Dunia Arab yang Selalu Menunggu Dokter Asing untuk Mengobati Sakitnya
Kolumnis asal Lebanon, Ghassan Charbel, melukiskan dunia Arab saat ini seperti tubuh manusia yang sedang mengalami sakit parah dan selalu menunggu dokter dari luar negeri untuk mengobatinya.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·6 menit baca
Kolumnis asal Lebanon, Ghassan Charbel, menulis artikel di harian Asharq al-Awsat edisi Senin (1/3/2021) tentang fenomena dunia Arab yang terkapar sakit. Charbel melukiskan dunia Arab saat ini seperti tubuh manusia yang sedang mengalami sakit parah dan selalu menunggu dokter dari luar negeri untuk mengobatinya.
Menurut Charbel, jika manusia, lembaga, atau negara yang sedang sakit atau krisis mengundang dokter atau konsultan luar negeri untuk mengobatinya, hal itu menunjukkan bahwa manusia, lembaga, atau negara tersebut sudah dalam keadaan krisis akut yang tidak mampu mengobatinya sendiri.
Hal itu menunjukkan juga bahwa manusia, lembaga, atau negara itu sedang mengalami kemunduran dalam semua aspek kehidupannya, yakni sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Kondisi dunia Arab saat ini pun disebut seperti Turki pada akhir masa Dinasti Ottoman yang mengalami kemunduran luar bisa sehingga dijuluki ”The Sick Man of Europe”. Dinasti Ottoman di Turki pun akhirnya ambruk dan diganti dengan negara Turki modern yang diproklamasikan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1923.
Dunia Arab kini ibarat pesakitan yang sedang mendapat pengobatan oleh dokter dari luar negeri karena dunia Arab tidak mampu mengobati dirinya sendiri. Semua krisis di dunia Arab saat ini ditangani oleh konsultan asing yang ditunjuk oleh PBB atau negara besar sekelas AS dan Rusia.
Lihat saja kasus krisis Yaman yang kini ditangani oleh utusan khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths. Warga negara Inggris ini ditunjuk oleh Sekjen PBB Antonio Guterres sebagai utusan khusus PBB untuk Yaman sejak 16 Februari 2018. AS sendiri menunjuk Timothy Lenderking sebagai utusan khusus AS untuk Yaman.
Krisis Suriah ditangani pula oleh utusan khusus PBB, seorang diplomat asal Norwegia bernama Geir Pedersen. Ia ditunjuk oleh Sekjen PBB pada 8 Januari 2019. AS menunjuk pula Joel Rayburn sebagai utusan khususnya untuk Suriah sejak Juli 2018.
Krisis Libya ditangani langsung pula oleh PBB. Antonio Guterres menunjuk diplomat asal Slovakia, Jan Kubis, sebagai utusan khususnya di Libya sejak 18 Januari 2021.
PBB pun menangani krisis Gurun Sahara Barat yang meletus sejak pemerintah kolonial Spanyol meninggalkan wilayah itu pada 1975. Wilayah Gurun Sahara Barat kemudian diperebutkan oleh Maroko dan Gerakan Pembebasan Gurun Sahara Barat (Polisario).
Gencatan senjata antara Maroko dan Polisario dengan mediator PBB dicapai pada 1991. Sejak itu, PBB menunjuk utusan khusus untuk mencari solusi politik atas krisis Gurun Sahara Barat. Lembaga itu sejak 1 Desember 2017 menunjuk diplomat asal Kanada, Colin Stewart, sebagai utusan khusus baru di Gurun Sahara Barat.
Krisis Somalia yang meletus sejak tahun 1991 juga tidak lepas dari penanganan PBB. Sekjen PBB sejak 30 Mei 2019 telah menunjuk diplomat AS, James Swan, sebagai utusan khusus di Somalia.
Seorang pengamat Mesir di harian Mesir, Al Ahram, beberapa waktu lalu menyampaikan kemirisannya atas fenomena diplomat asing yang menjadi utusan khusus PBB untuk menangani berbagai krisis di dunia Arab. Padahal, banyak diplomat andal dari Arab sendiri. Seharusnya diplomat Arab lebih memahami persoalan di wilayah mereka karena faktor lebih menguasai bahasa, budaya, dan tradisi politiknya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. PBB cenderung lebih memilih diplomat asing untuk menangani krisis di dunia Arab. Hal itu bisa menunjukkan fenomena adanya kekurangpercayaan lembaga internasional itu terhadap para diplomat lokal untuk menangani krisis di dunia Arab.
PBB sempat menunjuk diplomat senior asal Aljazair, Lakhdar Brahimi, sebagai utusan khusus untuk Suriah periode 2012-2014 dan menunjuk diplomat asal Mauritania, Ismail Ould Cheikh Ahmed, sebagai utusan khusus untuk Yaman periode 2015-2018. Lembaga ini juga menunjuk diplomat asal Lebanon, Ghassan Salame, sebagai utusan khusus untuk Libya periode 2017-2020.
Namun, PBB kemudian mengganti lagi para diplomat Arab tersebut dengan diplomat asing sebagai utusan khusus di Libya, Yaman, dan Suriah. Maka, bisa disebut nasib masa depan krisis di dunia Arab berada di tangan asing.
Tidak sedikit pula negara Arab yang tidak mampu membentuk pemerintahannya sendiri tanpa restu dari negara lain. Lebanon, misalnya, untuk bisa membentuk pemerintahannya harus ada restu atau kompromi antara Iran, Suriah, Arab Saudi, dan Perancis.
Lebanon tidak mampu membentuk pemerintahan tanpa ada restu dari empat negara asing tersebut. Sampai saat ini, Lebanon tidak memiliki pemerintahan sejak pemerintah PM Hassan Diab mengundurkan diri pada 10 Agustus 2020 menyusul terjadinya ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 yang menyebabkan korban 207 orang tewas dan 7.500 luka-luka.
Pemimpin Partai Al-Mostaqbal, Saad al-Hariri, mendapat mandat membentuk pemerintahan baru. Namun, sampai saat ini mereka gagal membentuk pemerintah baru karena tarik-menarik kepentingan antara kubu loyalis Iran dan Arab Saudi.
Di Irak, untuk bisa membentuk pemerintahan harus ada restu atau kompromi antara AS dan Iran. Tanpa ada kompromi antara AS dan Iran, tidak akan bisa terbentuk pemerintahan di Irak.
Hal itu menunjukkan betapa besar pengaruh AS dan Iran di Irak. Maka, nasib Irak sesungguhnya berada di tangan kedua negara tersebut. Pemerintah baru Irak yang dipimpin PM Mustafa al-Kadhimi bisa terbentuk pada Mei 2020 berkat kompromi antara AS dan Iran atau telah mendapat dukungan dari kedua negara asing itu.
Di Yaman pun, meskipun PBB dan AS telah menunjuk utusan khususnya, solusi krisis di negara itu harus merujuk pada Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Tanpa ada kompromi antara Iran, Arab Saudi, dan UEA, mustahil tercapai solusi politik di Yaman. Maka, wajar jika utusan khusus PBB untuk Yaman sering berkunjung ulang-alik antara Riyadh, Teheran, dan Abu Dhabi untuk mencari solusi politik di Yaman.
Bahkan, utusan khusus AS untuk Yaman, Timothy Lenderking, pekan ini sedang melakukan lawatan ke negara-negara Arab Teluk, seperti Arab Saudi, UEA, dan Kesultanan Oman, untuk mencari solusi politik. Bisa dikatakan, nasib Yaman berada di tangan tiga negara asing, yakni Arab Saudi, Iran, dan UEA.
Hal yang sama juga terjadi di Libya. Utusan khusus PBB untuk Libya, Jan Kubis, tidak akan bisa mencapai solusi politik di Libya tanpa mengakomodasi kepentingan Mesir, Turki, dan UEA.
Tak berbeda pula di Suriah, tidak ada solusi politik tanpa mengakomodasi kepentingan Rusia, AS, Turki, Iran, dan Israel. Wilayah Suriah kini sudah diduduki oleh Rusia, Turki, AS, dan Iran. Adapun Israel praktis mengontrol wilayah teritorial udara Suriah yang ditunjukkan dengan aksi pesawat tempur Israel secara bebas menggempur sasaran di Suriah.
Bisa dibayangkan nasib sejumlah negara Arab, seperti Irak, Lebanon, Yaman, Suriah, dan Libya, bukan berada di tangan rakyatnya sendiri, melainkan di tangan negara-negara asing plus PBB. Itulah yang disebut oleh kolumnis Ghassan Charbel sebagai dunia Arab yang sedang terkapar sakit tak berdaya.