Pertarungan Merebut Kue Digital, Apa yang Harus Dilakukan Perusahaan Media?
Pertarungan lanjutan antara media dan platform digital kembali memanas di Australia. Di sisi lain, perusahaan media perlu berinvestasi pada SDM dan teknologi agar bertumbuh dan berkembang dengan model bisnis sendiri.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Australia kini tengah menjadi sorotan semua pihak, mulai dari pemerintah, jurnalis, hingga pengelola media. Kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison yang ingin ”memaksa” dua perusahaan raksasa teknologi digital, yaitu Google dan Facebook, untuk membayar perusahaan media dan lembaga penyiaran atas berita yang terpampang di platform mereka dalam berbagai bentuknya menyedot perhatian.
Ini bukan pertama kali pemerintahan sebuah negara coba memaksa perusahaan raksasa digital membayar kepada perusahaan media dan lembaga penyiaran. Seperti dikutip dari penelitian Susan Athey, Markus Mobius, dan Jeno Pal, yang diunggah di laman Stanford Institute for Economic Policy Research (SIEPR), Jerman dan Spanyol secara terpisah coba memaksa Google membayar perusahaan media atas dasar Undang-Undang Hak Cipta, jumlah tertentu atas karya jurnalistik yang terpampang di platform mereka. Namun, mereka tidak berhasil.
Sebagai balasan, Google mematikan mesin pencarinya di kedua negara itu. Dampaknya, tingkat konsumsi berita menurun hingga 20 persen. Tingkat keterbacaan berita di luar kanal berita Google News pun turun hingga 10 persen.
Kondisi yang sama juga terjadi di Australia, Kamis (18/2/2021). Facebook menentang rancangan legislasi yang disebut UU Mandataris Media Berita dan Platform Digital (News Media and Digital Platform Mandatary Code) dengan memblokir semua konten berita media Australia. Tidak hanya media, semua konten pada laman lembaga Pemerintah Australia, seperti Biro Meteorologi, juga kosong. Tidak ada aktivitas penyebarluasan informasi seperti yang biasa dilakukan lembaga ini. Facebook telah ”meng-unfriend” Australia, kata Morrison.
Simon Milner, Wakil Presiden Kebijakan Publik Facebook untuk wilayah Asia Pasifik, yang dikutip Sydney Morning Herald, mengatakan, pihaknya meminta maaf atas kebijakan yang harus diambil manajemen Facebook. Dia mengutarakan beberapa keberatan manajemen Facebook terhadap substansi RUU itu.
Facebook, misalnya, menolak melakukan diskriminasi antara berbagai outlet berita yang meminta kompensasi dana atas penggunaan berita di platform media sosial mereka, model arbitrase yang memungkinkan badan independen memilih satu pembayaran di atas pembayaran lainnya, dan yang terakhir adalah keberatan soal kewajiban menjalani negosiasi komersial dengan perusahaan media Australia.
Di mata Facebook, RUU itu dinilai terlalu condong berpihak pada perusahaan media dan lembaga penyiaran.
Disrupsi digital
Disrupsi dunia digital, begitu orang menyebutnya, telah melanda industri media seiring berubahnya cara masyarakat mengonsumsi berita. Perusahaan media cetak, baik koran, tabloid, maupun majalah, yang dulu menguasai hulu hingga hilir bisnis media, kini harus mengakui bahwa mereka hanya bisa menguasai proses produksi saja. Loper koran, tabloid, dan majalah telah beralih ke tangan perusahaan teknologi digital.
Lembaga penyiaran pun setali tiga uang. Kini lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, bersaing dengan perusahaan teknologi digital terjun memasuki pasar yang sama.
Disrupsi teknologi telah membawa perubahan dalam konsumsi berita, dari konvensional ke digital. Digital News Report tahun 2020, yang dikeluarkan Reuters Institute, menyebutkan, konsumsi media cetak terus menurun. Sempat menyentuh angka 63 persen pada 2013, kini angkanya semakin tergerus hingga 26 persen pada April 2020 meski masih berada pada angka 33 persen di awal tahun 2020. Pandemi Covid-19 membuat konsumen berita memilih meninggalkan media cetak dengan alasan mencegah terinfeksi virus korona baru (SARS-CoV-2).
Meski demikian, pada saat yang sama, kepercayaan terhadap pemberitaan yang berimbang dan berkualitas meningkat. Di Amerika Serikat, berdasarkan penelitian yang sama, 65 persen responden penelitian mengakui bahwa berita berimbang dan berkualitas memberi mereka perspektif baru dalam memahami apa yang terjadi saat ini. Sebanyak 65 persen responden penelitian juga menyatakan sepakat bahwa media memberikan penjelasan tentang apa yang bisa dan harus mereka lakukan.
Khusus di Australia, tempat pertempuran Google, Facebook, dan pemerintah, data Digital News Report Australia 2020 yang dilakukan tim Universitas Canberra menyebutkan, terjadi peningkatan akses pemberitaan selama pandemi hingga 14 persen. Rata-rata konsumen berita di Australia mengakses pemberitaan melalui media sosial dan daring. Media sosial yang paling banyak digunakan sebagai alat mengakses berita di Australia adalah Facebook, yaitu 49 persen. Menyusul berikutnya adalah Youtube, Facebook Messenger, Instagram, Whatsapp, dan Twitter.
Perubahan perilaku konsumen media itu berkaitan dengan cara konsumen mengakses berita, yaitu melalui mesin pencari, yang mayoritas dikuasai Google; melalui media sosial yang menyediakan halaman khusus untuk mengumpan berita, dan secara langsung. Namun, untuk cara terakhir itu, persentasenya masih di bawah dua metode sebelumnya, kecuali untuk perusahaan-perusahaan media atau kantor berita utama dunia.
Perubahan pola konsumsi media pada akhirnya berujung pada penurunan pendapatan perusahaan media. Sebaliknya, perusahaan raksasa teknologi digital, yang kini menjadi ”loper” sebagai salah satu usahanya, terus meraup keuntungan.
Situs CNBC menyebutkan, keuntungan yang dihasilkan Alphabet Inc, induk perusahaan Google, pada kuartal keempat tahun 2020 mencapai 56,90 miliar dollar AS atau naik 23 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Dari angka itu,46,2 miliar dollar AS di antaranya dihasilkan dari iklan.
Adapun pendapatan Facebook, dikutip dari situs yang sama, mencapai 28,07 miliar dollar AS. Dengan jumlah pengguna bulanan aktif 2,8 miliar orang, Facebook meraup keuntungan dari setiap pengguna aktif sekitar 10,14 dollar AS.
Mengutip pemberitaan Kompas, 11 Februari 2021, menyebutkan bahwa Google, Facebook, dan Amazon menguasai 56 persen belanja iklan global. Khusus di Indonesia, Google dan Facebook menguasai 75-80 persen belanja iklan nasional. Sisanya diperebutkan sekitar 1.000 media. Gambaran di Indonesia bisa menjadi refleksi gambaran global yang jangkauannya lebih luas.
Mengejar teknologi
Perusahaan media harus mengakui bahwa teknologi yang mereka gunakan saat ini— bahkan untuk perusahaan media sekelas New York Times, Washington Post, BBC, The Guardian, atau Financial Times dan Bloomberg hingga berbagai kantor berita—belum mampu menyamai teknologi yang digunakan Google dan Facebook dalam menjangkau serta ”membaca” kemauan dan minat individu yang mengaksesnya. Teknologi algoritma, pengindeksan, dan sistem pengoperasian gawai, Android, yang dikembangkan oleh Google plus teknologi kecerdasan buatan (AI) bisa mengintrusi mata dan pikiran orang-orang yang berselancar di jagat maya hanya melalui ketukan jari.
Kemampuan menangkap impresi inilah yang kemudian menjadi ”senjata” untuk menarik perusahaan-perusahaan, khususnya produk konsumen, untuk ”memerangkap” calon konsumen dengan iklan. Coba saja ketika Anda berselancar di kanal Youtube, dengan mengetikkan seluk-beluk pemeliharaan kucing, misalnya, berbagai produk mengenai hewan peliharaan bermunculan di layar gawai Anda. Bahkan, donasi sosial untuk rumah-rumah perawatan kucing, pun bermunculan di layar.
Dalam konteks berita, media-media berlomba-lomba menjadi yang ”terdepan” dibaca oleh algoritma Google atau Facebook, yang selalu berubah. Ditambah lagi dengan rezim pemeringkatan (rating) keterbacaan, seperti Alexa di Indonesia atau Comscore secara global. Hasilnya, jurnalisme kemendalaman, jurnalisme investigasi, dan jurnalisme yang ”taat etik” dengan isu-isu sosial, long-form journalism, sering kali terlewat oleh berita-berita bombastis dan bahkan berita hiburan.
Suwarjono, Pemimpin Redaksi Suara.com, dalam webinar Model Bisnis Media di Tengah Pandemi Covid-19, Kamis (18/2/2021), mengibaratkan hubungan media dengan Google atau Facebook dan algoritma serta pengindeksannya ini sebagai teman sekaligus lawan (friendemy atau friend-enemy).
Untuk mengakomodasi perusahaan media di Perancis, Google sepakat merogoh koceknya 76 juta dollar AS untuk masa tiga tahun. Jumlah uang itu dibagi kepada 121 perusahaan media dalam sebuah perjanjian yang tidak dibuka untuk publik. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan angka yang dihasilkan Google.
Untuk menjembatani perusahaan media, mereka juga meluncurkan Google News Showcase, di mana perusahaan media dan lembaga penyiaran bisa menautkan berita yang telah dikurasi dalam aplikasi tersebut serta mendapat kompensasi dari berita itu. Kantor berita AFP menilai sebaiknya hak cipta itu juga menjangkau kantor berita.
Sementara di Australia, Google telah sepakat dengan salah satu grup media besar global, News Corp, untuk menggunakan konten perusahaan media di bawah grup ini, mulai dari Wall Street Journal dan New York Post di AS, The Times dan The Sun di Inggris.
Sebaliknya, Facebook berkukuh tidak akan melakukan apa pun dengan media di Australia karena konten berita hanya 4 persen dari keseluruhan kontennya. Meski begitu, sama seperti Google, Facebook menyediakan kanal Facebook Instant Articles yang bisa dimanfaatkan perusahaan media dan lembaga penyiaran untuk mendistribusikan berita-beritanya.
Harus diakui, penguasaan teknologi yang melewati kemampuan inovasi di perusahaan media telah menjadikan Google dan Facebook menguasai infrastruktur jagat maya. Namun, pada saat yang sama, investasi di sumber daya manusia dan teknologi oleh perusahaan media dan lembaga penyiaran tetap diperlukan untuk bisa bertumbuh dan berkembang dengan model bisnis sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh New York Times,Washington Post, atau The Guardian.
Tanpa investasi pada sumber daya manusia dan teknologi itu, kualitas jurnalisme bisa semakin luntur ditelan rezim pemeringkatan, AdSense, algoritma yang berujung pada produksi berita-berita click-bait semata. (AP/AFP/REUTERS)