Pekerja Migran Indonesia Bisa Manfaatkan Rekalibrasi
Dalam kondisi normal, warga asing tanpa izin harus membayar denda hingga 3.000 ringgit (Rp 10,5 juta) atau ditahan sebelum bisa keluar Malaysia. Kini denda turun menjadi rata-rata 500 ringgit (Rp 1,75 juta).
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja migran Indonesia di Malaysia didorong memanfaatkan program rekalibrasi. Program itu memungkinkan mereka pulang atau tetap bekerja di sana.
Koordinator Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya pada Kedutaan Besar RI Kuala Lumpur Yoshi Iskandar mengatakan, program itu salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia dan Malaysia. Program itu menjadi solusi bagi kebutuhan Malaysia terhadap pekerja migran sekaligus pemulangan yang aman bagi WNI di Malaysia.
”Bagi yang pulang, prosedurnya lebih mudah. Ini seperti menerangi ’lorong tikus’,” ujarnya di Kuala Lumpur saat dihubungi Kompas, Kamis (4/3/2021).
Lorong tikus adalah istilah di Malaysia untuk jalur-jalur kedatangan pekerja migran tak berdokumen. Sebagian pekerja migran Indonesia di Malaysia menggunakan jalur itu dari Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Riau, dan Sumatera Utara.
Di Sumut dan Kepri, jalurnya melalui laut, sementara di Kalimantan mayoritas melalui darat. Dalam berbagai penyelidikan kasus pengiriman pekerja migran Indonesia tak berdokumen ke Malaysia ditemukan keterangan bahwa penyelundup melibatkan WNI maupun WN Malaysia.
Chrisanctus Paschalis Saturnus Pr mengatakan, jalur laut paling banyak dari pesisir Batam dan Bintan, Kepulauan Riau, menuju Johor Bahru, Malaysia. Dari sana, berlayar hanya butuh waktu paling lama 2 jam dengan perahu cepat atau 6 jam dengan kapal motor berbobot 20 gros ton.
”Berkali-kali perahu dan kapal pengangkut pekerja migran Indonesia ilegal terbalik karena cuaca buruk dan kelebihan muatan,” ujar Koordinator Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKP-PMP) Kepri pada Keuskupan Pangkal Pinang itu.
Jalur favorit
Jalur laut juga dipakai dari Bengkalis, Riau, dan Labuhan Batu, Sumut, menuju Negeri Sembilan dan Selangor, Malaysia. Jalur ini membutuhkan waktu pelayaran lebih dari 5 jam dengan kapal dan lebih dari 10 jam dengan kapal motor.
Karena waktu tempuhnya, rute Batam-Bintan ke Johor Bahru lebih sering dipakai penyelundup pekerja migran ilegal. Aparat kewalahan, terutama karena perahu dan kapal pengangkut PMI ilegal bisa berangkat dari mana pun di pesisir Batam dan Bintan. Selain faktor geografis, penyelundupan PMI ilegal terus berlangsung dari Kepri karena melibatkan jaringan yang rumit dan menyusup ke berbagai instansi, baik sipil maupun aparat keamanan.
Paschalis mengatakan, ada oknum aparat keamanan pernah mencoba menyuapnya agar tidak lagi bersuara soal penyelundupan pekerja migran Indonesia. ”Saya tidak tahu apa pikiran mereka, mau menyuap pastor,” katanya.
Pandemi Covid-19, menurut Paschalis, tidak menyurutkan aktivitas penyelundup orang di Batam. Kini, KKP-PMP dan mitranya tengah menampung 10 perempuan yang diselamatkan dari tempat penampungan calon pekerja migran Indonesia tak berdokumen di Batam.
”Informasi yang kami dapat, jaringan pelakunya masih orang itu-itu saja,” katanya seraya menyebut salah satu nama yang sudah bertahun-tahun kerap disebut dalam kasus penyelundupan orang di Batam.
Dua jenis
Jika sampai 10 orang yang ditampung KKP-PMP Kepri masuk Malaysia, berkemungkinan besar mereka akan berstatus pendatang ilegal. Indonesia-Malaysia telah menyepakati program rekalibrasi untuk masalah PMI ilegal.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, ada dua jenis program rekalibrasi pekerja migran Indonesia. Pertama untuk perekrutan ulang dan berlaku hanya pada sektor perkebunan, pabrik, konstruksi, dan pertanian. Kedua untuk pemulangan. Jalur kedua disediakan kepada siapa pun yang ingin pulang di masa pandemi Covid-19.
Program perekrutan merupakan jalan tengah bagi kebutuhan dunia usaha Malaysia atas pekerja migran Indonesia dan keberadaan mereka yang sudah tidak punya izin kerja. Para pemberi kerja dapat mendaftarkan pekerja migran di tempat usaha masing-masing dengan memanfaatkan rekalibrasi jalur perekrutan ulang.
”Program ini berlaku untuk pekerja migran yang sudah di Malaysia dan bekerja di sektor yang ditetapkan. Bukan untuk pekerja baru,” kata Judha.
Yoshi mengatakan, rekalibrasi pulang diberikan kepada WNI yang tidak punya izin apa pun untuk tinggal atau bekerja di Malaysia. Sedikitnya 4.000 WNI di berbagai rumah detensi imigrasi (Rudenim) Malaysia kini menanti pemanfaatan program itu. Selain di rudenim, lebih dari 4.000 WNI tersebar di berbagai penampungan atau tempat tinggal sementara.
Dalam kondisi normal, warga asing tanpa izin harus membayar denda hingga 3.000 ringgit (Rp 10,5 juta) atau ditahan beberapa waktu sebelum bisa keluar Malaysia. Mereka juga masih harus membayar ongkos angkutan keluar Malaysia dan biaya dokumen untuk perlintasan antarnegara apabila paspor sudah tidak berlaku.
Kini, denda diturunkan menjadi rata-rata 500 ringgit (Rp 1,75 juta). Selain itu, KBRI Kuala Lumpur rutin mendatangi berbagai rudenim dan tempat penampungan WNI untuk membantu pengurusan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Sejak pandemi, lebih dari 50.000 WNI pulang atau dipulangkan dari Malaysia.
”Kami terus berkomunikasi dengan pihak berwenang untuk mempercepat pemulangan (WNI) di rudenim,” kata Yoshi.
Pada Januari 2021 saja, 222 WNI pulang dari Malaysia lewat program rekalibrasi. ”Kalau sudah pulang, jangan kembali lagi secara ilegal,” ujarnya.
Selama pandemi Covid-19, Malaysia memang tidak hanya membuat pengampunan seperti rekalibrasi. Kuala Lumpur juga menggencarkan razia pendatang ilegal. Pada Kamis dini hari, Malaysia menangkap 12 warga asing yang masuk secara ilegal. Sebelum itu, penangkapan juga semakin kerap terjadi.
Perwakilan MigrantCare Malaysia, Alex Ong, mengatakan, perlu sosialisasi lebih luas agar PMI tahu program rekalibrasi. Program yang baru berjalan pada akhir 2020 itu belum banyak diketahui PMI.
Razia masif, menurut Ong, memaksa PMI bersembunyi di berbagai tempat dan informasi ke mereka terlambat sampai. PMI khawatir ditangkap lalu dijatuhi denda atau penjara. ”Banyak yang berpendapat, tertangkap seperti dijatuhi hukuman mati,” ujarnya.