Waktunya Afrika
Di tengah citranya yang lekat dengan perang dan kekerasan, Afrika menawarkan peluang sebagai bakal pusat pertumbuhan. Sudah tepat, Indonesia memanfaatkan peluang tersebut.
Perang dan kekerasan melekat di benak banyak orang bila ditanya soal Afrika. Padahal, benua itu menawarkan kesempatan amat besar. Disebut benua termuda karena usia rata-rata penduduknya, Afrika menawarkan peluang bertumbuh bagi mereka yang berani datang ke sana.
Keberanian itu, antara lain, ditunjukkan PT Dirgantara Indonesia, PT INKA, PT Barata Indonesia, PT LEN, dan PT Merpati Nusantara Airlines. Di tengah pandemi Covid-19, lima BUMN itu menandatangani kesepakatan proyek bernilai total 11 miliar dollar AS.
Baca juga: Ngozi Okonjo-Iweala, Mengawal Arah Perdagangan Global di Tengah Pandemi Covid-19
Proyek mereka berlokasi di Republik Demokratik Kongo, yang dulu dikenal sebagai Zaire. Sebelum lima BUMN itu, sejumlah badan usaha asal Indonesia juga telah lebih dulu mengembangkan sayap ke Afrika.
Salah satu produsen mi instan Indonesia sudah bertahun-tahun mempunyai pabrik di Afrika. Pesepak bola asal Ghana, Thomas Partey, memastikan akan mencari mi instan tersebut jika pulang kampung. Bagi pemain Arsenal itu, mi instan adalah kuliner terpenting dan wajib dikonsumsi setiap pulang kampung.
Bukan hanya Partey, banyak orang Afrika menganggap mi instan asal Indonesia sebagai produk asli Afrika. Produk-produk negara lain juga mendapat anggapan sama. Sebab, produk-produk itu sudah bertahun-tahun diproduksi di sana.
Lembaga konsultan dan riset pasar, McKinsey, merekomendasikan pencitraan produk sebagai buatan asli Afrika merupakan salah satu kunci untuk menembus pasar Afrika. Lembaga itu juga merekomendasikan strategi berbeda untuk setiap negara.
Baca juga: Afrika Menanti Indonesia
Adalah kesalahan jika berharap sukses di seluruh Afrika dengan strategi tunggal. Ada 54 negara Afrika dengan total ribuan subsuku. Setiap negara, bahkan provinsi, butuh pendekatan bisnis berbeda.
Pertumbuhan
Upaya itu sepadan karena Afrika menawarkan kesempatan menarik. Direktur Africa Growth Initiative Brahima Sangafowa Coulibaly menyebut bahwa sebelum pandemi, hampir 30 dari 54 negara Afrika tumbuh rata-rata 5 persen per tahun dalam 20 tahun terakhir. Tidak banyak kawasan bisa konsisten terus tumbuh seperti Afrika.
Pertambangan, dan diikuti manufaktur, terus berkembang di Afrika. Benua itu memang kaya dengan aneka mineral dan sumber daya alam lainnya. Meski telah diambil berabad-abad, aneka mineral dan bahan tambang lain di Afrika masih melimpah.
Untuk menggarapnya pun tidak perlu mendatangkan tenaga dari jauh. Data Worldometer menyebutkan, dari sekitar 1,36 miliar penduduk benua itu, usia rata-ratanya adalah 19,7 tahun. Lebih muda dibandingkan Asia yang rata-rata 32 tahun atau Eropa yang 42,5 tahun. Tidak hanya muda, populasi Afrika diprakirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun mendatang.
Baca juga: Afrika, Peluang Pasar Baru Ekspor
Kehadiran orang muda juga mendorong urbanisasi. Setelah Asia Pasifik, Afrika menjadi lokasi pertumbuhan kelas menengah tercepat. Usia muda dan kelas menengah adalah kombinasi utama untuk perkembangan konsumsi. Di Afrika, konsumsi akan menjadi 6,6 triliun dollar AS pada 2030, naik 2,6 triliun dollar AS dibandingkan pada 2015.
Pemimpin Pelaksana Bank Pembangunan Persatuan Afrika Ibrahim Mayaki, menyebut penduduk muda menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Afrika. Peluang itu, antara lain, membuat tren konsumsi Afrika akan berkembang.
Banyak pemuda Afrika fasih berbicara dalam bahasa utama pergaulan internasional, Inggris dan Perancis. Hal itu menjadi salah satu penyebab banyak orang Afrika bekerja di berbagai lembaga dan perusahaan internasional. Kehadiran China secara masif di Afrika juga mulai menyebabkan semakin banyak orang Afrika mempelajari bahasa Mandarin.
Lapangan kerja
Di sisi lain, ada tantangan dari besarnya usia penduduk muda. Pandemi Covid-19 membuat Afrika kehilangan hingga 30 juta lapangan kerja. Penyediaan lapangan kerja menjadi fokus banyak pemerintahan di Afrika. Industrialisasi, infrastruktur, dan pertanian terbuka lebar di benua itu.
Sahel dan Sahara, dengan total luas 12 juta kilometer persegi, membuat seluruh Afrika terkesan kering. Padahal, separuh Afrika merupakan wilayah subur dan berpeluang untuk pertanian. Sebagian wilayah Afrika berada di khatulistiwa yang subur.
Pertanian dan industrialisasi membutuhkan dukungan infrastruktur. Dalam beberapa tahun terakhir, Afrika tengah mengejar ketertinggalan infrastrukturnya. Meski kota-kota terus tumbuh, masih banyak lokasi di Afrika tidak mempunyai jalan memadai. Banyak wilayah Afrika juga belum mempunyai pasokan listrik, air, dan aneka kebutuhan lainnya.
Baca juga: Dari Transaksi AS-Maroko Menuju Hubungan Israel-Maroko
Fakta itu menjadi peluang bagi perusahaan Indonesia dan banyak perusahaan negara lain. Sejumlah BUMN Indonesia terlibat dalam beberapa proyek infrastruktur Afrika beberapa waktu terakhir. Dalam pameran investasi Indonesia-Afrika, setidaknya sejak 2018, perusahaan-perusahaan Indonesia menyepakati kerja sama bernilai belasan miliar dollar AS.
Tantangan
Pemerintah negara-negara Afrika sangat bersemangat membangun. Sayangnya, pada saat bersamaan, para pejabat Afrika juga dikenal korup. Dalam laporan Transparency International pada 2019 ditemukan, 25 persen warga Afrika harus menyuap untuk mendapat kebutuhan dasar. Bahkan, suap harus diberikan untuk pelayanan sepenting kesehatan.
Di sejumlah negara Afrika, biaya pengurusan paspor bisa lebih dari 1.000 dollar AS. Di banyak negara, biaya pengurusan paspor tidak sampai 100 dollar AS per orang. Bahkan, di mayoritas negara Asia, biaya pengurusan paspor kurang dari 50 dollar AS orang.
Suap harus diberikan karena tata kelola pemerintahan di Afrika masih buruk. Birokrasi amat rumit. Korupsi menjadi salah satu penghambat proses pembangunan dan investasi di Afrika. Dibutuhkan biaya lebih tinggi untuk membuka usaha di Afrika.
Baca juga: Tuduhan Mengarah pada Kelompok Hutu dalam Pembunuhan Dubes Italia di Kongo
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah kekerasan. Di berbagai penjuru Afrika, ada ribuan kelompok bersenjata dengan berbagai afiliasi. Penculikan dan pemerasan menjadi salah satu modus utama kelompok bersenjata di darat dan di laut.
Di pesisir barat dan timur Afrika, pembajakan kapal masih marak. Eropa dan sejumlah negara Asia sampai harus mengerahkan kapal perang untuk patroli di sana. Dengan patroli itu, diharapkan kapal-kapal niaga selamat dari pembajakan.
Sejumlah negara Eropa juga mengirimkan tentara untuk beroperasi di darat. Operasi-operasi militer itu untuk membantu pemulihan keamanan di Afrika. Tingginya risiko keamanan membuat biaya asuransi di benua itu juga tinggi, menambah biaya usaha di sana.
Meski demikian, sejumlah BUMN Indonesia dan banyak badan usaha lain dari sejumlah negara tetap optimistis mengembangkan sayap ke Afrika. Seperti dalam lagu resmi Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, ”Waka Waka (Inilah Waktunya Afrika)”. (AFP/REUTERS)