenuhi komitmen Perjanjian Iklim Paris itu, harian Bloomberg, 8 Maret 2021, menyebutkan, Jepang harus mengaktifkan kembali mayoritas reaktornya dengan tambahan beberapa reaktor baru. Jepang berjanji menurunkan emisi sampai 26 persen pada 2030. ”Kalau mau nol karbon pada 2050, kita perlu nuklir,” kata Ketua Lembaga Kajian Institut Ekonomi Energi Toyoda Masakazu.
Meski tenaga nuklir kerap dianggap menakutkan, The Economist, 6 Maret 2021, menyebutkan, tenaga nuklir tetap pilihan aman jika dikelola dengan benar. Pada kasus Fukushima, banyak korban tewas karena tsunami dan gempa, bukan karena radiasi. Terkait dengan krisis iklim, tenaga nuklir bisa memasok listrik dalam jumlah besar dan bebas emisi. Tenaga surya dan angin memang sekarang murah, tetapi tidak stabil.
Baca juga: Penataan Kota di Jepang Berbasis Mitigasi Bencana
Meski pemerintah berusaha kembali mendapatkan kepercayaan rakyat pada tenaga nuklir, masih banyak yang belum bisa percaya. Untuk memulihkan kehidupan pascabencana, The Economist, 6 Maret 2021, menyebutkan mayoritas Prefektur Miyagi dan Iwate, dua wilayah yang paling parah terdampak bencana, sudah diperbaiki.
Namun, masih ada secuil wilayah di Fukushima yang masih belum bisa ditinggali lagi karena tingkat radiasi yang 50 kali lebih tinggi daripada tingkat radiasi yang dianggap aman. Warga yang pernah tinggal di wilayah itu boleh sesekali datang, tetapi harus memakai pakaian pelindung dari radiasi dan tidak boleh menginap. Ada 36.811 orang yang masih belum boleh kembali ke rumah mereka.
Baca juga: Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi Jadi Pelajaran
Banyak juga yang masih belum mau pulang karena takut pada radiasi dan tidak percaya pada pemerintah. Namun, Masakazu Daibo (65) memberanikan diri pulang ke kota Namie, 9 kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi. Bahkan, dia sudah membuka lagi restoran milik keluarganya. Tetapi, sayangnya, di sekitarnya hanya ada 11 orang. ”Kotanya masih ada, tetapi sepi. Seperti kota hantu. Tidak ada suara manusia, hanya ada suara anjing, sapi, dan babi,” ujarnya.
Padahal, pemerintah sudah memberikan iming-iming mengurangi biaya sewa rumah serta bantuan uang untuk biaya pindah dan renovasi agar warga mau kembali pulang. Survei Kwansei Gakuin University pada 2020 menunjukkan, dua pertiga dari 35.700 pengungsi Fukushima tidak berencana pulang.
Baca juga: Keselamatan dan Penerimaan Masyarakat Jadi Kunci
”Banyak orang masih tidak percaya dengan target penonaktifan dan pada pemerintah. Itu bisa dimaklumi dan inilah PR terberat pemerintah,” kata Yoko Saito, pengamat pengurangan bencana di kampus itu. (REUTERS/AFP/AP)