Gerah dengan Junta Militer Myanmar, DK PBB Segera Gelar Rapat Khusus
Penggunaan kekerasan oleh junta militer Myanmar terhadap warga sipil dan pengunjuk rasa damai yang tidak bersenjata benar-benar tidak bisa diterima dan harus dikecam.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Komunitas internasional semakin cemas dan gerah dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan rezim junta militer Myanmar saat menghadapi pengunjuk rasa. Inggris mengajak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bertemu untuk membahas isu Myanmar ini pada Jumat mendatang.
Pertemuan itu direncanakan akan dilakukan secara tertutup. DK PBB sudah menyatakan kekhawatirannya pada kudeta militer Myanmar dan meminta agar semua tahanan dibebaskan, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Sebanyak 20 orang terluka dan tiga di antaranya dalam kondisi kritis terkena tembakan aparat keamanan dan gas air mata saat berunjuk rasa, Selasa lalu.
Belakangan, aparat keamanan junta militer Myanmar terus saja menekan pengunjuk rasa dengan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan peluru tajam. Akibat kekerasan itu, 18 orang tewas dalam satu hari saja, Minggu.
Gelombang unjuk rasa masih muncul di berbagai kota di Myanmar dan kini para pengunjuk rasa mengenakan helm sebagai pelindung kepala dan perisai buatan sendiri.
Lebih dari 1.200 orang ditahan, didakwa, dan dihukum sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. Namun, stasiun televisi MRTV menyebutkan, 511 orang di Yangon sudah dibebaskan. Sebanyak 26 wartawan juga ditahan dan 10 di antaranya dipenjara.
”Penggunaan kekerasan terhadap warga sipil dan pengunjuk rasa yang tidak bersenjata tidak bisa diterima,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Menteri-menteri luar negeri ASEAN bertemu, Selasa kemarin, khusus membahas isu Myanmar. Setelah pertemuan itu, Menlu RI Retno Marsudi mengutarakan kekhawatirannya terhadap meningkatnya gejolak kekerasan dan kematian para pengunjuk rasa.
Ia juga menyesalkan rezim Myanmar yang tidak mau bekerja sama. ”Butuh dua pihak untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Menlu Filipina Teodoro Locsin juga mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera membebaskan Suu Kyi. ”Rasa sakit di ujung jari pasti akan terasa di seluruh tubuh juga. Myanmar bukan jari saja, melainkan bagian penting dalam keluarga besar ASEAN,” ujarnya.
Para pengamat skeptis dengan ASEAN mengingat prinsip non-interferensi yang selama ini dipegang. Belum lagi dalam membuat keputusan dan bertindak, ASEAN harus berdasarkan konsensus.
Konflik perwakilan
Perselisihan sengit tidak hanya terjadi di jalanan Myanmar, tetapi juga di dalam tubuh PBB. Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang menentang kudeta militer Myanmar, tetap berkeras memegang posisi sebagai perwakilan permanen di PBB.
Namun, Kementerian Luar Negeri Junta Militer Myanmar menginformasikan bahwa Moe Tun sudah dipecat dan digantikan oleh wakilnya.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, membenarkan bahwa PBB sudah menerima dua surat yang bertentangan dan akan segera membahas persoalan ini.
”Kita berada di situasi yang sangat unik dan sudah lama tidak terjadi. Kami berusaha menyelesaikan perkara ini melalui hukum, protokol, dan lainnya,” ujarnya.
Surat dari Moe Tun dikirimkan ke Presiden Majelis Umum PBB Volkan Bozkir, dengan tembusan ke sekretaris jenderal, Senin. Di dalam suratnya, Moe Tun menyebutkan, ia ditunjuk oleh Presiden Win Myint yang tetap merupakan presiden terpilih Myanmar dan oleh Menlu Suu Kyi pada 4 September 2020.
”Para pelaku kudeta itu tidak memiliki otoritas untuk membatalkan perintah otoritas yang sah dari presiden negara saya. Saya tetap perwakilan permanen Myanmar di PBB,” sebut Moe Tun dalam suratnya.
Surat Kemlu Junta Militer Myanmar dilayangkan ke Sekjen PBB dan diterima pada Selasa. Di dalam surat itu disebutkan semua tugas dan tanggung jawab Moe Tun sudah dicabut sejak 27 Februari lalu sehingga ia tidak lagi boleh diakui akreditasinya di Majelis Umum PBB. Sebagai penggantinya, ditunjuk Tin Maung Naing yang merupakan wakil Moe Tun.
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, memperingatkan semua negara untuk tidak mengakui kekuasaan junta militer Myanmar.
Perselisihan klaim perwakilan di PBB ini akan dibahas di komite kredensial PBB yang akan melapor ke majelis umum sebagai pihak yang akan membuat keputusan akhir. Menurut aturan prosedur majelis umum, surat kepercayaan harus dikeluarkan oleh kepala negara atau pemerintahan atau militer.
Surat yang dikirim junta militer ke Sekjen PBB memakai kop surat Kemlu Myanmar, tetapi tidak ditandatangani. Dujarric mengatakan, PBB belum menerima pemberitahuan secara resmi adanya perubahan dalam pemerintahan Myanmar sejak kudeta militer.
Jajaran anggota parlemen yang digulingkan dalam kudeta telah membentuk komite dan Moe Tun mengatakan bahwa merekalah otoritas yang sah dan ini harus diakui oleh komunitas internasional.
Perselisihan semacam ini pernah dialami PBB. Pada September 2011, majelis umum menyetujui permintaan Libya untuk mengakreditasi utusan pemerintahan sementara Libya. Keputusan itu diambil setelah Amerika Serikat, Rusia, China, dan negara-negara di Eropa mengakui otoritas yang baru.
Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, akan memanfaatkan kepemimpinan AS di DK PBB untuk mendorong diskusi intensif soal Myanmar. (REUTERS/AFP/AP)