Korea Selatan berhasil menjalankan apa yang disebut sebagai ”soft power”. Gelombang Korea atau Hallyu, pesatnya perkembangan budaya Korea untuk diekspor ke berbagai penjuru dunia, berawal pada 1997 lewat ”What is Love”.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Salah satu drama korea atau drakor yang paling hits di jaringan Netflix selama tahun 2020 adalah Crash Landing on You. Mengambil kisah seorang anak konglomerat (chaebol) Korea Selatan yang tak sengaja jatuh di Korea Utara dan saling jatuh cinta dengan petinggi Politbiro negara komunis itu, drakor ini membungkus politik dengan kisah cinta.
Hubungan Korea Utara dan Selatan menjadi tema yang tidak habis untuk diceritakan. Lepas dari politik, hal ini sebenarnya mencerminkan pikiran bawah sadar masyarakat korea yang merindukan saudara mereka dari seberang. Film Taegukgi: The Brotherhood of War (2004) sekiranya masih yang paling tepat menggambarkan suasana hati dua saudara yang terpisah karena Perang Korea.
Drakor Crash Landing on You (CLoY) mengambil bentuk modern dari rasa ini. Sebelumnya, sudah ada Descendants of the Sun dan Korean Peninsula yang juga menceritakan drama seputar hubungan Korea Utara dan Korea Selatan.
Selain cerita dan akting yang menarik dari Hyun Bin and Son Ye-jin, dua artis Korea yang kini sedang pacaran, ada rincian kehidupan Korea Utara yang menarik. Mulai dari telepon genggam, listrik yang terbatas pada malam hari, sampai kereta api yang bisa berhenti beberapa hari di tengah jalan. CLoY jelas memiliki tim riset yang mampu menarik informasi dari sumber terbatas.
Joo Dong-man, manajer produksi, seperti dikutip di The Diplomat, mengatakan, sampai akhir serial itu tidak pernah menyebut nama-nama pemimpin Korea Utara, seperti Kim Il Sung, Kim Jong Il, dan Kim Jong Un.
Untuk merekonstruksi suasana desa di perbatasan Korea Utara, Dong-man mengatakan hal itu cukup rumit, selain ingin agar desa itu semakin mendekati kenyataan, tanpa ada nuansa kritik. Benda yang paling sulit dan berhasil didapatkan adalah telepon genggam buatan Korea Utara yang diperoleh dari warga yang membelot ke Selatan.
Akan tetapi, entah di sengaja atau tidak, kisah cinta antara Yoon Se-ri yang anak konglomerat di Seoul dan Kapten Ri Jeong-hyeok yang bertugas di perbatasan kedua negara melukiskan kontrasnya kondisi kedua negara. Se-ri yang terbiasa berendam di standing bathtup harus mengisi ember dengan air panas lalu menutupnya dengan tirai plastik.
Demikian juga ketika para anak buah Jeong-hyeok datang ke Korea. Walau dengan gagah mereka mencela-cela kapitalisme Korea Selatan, ketika bertemu nasi putih hangat, ayam goreng kremes, atau bintang drakor Korea, terpesona juga mereka.
Bagaikan berjalan di tali, Dong-man mengatakan, pihaknya berusaha keras untuk tidak memuja atau menyudutkan Korea Utara. Untuk itu, sepanjang film tidak pernah memperlihatkan foto pemimpin Korea Utara dengan jelas, padahal realitanya wajah mereka selalu terpampang jelas di seantero negeri.
Bahkan, semua warga negara Korea Utara wajib mengenakan pin bergambar wajah Kim Jong-un di pakaian mereka setiap hari. Sebaliknya, di Korea Selatan, foto keluarga Kim dilarang untuk dipasang. Memakai atribut atau memiliki benda yang terkait dengan keluarga Kim bisa dipidana.
Akan tetapi, penonton tentu menangkap adanya olok-olok terhadap Korea Utara yang dicitrakan lebih sengsara dan diam-diam merindukan gaya hidup dengan didukung kapitalisme. Korea Selatan digambarkan sebagai negara yang makmur yang sejenak mengingatkan penonton pada film Parasite karya sutradara Bong Joon-ho yang menggambarkan ketimpangan ekonomi dan wajah miskin kota Seoul di mana banjir menerjang rumah orang tak mampu yang sehari-hari pun terletak di bawah jalan.
Pyongyang berusaha melawan narasi film CLoY dan menyebutnya ”tak bisa diterima dan propaganda yang buruk”. Media Pemerintah Korut, Uriminzokkiri, mengatakan, CLoY merupakan drama yang dibuat-buat, absurd, dan menjadi propaganda strategis. Masyarakat yang menikmati film itu diberi label tidak bermoral.
Dua pembelot dari Korea Utara, yaitu Han Songyi dan Kang Nara, membenarkan beberapa potongan film itu. Songyi mengatakan, sistem transportasi sedemikian buruk sehingga butuh seminggu untuk naik transportasi umum dari provinsi di perbatasan ke ibu kota negara, Pyongyang. Inspeksi mendadak dari militer terhadap masyarakat juga sering dilaksanakan untuk menemukan kimchi atau orang asing.
Songyi bahkan mengatakan, warga Korea Utara tidak boleh menonton acara-acara Korea Selatan. Kalau ketahuan, hukumannya bisa 5-10 tahun penjara atau bahkan hukuman mati. Konon, di Korea Utara, perempuan tidak pernah disebut cantik, tetapi ”sesuai standar” atau tidak. Perempuan juga tidak diizinkan untuk mengeriting rambutnya atau berambut panjang.
Apapun kontroversinya, Korea Selatan berhasil menjalankan apa yang disebut sebagai ”soft power”. Gelombang Korea atau Hallyu, pesatnya perkembangan budaya Korea untuk diekspor ke berbagai penjuru dunia, ini berawal pada 1997 saat drakor What Is Love mencetak rating yang sangat tinggi di China. Mulai dari sini, Pemerintah Korea berupaya menjadikan budaya pop Korea sebagai budaya dunia.
Dengan cara ini, tujuan akhirnya adalah uang. Tidak saja menjadikan industri kreatif korea sebagai komoditi ekspor, tetapi yang lebih besar adalah pengaruh. Pengaruh dari budaya Korea, seperti drakor, film, dan musik, pada ujungnya untuk memengaruhi perilaku konsumsi dari konsumen dunia. Tidak heran, merek-merek mulai dari supermarket, kosmetik, hingga benda-benda elektronik terlihat secara samar.
Demikian juga secara politis, seperti CLoY atau Descendants of the Sun, menunjukkan betapa jagoan, profesional, dan gantengnya militer Korea. Hal ini menjadi salah satu alat diplomasi yang digunakan Korea. Bahkan, ahli strategi Nye (2004) melihat diplomasi budaya Korea adalah salah satu bentuk dari soft power (kekuatan lunak).
Berbeda dengan senjata dan tekanan politik yang merupakan hardpower (kekuatan keras), kekuatan lunak dinilai cukup efektif untuk membuat pihak lain melakukan apa yang kita inginkan. Contoh lain dari strategi menggunakan budaya sebagai alat untuk menciptakan pengaruh adalah industri film AS. Bukan tanpa alasan, banyak pahlawan super AS punya kostum yang merupakan variasi warna biru, merah, dan putih seperti bendera AS.
Ke depan, strategi kebudayaan Korea ini sepertinya akan terus berkembang. Gelombang Korea akan semakin besar di televisi-televisi berbayar yang kian naik pamornya di masa pandemi ini.
Akhir Februari 2021, Netflix mengumumkan berinvestasi 500 juta dollar AS untuk drakor dan film Korea. ”Dua tahun terakhir ini kita melihat dunia semakin jatuh cinta kepada konten Korea, dibuat di Korea dan ditonton dunia lewat Netflix,” kata Ted Sarandos, Co-CEO dan Kepala Konten Netflix.