Pemerintah Singapura membangun dua pembangkit listrik tenaga surya terapung untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, proyek ini dinilai masih jauh dari harapan untuk mengurangi ketergantugan pada energi fosil.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
SINGAPURA, SENIN — Meski hanya memiliki lahan daratan terbatas, separuh dari luas wilayah Kota Los Angeles, Amerika Serikat, Singapura adalah salah satu negara penghasil karbon dioksida per kapita terbesar di Asia. Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembangkit listrik konvensional, Pemerintah Singapura memilih mengembangkan ladang surya terapung di wilayah lautnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
”Setelah atap rumah habis dan lahan yang tersedia sangat langka, potensi besar berikutnya sebenarnya adalah wilayah perairan,” kata Jen Tan, Wakil Presiden Senior pada Sembcorp Industries. Tan, di perusahaan yang sama, tengah memimpin proyek pengembangan tenaga surya untuk wilayah Asia Tenggara.
Singapura, sebagai negara pulau yang juga terancam oleh naiknya permukaan laut karena perubahan iklim, sadar pentingnya pengurangan emisi. Pada saat yang sama, Pemerintah Singapura juga sadar bahwa energi baru terbarukan menjadi tantangan tersendiri karena mereka tidak memiliki sungai untuk pembangkit listrik tenaga air. Bahkan, angin pun di negara itu tidak cukup untuk menggerakkan turbin.
Karena itu, Singapura memilih beralih ke tenaga surya. Namun, minimnya lahan atau ruang terbuka membuat Pemerintah Singapura terpaksa mendirikan pembangkit listrik tenaga surya di lepas pantai dan waduk.
Bulan lalu, Pemerintah Singapura menyusun peta jalan Rencana Hijau yang mencakup langkah-langkah untuk mengurangi emisi, seperti menanam lebih banyak pohon, mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke tempat pembuangan sampah, dan membangun lebih banyak titik pengisian untuk mendorong penggunaan mobil listrik.
Salah satu langkah besar yang akan diambil adalah meningkatkan penggunaan energi matahari empat kali lipat menjadi sekitar 2 persen dari kebutuhan listrik negara pada 2025, dan menjadi 3 persen tahun 2030. Jumlah itu diyakini pemerintah cukup membantu pengadaan listrik 350.000 rumah tangga per tahun.
Satu pembangkit tenaga surya yang baru dibangun menyebar dari pantai ke Selat Johor, yang memisahkan Singapura dan Malaysia. Di atasnya mengapung 13.000 panel surya yang ditambatkan ke dasar laut. Dari belasan ribu panel surya itu diharapkan bisa menghasilkan listrik 5 megawatt, cukup untuk menyalakan 1.400 flat selama satu tahun penuh.
”Laut adalah capaian baru bagi tenaga surya yang akan dipasang,” kata Shawn Tan, Wakil Presiden Bidang Teknik Sunseap Group, perusahaan Singapura pelaksana proyek itu.
Tan berharap proyek ladang panel surya terapung di laut menjadi preseden agar lebih banyak proyek serupa, tidak hanya di Singapura, tetapi juga di berbagai wilayah lain di Asia Tenggara.
Proyek besar
Selain memasang panel surya di lautan lepas, Pemerintah Singapura juga tengah mengembangkan proyek yang sama di Waduk Tengeh dengan jumlah panel surya 10 kali lipat lebih besar. Di lokasi ini akan dipasang sekitar 122.000 panel atau setara dengan 45 lapangan sepak bola, salah satu yang terluas di Asia Tenggara.
Menurut perencana senior Badan Utilitas Umum Badan Air Nasional, Sharon Zheng, proyek yang dikerjakan bersama Sembcorp itu akan menghasilkan daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi instalasi pengolahan air di Singapura. Ini akan mengurangi emisi karbon yang setara dengan menghilangkan 7.000 mobil dari jalan raya.
Akan tetapi, menurut Direktur Eksekutif Institut Penelitian Energi Universitas Teknologi Nanyang Subhod Mhaisalkar, Singapura tetap akan menghadapi kendala ruang dalam pengembangan PLTS terapung. ”Apakah Anda menggunakan air laut untuk menyebarkan tenaga surya, atau Anda menggunakannya untuk pengiriman?” katanya.
Meskipun ada dorongan untuk mengembangkan dan menggunakan energi baru terbarukan, Singapura masih harus bekerja ekstra untuk melepaskan diri dari ketergantungan penggunaan gas alam yang merusak dan mengurangi emisi tanpa memengaruhi sektor penyulingan dan petrokimia.
Selain itu, menurut Red Constantino, Direktur Eksekutif Institut Iklim dan Kota Berkelanjutan yang berbasis di Filipina, proyek PLTS tidak bisa bekerja sendirian untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kecuali mendapat dukungan dan komitmen lebih luas. Pemerintah Singapura berjanji mengurangi setengah emisi gas rumah kaca pada 2050 dan mencapai emisi nol secepat mungin pada paruh kedua abad ini.
Akan tetapi, menurut Climate Action Tracker, target Singapura berada di bawah target dan janji negara-negara maju. Komitmen tersebut dinilai tidak mencukupi.
Constantino menilai, PLTS apung yang tengah digarap oleh Pemerintah Singapura berisiko menjadi ”sekadar proyek” bahwa negara ini memiliki inisiatif tentang EBT. Usaha Pemerintah Singapura, menurut Constantino, harus bergerak lebih cepat.
”Mereka perlu menetapkan target absolut yang lebih tinggi. Target seperti itu mengirimkan sinyal ke komunitas bisnis di mana ekonomi Singapura berkembang,” katanya. (AFP)