Pengadilan Kota Phnom Penh memvonis tokoh oposisi Kamboja, Sam Rainsy, dengan hukuman 25 tahun penjara. Pengadilan juga mencabut hak politiknya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
PHNOM PENH, SELASA — Pengadilan Kamboja, Senin (1/3/2021), menghukum tokoh oposisi, Sam Rainsy, 25 tahun penjara dalam sebuah proses persidangan in absentia. Selain menghukum Rainsy, kolega-kolega Rainsy yang merupakan tokoh oposan dari Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) juga dijatuhi hukuman penjara 20-22 tahun.
Di antara tokoh yang dihukum adalah Wakil Presiden CNRP Mu Sochua yang kini tinggal di Amerika Serikat. Dia dijatuhi hukuman penjara 22 tahun. Sementara istri Rainsy, Tioulong Saumura, dihukum 20 tahun penjara.
”Hukuman penjara dari sebuah pengadilan yang dikendalikan oleh pemerintah tidak dapat dianggap serius. Hun Sen takut akan risiko kembalinya saya ke panggung politik Kamboja. Dia takut prospek pemilihan yang bebas dan adil akan mengarah pada berakhirnya rezim otokratis dan anakronistiknya saat ini,” kata Rainsy, dikutip dari akun Twitter-nya, tak lama setelah keputusan itu keluar.
Dikutip dari lama The Phnom Penh Post, juru bicara Pengadilan Kota Phnom Penh, Y Rin, mengatakan, Rainsy dan tokoh oposisi dihukum atas tuduhan tindakan yang mereka lakukan di Kamboja tahun 2019. Dia juga mengatakan, Rainsy dan koleganya yang telah dipidana berhak mengajukan banding atas putusan itu.
”Putusan diumumkan dengan hadirnya pengacara yang mewakili pemerintah. Terdakwa berhak mengajukan banding jika melakukannya dalam jangka waktu yang ditetapkan undang-undang,” katanya.
Rin juga mengatakan, selain mencabut hak politik para terpidana, yaitu hak memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan, pengadilan mencabut hak kewarganegaraan mereka secara definitif. Mereka juga diperintahkan membayar kompensasi kepada pemerintah sebesar 1.800 juta riel atau sekitar Rp 6,331 miliar.
Sebagian besar pemimpin partai oposisi melarikan diri dari Kamboja di akhir 2017 ketika Perdana Menteri Hun Sen melancarkan tindakan keras terhadap lawan-lawan politiknya. Pengadilan membubarkan CNRP dan memaksa anggotanya yang berada di parlemen untuk lengser.
Rakyat Kamboja yakin bahwa keputusan pengadilan untuk membubarkan CNRP dilakukan agar partai tersebut tidak bisa ikut pemilu dan memastikan kemenangan Partai Rakyat Kamboja tahun 2018. Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hunsen menyapu semua kursi di parlemen saat itu.
Hun Sen telah berkuasa selama 36 tahun dan dituduh memimpin rezim otoriter. Beberapa negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada pemerintahannya, terutama setelah menyimpulkan bahwa pemilu 2018 tidak bebas dan tidak adil.
Tuduhan terhadap Rainsy dianggap hakim Duch Sok Sarin bisa dibuktikan di pengadilan. Hakim, dikutip dari The Phnom Penh Post, menunjukkan potongan video pendek saat Rainsy berbicara pada sebuah pertemuan di Amerika Serikat pada 14-15 September 2019 yang berisi rencananya untuk kembali ke Kamboja, November 2019. Di dalam potongan video pendek itu, Rainsy menyatakan, kedatangannya untuk menangkap PM Hun Sen.
Klip video itu menunjukkan Rainsy berusaha membujuk tentara Kamboja untuk mengabaikan perintah perwira senior mereka dan tidak mematuhi pemerintah melainkan–dalam kata-katanya–berdiri di sisi warga.
Hakim juga menilai, di dalam video tersebut Rainsy mencoba menyuap tentara Kamboja dengan mengeluarkan janji bahwa jika dirinya berkuasa akan mengumpulkan paket bantuan keuangan untuk mereka yang didanai melalui sumbangan dari luar negeri.
Rainsy, yang pernah mencoba datang ke Indonesia di tahun 2019 usai berkunjung ke Malaysia, kini tinggal di Perancis sejak 2016.
Seorang juru bicara partai Hun Sen, Sok Eysan, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang di-posting di halaman media sosialnya bahwa keputusan tersebut melarang para pemimpin oposisi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan berikutnya yang akan diadakan tahun 2022. Dia juga menyatakan, Rainsy dan tokoh oposisi lainnya tidak akan pernah bisa kembali ke Kamboja.
”Pemimpin pemberontak ini akan tinggal di luar Kamboja sampai dia meninggal,” kata Sok Eysan. (AP)