Proyek Reklamasi Pulau Penang Membelah Warga Negeri Jiran
Pulau Penang, Malaysia, dilanda perdebatan soal rencana reklamasi di bagian selatan pulau itu. Janji dan peluang pertumbuhan ekonomi beradu dengan kekhawatiran rusaknya lingkungan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
PENANG, SELASA — Pulau Penang di pesisir barat laut Malaysia terkenal dengan pantainya yang berpasir, mural dinding berwarna-warni di ibu kotanya, Georgetown, dan makanan jalanan yang menggoda rasa. Namun, pusat pariwisata alternatif di Malaysia itu saat ini tengah diwarnai perdebatan soal rencana reklamasi di bagian selatan pulau tersebut.
Janji dan peluang pertumbuhan ekonomi beradu dengan kekhawatiran rusaknya lingkungan. Sebagian warga setempat khawatir bahwa harapan-harapan mereka akan ketenangan hidup keseharian dapat terbenam oleh kerusakan lingkungan itu.
Proyek Penang South Reclamation (PSR), yang juga dijuluki ”BiodiverCity”, telah menarik perhatian warga pulau itu. Wacana itu muncul di tengah perjuangan warga untuk bertahan hidup di tengah pandemi yang menghentikan kedatangan turis-turis ke pulau itu.
Posisi dan sikap warga terhadap proyek reklamasi dilaporkan terbelah. Pemerintah dan bisnis berada dalam satu posisi, mendukung rencana reklamasi itu.
BiodiverCity akan mengandung proyek reklamasi tiga pulau buatan. Otoritas pulau itu berdalih hal itu diperlukan untuk menyediakan perumahan dan peluang ekonomi bagi populasi yang berkembang. Proyek itu di masa depan juga akan menghasilkan dana untuk jaringan transportasi modern.
Adapun warga nelayan dan pencinta lingkungan mengatakan, reklamasi akan menghancurkan kehidupan penduduk dan merusak pantai. Laporan analisis mengenai dampak lingkungan, menurut para ahli konservasi, tidak mencerminkan potensi kerusakan atau usulan langkah-langkah mitigasi yang memadai. Masa depan Penang sebagai tujuan wisata pun justru dipertaruhkan.
Banyak nelayan telah menolak kompensasi 20.000 ringgit (4.950 dollar AS) yang ditawarkan. ”Daerah ini kaya akan udang dan ikan. Jika Anda membangun pulau, yang akan kita lihat adalah kerusakan lingkungan permanen,” kata Mahadi Md Rodzi, Ketua Asosiasi Nelayan Penang, yang mewakili sekitar 6.000 nelayan.
”Nelayan sudah disuruh meningkatkan keterampilan atau mendapat pekerjaan lain, tetapi banyak dari kita yang terlahir sebagai nelayan dan hidup bergantung pada laut. Usulan ganti rugi dari negara sungguh tidak cukup untuk sesuatu yang akan memengaruhi mata pencarian kita selamanya.”
Pihak berwenang mengatakan, BiodiverCity, yang merupakan bagian dari visi Penang 2030 untuk meningkatkan kelayakan dan keberlanjutan hidup, akan menjadi ”pembangunan yang inklusif secara sosial dan ekonomi”. Visi itu menggambarkan penekanan pada ruang hijau, energi bersih, dan transportasi bebas kendaraan bermotor.
Proyek PSR, yang dirancang oleh Bjarke Ingels Group (BIG) yang berbasis di Kopenhagen, Denmark, dijadwalkan dimulai pada Maret mendatang setelah mendapat persetujuan. Proyek seluas 1.821 hektar yang terdiri dari tiga pulau berbentuk daun dan bunga itu masing-masing akan menampung sekitar 15.000 orang. Jika sesuai rencana, bahan-bahan bangunan, seperti perumahan dan perkantoran, di sana akan menggunakan bahan alami dan daur ulang, seperti bambu dan kayu.
Namun, rencana-rencana itu tidak mampu menutupi kegelisahan sekaligus kekhawatiran warga atas Penang secara keseluruhan. Sebuah petisi daring yang digalang menentang proyek tersebut. Petisi itu sejauh ini telah mengumpulkan lebih dari 115.000 tanda tangan. Sekelompok penduduk memprotes rencana proyek itu secara langsung. Mereka membentangkan spanduk Penang Tolak Tambak (Penang Tolak Reklamasi).
Evelyn Teh, seorang peneliti lingkungan di Penang, menilai skala pekerjaan pengerukan dan reklamasi selama lebih dari satu dekade akan menyebabkan ”kerusakan lingkungan besar-besaran dan jangka panjang” di pulau itu. ”Lima belas tahun reklamasi lahan merupakan serangan panjang terhadap ekologi laut dan industri perikanan yang bergantung padanya. Pulau-pulau reklamasi akan mengubur daerah penangkapan ikan yang ada, sementara kualitas air laut di sekitarnya memburuk,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
”Komunitas pesisir yang bergantung pada laut dan wilayah pesisir untuk mata pencarian mereka akan mengalami dampak negatif yang tidak bisa diubah.”
Kesalahan kolosal
Dari Denmark hingga Singapura, para perencana kota telah mereklamasi tanah dari laut selama beberapa dekade untuk perkantoran, apartemen, dan pariwisata. Kota dan negara pulau yang kehabisan ruang melakukan reklamasi tanah, meluas secara vertikal atau mengeksplorasi ruang dengan pembangunan-pembangunan ke bawah tanah.
Di Asia, reklamasi lahan telah menjadi masalah yang diperdebatkan. Kamboja dan Malaysia melarang ekspor pasir. Jakarta menangguhkan proyek reklamasinya. Adapun rencana untuk membangun pulau buatan di Hong Kong juga telah menuai kritik keras. Kemitraan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang mempelajari prospek kota terapung yang dapat membantu kota-kota pesisir yang berisiko banjir akibat memburuknya dampak perubahan iklim.
Malaysia memiliki dua proyek reklamasi besar lainnya yang sedang berlangsung. Pertama, Melaka Gateway, sebuah pelabuhan laut dalam dan terminal kapal pesiar yang merupakan bagian dari rencana megaproyek infrastruktur Sabuk dan Jalan China. Kedua adalah Forest City di Johor, dekat dengan Singapura, sebuah proyek yang ditujukan untuk investor asing.
Pengajar University Kuala Lumpur, Keng-Khoon Ng, mengatakan bahwa reklamasi skala besar memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam perencanaan kota. Namun, ia mengingatkan hal itu sekaligus juga memungkinkan pemerintah terlibat secara lebih ambisius dan agresif terkait bisnis bank tanah atau persediaan lahan yang ada.
”Proyek-proyek pembuatan pulau ini dirancang untuk meningkatkan kas negara. Mereka mewakili penyalahgunaan sumber daya secara kolosal pada saat meningkatkan ketidakterjangkauan perumahan dan ketidakadilan sosial,” katanya.
Eddie Chan, Direktur Eksekutif Konsorsium SRS, selaku pengembang proyek itu, menyatakan bahwa BiodiverCity dibutuhkan karena Penang telah kehabisan lahan. Dia menilai peluang ekonomi yang ada saat ini lebih sedikit dan mengalami kekurangan perumahan yang terjangkau harganya.
Eddie menjanjikan seperempat unit hunian akan dialokasikan untuk perumahan yang dinilainya terjangkau dengan kisaran harga rata-rata 350.000 ringgit (sekitar Rp 1,2 miliar) dan gugus tugas nelayan yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian menangani setiap dampak sosialnya. ”Dengan desain yang tepat dan metode konstruksi yang diterapkan pada pengerukan dan reklamasi, serta pencegahan polusi dan langkah-langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak lingkungan, kami yakin bahwa reklamasi dapat dilakukan secara berkelanjutan,” kata Chan. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)