Mulai Berkantor di Geneva, Perempuan di Pucuk WTO Mengukir Sejarah
Ngozi Okonjo-Iweala menjadi perempuan pertama sekaligus warga Afrika pertama yang menjadi Direktur Jenderal WTO. Banyak persoalan perdagangan dunia yang harus ia selesaikan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, dirinya ingin segera bekerja saat menduduki posisinya yang baru sebagai perempuan pertama dan warga Afrika pertama yang menjadi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
”Saya masuk ke salah satu lembaga penting di dunia dan banyak pekerjaan yang harus dikerjakan,” kata mantan Menteri Keuangan dan Luar Negeri Nigeria itu saat tiba di kantor barunya di Geneva, Swiss, Senin (1/3/2021). ”Saya siap untuk bekerja.”
Itulah Dr Ngozi, begitu Ngozi Okonjo-Iweala dikenal oleh koleganya. Ia menjadi Direktur Jenderal WTO setelah lembaga itu selama enam enam bulan tanpa kepemimpinan menyusul kepergian mendadak diplomat karier asal Brasil, Roberto Azevedo, pada Agustus 2020 atau setahun sebelum jabatannya berakhir.
Setelah melalui proses seleksi yang panjang, Ngozi, ekonom pembangunan yang berkarier 25 tahun di Bank Dunia, akhirnya dilantik oleh 164 anggota WTO pada 15 Februari 2021. Masa jabatannya akan berakhir pada 31 Agustus 2025.
Dari delapan kandidat awal, Ngozi jelas menjadi favorit ketika tinggal dua kandidat yang bertahan pada November lalu.
Pengangkatan Ngozi sempat tertunda karena mantan Presiden AS Donald Trump menghalangi pencalonannya. Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS mengakhiri kebuntuan dukungan konsensus yang menghalangi Ngozi.
Kini, ekspektasi yang tinggi untuk membawa WTO menjawab berbagai tantangan pun ditumpukan kepada perempuan 66 tahun itu, termasuk mengarungi krisis ekonomi global yang dipicu oleh pandemi Covid-19.
”WTO terlalu penting untuk diperlambat, lumpuh, dan hampir mati,” katanya sehari setelah pencalonannya bulan Januari 2021.
Hari pertamanya bekerja di Geneva, Senin (1/3/2021), bertepatan dengan pertemuan tahunan Dewan Umum WTO. ”Saya berharap bisa mendengarkan dan melihat apa yang para delegasi dan duta besar katakan, tentang isu-isu penting,” katanya kepada wartawan.
Sejumlah pengamat menaruh harapan bahwa kehadiran Ngozi di WTO bisa menyuntikkan energi baru yang dibutuhkan organisasi itu. Ada juga pengamat yang berpendapat bahwa Ngozi tidak memiliki ruang gerak yang leluasa untuk melakukan perubahan dramatis terhadap WTO karena keputusan WTO diambil berdasarkan konsensus negara-negara yang menjadi anggotanya.
Ngozi menyampaikan bahwa dirinya sangat ingin mendorong negosiasi perdagangan subsidi perikanan yang selama 20 tahun mandek pada konferensi tingkat menteri nanti. Namun, negosiasi yang berlarut-larut bakal membuat hal itu sulit dilakukan.
”Tidak mudah jika para anggota bernegosiasi dan masih ada isu penting yang perlu diselesaikan. Namun, kita optimistis,” ujar Ngozi.
Di tengah krisis ekonomi global, Ngozi juga memiliki banyak tantangan lain yang harus dihadapi. Ia menyuarakan keprihatinannya akan proteksionisme dan nasionalisme yang kian tumbuh selama pandemi ini dan mendesak bahwa hambatan perdagangan harus diturunkan untuk membantu dunia pulih.
Selain itu, di antara banyak isu yang dibahas Senin adalah desakan kontroversial bagi WTO untuk melepaskan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bagi vaksin Covid-19.
Puluhan negara mengatakan, langkah ini akan bisa membantu meningkatkan produksi dan akses untuk mengendalikan pandemi lebih cepat. Namun, gagasan ini telah ditolak oleh para raksasa farmasi dan negara tempat mereka berada.
Untuk menghindari perselisihan di hari pertamanya bekerja, Ngozi menyerukan fleksibilitas dan mendorong perjanjian lisensi sukarela dalam vaksin Covid-19 seperti yang sudah dilakukan oleh AstraZeneca dan Serum Institute of India (SII) di mana SII boleh memproduksi vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Ngozi, yang mengetuai aliansi vaksin GAVI sebelum mencalonkan diri di WTO, juga menjadikan pandemi Covid-19 sebagai salah satu prioritasnya.
Tantangan yang dihadapi Ngozi dalam hal ini tidaklah mudah. Grup Ottawa yang menyatukan Uni Eropa dan 12 negara, termasuk Brasil, Kanada, dan Swiss, akan meminta negara-negara berkomitmen untuk tidak menghambat aliran alat-alat kesehatan selama pandemi dan mencabut bea cukai barang esensial.
Tantangan besar lainnya adalah memenuhi janjinya untuk menghidupkan kembali badan banding dalam sistem penyelesaian sengketa di WTO. Badan banding yang terkadang disebut sebagai mahkamah agungnya WTO itu dihentikan pada Desember 2019 setelah ditentang tanpa henti oleh AS.
AS bersama dengan negara-negara Eropa dan Kanada juga menginginkan perbaikan WTO. Menurut mereka, WTO tidak memberikan respons yang benar terhadap distorsi perdagangan yang disebabkan oleh China. (AFP/REUTERS)