Lawan Pengadilan, Malaysia Deportasi Ribuan Pengungsi Myanmar
Meski Pengadilan Tinggi Malasyia memberi kesempatan bagi para pengungsi untuk tinggal, pemerintah Malaysia memutuskan mendeportasi mereka ke Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, RABU – Meski ada larangan pengadilan, pemerintah Malaysia bersikukuh untuk tetap mendeportasi lebih dari 1000 pengungsi atau imigran Myanmar. Langkah ini diprotes sejumlah organisasi kemanusiaan karena langkah ini dinilai akan sangat membahayakan para deportan.
Lebih dari 1.000 warga Myanmar, Selasa (23/2/2021), dikirim pulang ke negaranya dengan tiga kapal yang dikirim junta militer Myanmar. Jumlah warga Myanmar yang dideportasi sedikit berkurang dari rencana sebelumnya, 1.200 orang. Junta kini berkuasa usai mengkudeta pemeritahan sipil pada 1 Februari lalu.
Pemerintah Malaysia berjanji tidak akan mendeportasi warga Muslim Rohingya atau pengungsi yang terdaftar di Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Tapi, temuan sejumlah organisasi kemanusiaan menyebutkan setidaknya enam orang yang terdaftar UNHCR justru termasuk dalam daftar warga deportan.
Selain itu, lembaga-lembaga ini juga menyatakan bahwa para pencari suaka dari komunitas minoritas Chin, Kachin, dan non-Rohingya yang melarikan diri dari konflik dan penganiayaan di rumah, termasuk di antara mereka yang dideportasi.
Direktorat Jenderal Departemen Imigrasi Malaysia dalam pernyataannya mengatakan, warga Myanmar yang dipulangkan tidak termasuk pengungsi Rohingya atau pencari suaka. “Semua yang dikembalikan itu setuju dipulangkan secara sukarela tanpa dipaksa pihak mana pun,” kata Direktur Jenderal Departemen Imigrasi Khairul Dzaimee Daud dalam keterangannya.
Khairul tidak menanggapi pertanyaan tentang mengapa repatriasi dilakukan meskipun dilarang pengadilan. Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur telah memberikan izin tinggal hingga Rabu (24/2/2021), pukul 10.00 dan kesempatan pada organisasi kemanusiaan untuk mengajukan permohonan peninjauan hukum guna menangguhkan deportasi.
Namun, sebelum keputusan pengadilan itu keluar, para migran telah dibawa ke pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Lumut, Malaysia barat, tempat kapal-kapal AL Myanmar bersandar.
Sejumlah media pendukung junta memberitakan bahwa migran yang dikembalikan ke Myanmar merupakan warga warga yang pada pemerintahan sipil sebelumnya tidak diizinkan untuk kembali.
Seorang pejabat imigrasi yang dikutip oleh media tersebut mengatakan: "Kami mengamati bahwa mereka semua adalah warga negara kami, bukan Bengali," menggunakan istilah yang merendahkan untuk Rohingya, anggota minoritas Muslim yang dianiaya, yang menyiratkan bahwa mereka adalah orang asing.
Mereka yang dideportasi telah ditahan karena pelanggaran imigrasi. Malaysia tidak secara resmi mengakui pengungsi, memperlakukan mereka sebagai migran tidak berdokumen.
Amnesty International, salah satu kelompok yang meminta peninjauan kembali kasus ini, menyebut bahwa keputusan untuk mendeportasi tanpa penilaian yang tepat terhadap para pengungsi, sangat "tidak manusiawi dan menghancurkan".
"Menggunakan cara tidak langsung untuk mendorong orang kembali menghadapi pelanggaran HAM berat pada dasarnya adalah refoulement yang konstruktif," kata Katrina Maliamauv, Direktur Amnesty Malaysia, dalam sebuah pernyataan.
"Masih banyak tanda tanya yang sangat mengkhawatirkan tentang status mereka yang dikirim kembali hari ini,” tambahnya.
Amnesty International dan Asylum Access mengatakan, pemulangan itu sama saja dengan melegitimasi pelanggaran HAM yang sedang berlangsung oleh militer Myanmar.
Sekelompok 27 anggota parlemen dan senator Malaysia juga mengirim surat kepada Perdana Menteri Muhyiddin Yassin pada hari Minggu mendesaknya untuk menghentikan deportasi. Tidak ada tanggapan dari kantor perdana menteri.
Dalam pengajuan ke Pengadilan Tinggi Malaysia, organisasi kemanusiaan menyebutkan, di antara orang-orang yang dideportasi adalah tiga orang yang terdaftar di UNHCR dan 17 anak di bawah umur yang memiliki setidaknya satu orang tua di Malaysia.
Selain itu, sejumlah kekhawatiran tentang deportasi pencari suaka yang tidak terdaftar masih ada karena selama lebih dari stu tahun UNHCR tidak diizinkan untuk mewawancarai mereka. UNHCR juga tidak diizinkan mengakses mereka yang dideportasi meski pemerintah Malaysia telah memutuskan untuk mendeportasi para migran.
Amerika Serikat dan perwakilan Barat lainnya telah berusaha menghalangi Malaysia untuk melanjutkan deportasi dan mendesak pemerintah untuk mengizinkan UNHCR untuk mewawancarai para tahanan. Mereka juga mengatakan Malaysia melegitimasi pemerintah militer Myanmar dengan bekerja sama dengan junta.
Relokasi terus berlangsung
Sementara itu, pemerintah Bangladesh terus melakukan pemindahan ribuan pengungsi Rohingya yang berada di kamp pengungsi Cox’s Bazaar ke pulau baru, Bhasan Char, di Teluk Benggala.
Sehingga total pengungsi Rohingya yang sudah dipindah mencapai angka 10 ribu jiwa, mengurangi jumlah kepadatan di Cox’s Bazar yang sudah mencapai angka sekitar 1 juta jiwa.
Wakil Komisaris Pengungsi Bangladesh Mohammad Shamsud Douza mengatakan bahwa para pengungsi pindah secara sukarela dan spontan.
Namun, aktivis hak asasi manusia menegaskan, tidak semua pengungsi pergi secara sukarela dan para kritikus mengatakan pulau itu rawan banjir dan berada di jalur topan mematikan. PBB juga tidak dilibatkan dalam relokasi tersebut.
Para pejabat mengatakan mereka berharap untuk memindahkan lebih banyak pengungsi ke pulau itu menjelang musim siklon April-Mei dan musim hujan Juni-September, ketika laut sedang ganas.
Kondisi pengungsi Rohingya yang makin mengenaskan di Cox’s Bazar membuat mereka berinisiatif mencari lokasi tempat tinggal baru yang lebih menjanjikan walau ancaman deportasi juga terbuka lebar.
Dua hari lalu, sebuah kapal pengungsi Rohingya terkatung-katung di Laut Andaman, dekat Kepulauan Andaman dan Nicobar. Diketahui sedikitnya delapan orang tewas, enam perempuan dan dua laki-laki, dalam upaya mereka mencari kehidupan baru yang lebih baik.
Chris Lewa dari Proyek Arakan mengatakan, kapal itu diyakini meninggalkan Bangladesh pada 11 Februari 2021. Sebanyak 90 orang pengungsi diangkut kapal tersebut, termasuk 65 perempuan dewasa dan anak perempuan. Namun dalam perjalanannya, kapal itu mengalami kerusakan. Para pengungsi juga kehabisan makanan dan air minum. (AP/AFP/REUTERS)