Pembunuhan yang menargetkan warga sipil, khususnya perempuan, masih marak di Afghanistan meski nota kesepahaman damai sudah ditandatangani. Pengakuan atas hak dan kesetaraan bagi perempuan masih panjang di negara itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Aktivis perempuan terkemuka Afghanistan, Sima Samar, telah memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di negaranya selama 40 tahun terakhir. Meski nota kesepahaman damai sudah diteken di Doha, Qatar, Februari 2020, bukan berarti ancaman terhadap kaum perempuan berhenti. Perjuangannya masih jauh dari selesai, terutama karena perundingan intra Afghanistan macet, sementara dua bulan lagi Amerika Serikat akan hengkang dari negara itu.
Samar (64) khawatir dengan masa depan kaumnya dan negara itu. Dia menilai, ketidakamanan dan ketidakstabilan Afghanistan telah mencapai tingkat yang menakutkan.
”Kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok,” katanya saat ditemui di rumahnya di Kabul, ibu kota Afghanistan. Ketidakpastian itu semakin besar, terutama ketika AS memutuskan akan hengkang. Samar mengakui, meski AS belum dipastikan hengkang, kecemasan semakin meningkat di antara para pemimpin masyarakat sipil.
Pekan lalu, Samar dan beberapa perwakilan masyarakat sipil berkesempatan berbicara dengan Utusan Khusus Pemerintah AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad secara daring. Meski sempat bertemu dengan Presiden Ashraf Ghani, Khalilzad tidak punya kesempatan untuk bertemu dengan perwakilan masyarakat sipil.
Dalam pertemuan melalui layar komputer itu, Khalilzad mencoba meyakinkan bahwa Washington mendukung inisiatif masyarakat sipil Afghanistan untuk melindungi pencapaian yang diperoleh selama 20 tahun terakhir.
Setelah pertemuan itu, Khalilzad terbang ke Doha, Qatar, untuk bertemu dengan pemimpin politik Taliban. Meski dalam perbincangan secara langsung itu Khalilzad mencoba meyakinkan Samar dan masyarakat sipil bahwa AS tetap akan mendukung Afghanistan, hal itu tidak menepis kekhawatiran Samar.
”Saya merasa sepertinya sejarah terulang kembali,” kata Samar.
Kuasa panglima perang
Ketika rezim Taliban digulingkan tahun 2001 oleh koalisi pimpinan AS, Samar telah berteriak soal keadilan. Dia mendesak semua pihak agar mereka yang pernah melakukan kejahatan pada rezim sebelumnya harus dihukum. Akuntabilitas, kesetaraan, dan keadilan harus menjadi prioritas.
Pada saat itu, Samar juga mengingatkan bahwa tidak seharusnya para panglima perang, yang telah berpartisipasi dalam perang saudara sepanjang tahun 1990-an dan menghancurkan sebagian besar Kabul, memperoleh peran dan kedudukan penting dalam pemerintahan pasca-Taliban. Dia bersama beberapa pemimpin gerakan sipil menolak keberadaan mereka di pemerintahan.
Dampaknya, dia menerima ancaman pembunuhan dan menjadi sasaran fitnah. Dia digambarkan seperti ”Salman Rushdie dari Afghanistan”. ”Saya tidak mengatakan setiap orang harus masuk penjara. Mereka setidaknya harus cukup berani untuk mengatakan, ’Saya minta maaf.’ Itu adalah permulaan,” ujar Samar.
Samar mengatakan, Afghanistan tetap membutuhkan keterlibatan komunitas internasional ke depan untuk memastikan semua janji yang dibuat ditepati dan gencatan senjata dipantau secara independen. Sementara para pelaku kekerasan selama perang berlangsung juga tetap harus dihukum.
Target kekerasan
Pertanyaan banyak orang saat ini adalah siapa yang melakukan kekerasan terhadap banyak warga sipil yang terus meningkat?
Jumlah pembunuhan dengan korban yang ditargetkan meningkat tiga kali lipat tahun lalu, menurut Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan yang dipimpin oleh Samar.
Sebagian dari mereka para pejabat pemerintahan sipil, termasuk perempuan, menjadi korban pembunuhan. Meski kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Afghanistan telah mengaku bertanggung jawab dalam berbagai pembunuhan itu, tidak ada satu pelaku pun yang bisa ditangkap dan dibawa ke muka pengadilan.
Sementara Taliban membantah terlibat sebagian besar insiden. Pemerintah dan Taliban, yang berseteru, sering kali saling menyalahkan.
Juru bicara Komisi HAM Independen Afghanistan, Zabihullah Farhang, mengungkapkan bahwa sebanyak 65 perempuan tewas dan 95 luka-luka dalam serangan yang ditargetkan sepanjang tahun 2020. Para pelaku tidak memahami etika perang jika menganggap Afghanistan masih dalam belum mencapai perdamaian.
Mereka juga menyerang rumah sakit bersalin, institusi pendidikan yang tengah berkegiatan hingga menewaskan 50 orang, yang sebagian besar adalah pelajar. ”Ini seperti mengambil mutiara paling langka dari tengah kami,” kata Torek Farhadi, seorang analis dan mantan penasihat Pemerintah Afghanistan.
”Pembunuhan tragis ini menggarisbawahi tren mengkhawatirkan dari peningkatan penargetan perempuan di Afghanistan, dan Amerika Serikat mengecam keras tindakan kekerasan ini,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menjelang upacara Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).
Sebagai pengakuan terhadap peran perempuan, Pemerintah AS memberikan penghargaan kepada enam perempuan Afghanistan karena keberanian mereka memperjuangkan hak-haknya meski harus berkorban jiwa.
Meningkatnya kekerasan dan macetnya perundingan intra Afghanistan membuat AS mengusulkan proposal perdamaian baru. Dalam surat yang dikirimkan Blinken kepada Presiden Ghani, AS menyerukan agar Pemerintah Afghanistan dan Taliban bertemu kembali dalam perundingan yang difasilitasi PBB untuk membahas pendekatan terpadu perdamaian Afghanistan.
Kemajuan yang rapuh
Samar mengatakan, banyak yang telah dirasakan kaum perempuan selama 20 tahun terakhir sejak Taliban digulingkan. Anak-anak perempuan bisa sekolah, perempuan bisa bekerja, berpolitik, termasuk di dalamnya berprofesi menjadi hakim. Bahkan, mereka menjadi bagian dari tim perunding antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan.
Akan tetapi, tetap saja, semua hal itu masih sangat rapuh. Aktivis hak asasi manusia dinilai sebagai musuh oleh para militan di lapangan hingga panglima perang yang tidak bisa menerima kritik terhadap kekuasaan mereka.
Indeks Perempuan, Perdamaian dan Keamanan 2019 menempatkan Afghanistan sebagai tempat terburuk kedua di dunia setelah Yaman. Tingkat buta huruf di kalangan perempuan Afghanistan mencapai 82 persen. Sebagian besar perempuan mendekam di penjara karena dinilai banyak melakukan kejahatan moral, seperti menuntut perceraian, meski mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kondisi-kondisi itulah yang membuat Samar menilai jalan menuju keadilan dan kesetaraan bagi kaum perempuan Afghanistan masih sangat panjang. Samar juga mengatakan, diskriminasi berdasarkan etnis dan jenis kelamin masih meluas di negaranya.
Terlepas dari tantangan yang terus-menerus, Afghanistan pada tahun 2021, menurut Samar, akan berbeda. Hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan hak-hak minoritas sekarang ini setidaknya sedang dibahas. ”Setidaknya kita berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan sekarang. Sebelumnya masalah itu tidak dianggap sebagai isu di negeri ini, kecuali oleh beberapa orang gila seperti saya,” ujarnya. (AP)