Utusan Rezim Junta Militer Myanmar Tiba di Thailand
Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin yang diutus rezim jutan militer negaranya telah tiba di Thailand untuk berbicara dengan perwakilan negara-negara ASEAN.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NAYPYIDAW, RABU — Menteri Luar Negeri Wunna Maung Lwin yang diutus rezim militer Myanmar telah tiba di Thailand untuk memulai upaya diplomatik dengan negara-negara ASEAN. Langkah ini diyakini sebagai upaya junta untuk menjelaskan bahwa kudeta kekuasaan dari sipil oleh junta militer adalah sah.
Wunna Maung Lwing, menurut sumber Reuters di Pemerintah Thailand, sudah tiba di Bangkok, Rabu (24/2/2021).
Kedatangan Menlu Lwing itu bersamaan dengan keberadaan Menlu RI Retno Marsudi di Thailand. Selama dua pekan terakhir, Retno telah berkeliling sejumlah negara ASEAN dan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk Amerika Serikat dan China, guna mencari penyelesaian krisis di Myanmar.
Agenda Menlu Lwing hingga saat ini belum jelas, apakah akan bertemu dengan Menlu Retno atau hanya akan bertemu dengan Pemerintah Thailand.
Usulan agar negara-negara ASEAN mencoba memanfaatkan kepercayaan junta militer Myanmar yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing terhadap Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha pernah dikemukakan peneliti senior The Habibie Center, Rene Pattiradjawane.
Dalam sebuah diskusi daring pekan lalu, Rene mengatakan, hubungan baik antara militer aktif (Hlaing) dan pensiunan jenderal (Prayuth) bisa menjadi jembatan ASEAN untuk berdialog dengan Myanmar.
Pada saat yang sama, komunikasi itu juga bisa mencoba menyodorkan berbagai alternatif solusi yang mungkin dibicarakan pada pertemuan khusus menlu-menlu ASEAN sebelum menggelar pertemuan khusus para kepala negara.
Posisi Indonesia sendiri sempat dipertanyakan warga Myanmar setelah sebuah berita dari kantor berita asing menyebutkan, Jakarta mendukung junta militer melaksanakan pemilu. Indonesia membantahnya.
”Itu sama sekali bukan posisi Indonesia. Yang ingin kami tegaskan adalah bahwa Pemerintah Indonesia mendukung penyelesaian damai di Myanmar, melalui sebuah proses politik demokrasi yang inklusif serta melibatkan semua pihak,” kata Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah.
Faizasyah mengatakan, Indonesia saat ini mengumpulkan semua pendapat dari semua pihak soal Myanmar. ”Pendapat dan posisi dari berbagai pihak itu akan dibahas lebih lanjut lewat pertemuan para Menlu ASEAN,” ujarnya.
Pembangkangan sipil
Demonstrasi besar disertai pemogokan nasional terus terjadi. Tuntutan rakyat Myanmar tidak berubah, yaitu pembebasan pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dan pemulihan pemerintahan sipil.
Warga tidak memedulikan ancaman junta yang tidak segan-segan akan menggunakan kekerasan, termasuk penggunaan senjata untuk menghalau serta membubarkan aksi.
San Aung Li (26), peserta aksi yang merupakan warga minoritas Kachin, mengatakan, dirinya bersama-sama warga Myanmar dari etnis lainnya turun ke jalan untuk menuntut hak mereka.
”Kami, etnis minoritas, tidak memiliki kesepatan untuk menuntut hak kami. Tapi, kini, kami melakukannya. Saya, seperti halnya saudara-saudara lain dari etnis yang berbeda, menuntut hal yang sama. Kami satu suara,” katanya.
Peringatan dari dunia internasioal terus berdatangan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi kesehatan seksual dan reproduksi, UNFPA, Selasa (23/2/2021), memperingatkan kemungkinan adanya ketidakstabilan yang akan mengganggu layakan penting bagi kesehatan ibu dan anak, terutama kaum perempuan. Termasuk di dalamnya adalah layanan yang terkait dengan kehamilan serta persalinan yang aman.
Sebagai entitas PBB, UNFPA mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas penggunaan kekuatan, yang mungkin berkontribusi pada eskalasi kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan remaja.
”UNFPA menggemakan seruan Sekretaris Jenderal PBB dan badan-badan mitra PBB kepada militer serta pasukan keamanan Myanmar untuk menghormati hak asasi manusia yang mendasar dari rakyat Myanmar, untuk menahan diri dari menggunakan kekerasan dan memastikan perlindungan dan keselamatan semua orang baik itu di ruang publik atau pribadi,” kata UNFPA di situs resminya. (REUTRERS)