Satu Dekade Terkurung Perang, Rakyat Suriah Jangan Sampai Dilupakan
Satu dekade konflik Suriah membuat kondisi rakyat Suriah kian memprihatinkan. Komunitas internasional harus menemukan terobosan politik segera untuk mengakhiri konflik dan pertumpahan darah di negara itu.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT — Setelah satu dekade konflik berlangsung di Suriah, kondisi rakyat di negara itu semakin sulit. Mereka harus berjuang membeli makanan, sementara ambulans kekurangan bahan bakar untuk membawa orang sakit, termasuk mereka yang positif Covid-19, ke rumah sakit.
Lebih dari 387.000 orang telah tewas dan jutaan orang lainnya mengungsi sejak konflik meletus akibat tindakan represif terhadap protes antipemerintah pada 15 Maret 2011. Setelah hampir 10 tahun konflik berlangsung, penderitaan rakyat Suriah tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
”Suriah berada dalam spiral peperangan yang mematikan, keruntuhan ekonomi, pandemi, dan sanksi,” kata Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Maurer dalam jumpa pers di Geneva, Swiss, Kamis (4/3/2021).
”Ketakutan saya adalah komunitas internasional menganggap Suriah sebagai masalah politik yang sulit diselesaikan dan bergerak ke krisis berikutnya, meninggalkan sedikit pilihan jalan keluar bagi jutaan rakyat yang hidup dalam kehancuran,” tutur Maurer.
Konflik yang kian kompleks di Suriah melibatkan antrean panjang keterlibatan para pemain internasional, termasuk Rusia, Iran, Turki, dan Amerika Serikat. Mereka membuat kota-kota dan desa-desa porak poranda, ekonomi hancur, dan lebih dari 11 juta rakyat telantar.
”Hampir tiga perempat populasi Suriah membutuhkan bantuan kemanusiaan, ini meningkat 20 persen dibandingkan setahun yang lalu,” kata Maurer. Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dari sekitar 18 juta jiwa penduduk Suriah, sebanyak 13,4 juta jiwa di antaranya bergantung pada bantuan.
Kondisi ekstrem
Di tengah konflik, Suriah juga mengalami kenaikan kasus Covid-19 sejak pertengahan Februari 2021. Akan tetapi, pilihan karantina wilayah tetap tidak optimal diterapkan akibat kondisi ekonomi negara itu yang mengerikan.
Khaled Hboubati, Presiden Bulan Sabit Merah Arab Suriah, mengatakan bahwa selama satu dekade terakhir rakyat Suriah hidup dalam penderitaan. Pertikaian yang terus terjadi, ekonomi yang runtuh, krisis pengungsi, dan pandemi Covid-19 mendorong rakyat Suriah berada dalam kondisi ekstrem yang tidak dapat diterima.
Francesco Rocca, Presiden Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, mengatakan bahwa, bagi mayoritas rakyat Suriah, takut akan Covid-19 adalah kemewahan yang tidak bisa mereka rasakan. ”Jika mereka mengisolasi diri di dalam rumah untuk mencegah penularan Covid-19, mereka tidak akan punya makanan untuk keluarga. Mereka tidak bisa melindungi diri. Jika mereka sakit, sistem pelayanan kesehatan yang hancur hanya memberikan sedikit akses pada pengobatan,” katanya.
Sanksi Barat terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad juga menghambat impor peralatan medis dan obat-obatan. ”Kekurangan bahan bakar berarti tidak ada ambulans untuk membawa pasien ke rumah sakit. Tanpa listrik mustahil bisa menyimpan darah atau, satu hari nanti, vaksin,” kata Rocca menjelaskan.
Putaran pembicaraan damai dukungan PBB yang tak berkesudahan telah gagal menghentikan pertumpahan darah di Suriah. Warga sipillah yang harus ”menanggung akibat dari tidak adanya terobosan politik”.
”Komunitas internasional tidak bisa berpaling dari Suriah,” ujar Muarer. ”Rakyat Suriah butuh solusi politik. Mereka tidak boleh terus tinggal di tenda-tenda bergantung pada pasokan air dan bantuan makanan berbulan-bulan, dibiarkan bertahun-tahun, ditelantarkan satu dekade.”
Maurer mendesak komunitas internasional untuk berbuat lebih guna memastikan akses kemanusiaan dan menyediakan dukungan politis untuk mendorong adanya informasi tentang orang hilang dan memperlancar upaya pertukaran tahanan.
”Kurangnya informasi orang hilang adalah salah satu hambatan besar untuk rekonsiliasi masyarakat Suriah dan langkah awal untuk negosiasi damai yang ambisius,” kata Maurer. (REUTERS/AFP)