Iran menolak berunding karena AS dan Eropa tidak kunjung menjalankan kewajiban dalam JCPOA. Kesepakatan itu antara lain mengatur pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
TEHERAN, SENIN — Iran menutup peluang berunding ulang dengan Amerika Serikat dan Eropa soal program nuklirnya. Bahkan, Teheran mengumumkan kelanjutan pengayaan bahan nuklir di reaktor Fordow.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, mengatakan, perundingan tidak bisa dilakukan apabila menimbang posisi AS dan Eropa sekarang. AS dinilai tidak mengubah posisinya meski presiden sudah berganti dari Donald Trump ke Joe Biden. ”Tetap menggunakan kebijakan tekanan maksimum,” ujarnya, Minggu (28/2/2021) malam waktu Teheran atau Senin dini hari WIB.
Pemerintahan Biden, menurut Khatibzadeh, tidak kunjung menyatakan akan memenuhi komitmen dalam joint comprehensive action on plan (JCPOA) yang juga dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran. Ditandatangani di Vienna pada 2015, JCPOA mengatur Iran menghentikan pengayaan bahan nuklir dan setuju fasilitas serta program nuklirnya diawasi komunitas internasional. Sebagai imbalan, komunitas internasional mencabut sanksi terhadap Iran.
Dalam berbagai pemeriksaan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) pada 2015-2018, ditemukan bahwa Iran menjalankan kewajiban. Mesin-mesin pemutar, alat yang dibutuhkan dalam pengayaan bahan nuklir, seperti uranium, dicabut dari berbagai reaktor. Pengawas IAEA juga bisa memeriksa berbagai fasilitas nuklir Iran.
Sebaliknya, AS di bawah Trump mundur secara sepihak dari JCPOA pada Mei 2018. Selanjutnya, AS menambah sanksi untuk Iran. AS juga mengancam menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang bertransaksi dengan Iran.
Ancaman itu membuat Eropa tidak kunjung menjalankan kewajibannya sesuai JCPOA. Eropa masih terus mencari cara bertransaksi dengan Iran tanpa dikenai sanksi oleh AS. Karena itu, Teheran memutuskan mengurangi komitmen pada JCPOA. Bahkan, Iran membatasi akses pengawas IAEA pada fasilitas nuklirnya.
Pemerintahan Biden telah mengumumkan niat akan kembali ke JCPOA. Walakin, Washington belum kunjung mencabut sanksi-sanksi terhadap Teheran. AS meminta Iran terlebih dahulu memenuhi kewajiban pada JCPOA sebelum sanksi dicabut. Teheran menolak itu dan meminta sebaliknya.
Khatibzadeh menekankan, arahnya sangat jelas, yakni AS harus mengakhiri sanksi ilegal dan sepihak lalu kembali ke komitmennya pada JCPOA. Hal itu tidak membutuhkan perundingan apa pun. Sebab, seluruh perundingan telah dilakukan sebelum JCPOA disepakati. ”Ingat, Trump gagal karena kebijakan salah (berupa) ’tekanan maksimum’. Dengan sanksi yang dipertahankan, kondisi akan tetap sama. Kecaman bukan diplomasi,” katanya.
Gedung Putih menyatakan kecewa dengan pengumuman Khatibzadeh. Gedung Putih mengklaim akan terus berkomunikasi dengan untuk mencapai kesepakatan. AS akan segera berkonsultasi dengan para penandatangan JCPOA. Selain AS dan Iran, kesepakatan itu ditandatangani Rusia, Jerman, Perancis, Inggris, dan China.
Pengayaan
Iran tidak hanya mengumumkan penolakan berunding dengan AS. Kepala Badan Tenaga Atom Iran (AEOI) Ali Akbar Selahi telah menyampaikan kepada parlemen soal penambahan mesin pemutar di reaktor Fordow dan Natanz. Teheran telah memasang mesin pemutar IR2M dan IR6 generasi baru di kedua reaktor itu.
Anggota Komite Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri pada parlemen Iran, Abolfazl Amoui, menyebut bahwa pemasangan itu sudah berlangsung. Iran menggunakan Undang-Undang Strategis sebagai dasar hukum tindakan itu.
Menurut UU itu, AEOI wajib memproduksi 125 kilogram uranium dengan tingkat pengayaan 20 persen dalam setahun. Kini, AEOI telah punya 25 kilogram uranium dengan tingkat pengayaan 20 persen.
Dalam JCPOA, Iran hanya boleh mengayakan uranium di bawah 4 persen. Untuk membuat senjata nuklir, butuh uranium yang dikayakan sekurangnya 99 persen. Dengan teknologi dan pengetahuan sekarang, Iran masih jauh dari mampu membuat senjata nuklir.
Iran juga menyiarkan kabar baik terkait dana-dananya yang ditahan di luar negeri. Ketua Kamar Dagang Iran-Korea Selatan Hossein Tanhayi mengklaim, Seoul setuju melepaskan 1 miliar dollar AS dari 7 miliar dollar AS dana Iran yang ditahan Korsel. Dana itu akan dipakai terutama untuk pembelian obat dan pangan. Dana itu juga untuk membayar iuran Iran ke Perserikatan Bangsa-Bangsa senilai 16 juta dollar AS.
Dana 7 miliar dollar AS ditahan Korsel setelah Trump mengumumkan sanksi baru untuk Iran pada 2018. Sejumlah pihak mengklaim, perbankan AS dan Eropa menahan dana ratusan miliar dollar AS milik Iran. Pihak berwenang AS dan Eropa juga masih menyita aset berupa bangunan dan benda berharga lain senilai miliaran dollar AS. Iran meminta seluruh aset itu dikembalikan. Sampai sekarang, AS dan Eropa terus menghindar dari tuntutan tersebut. (AFP/REUTERS)