Keamanan Data dan Keamanan Diri, Dua Sisi Pengawasan Kesehatan secara Digital
Seiring dengan vaksinasi yang mulai berlangsung, penggunaan aplikasi pengawas kesehatan secara digital semakin marak. Di samping ada manfaatnya, penggunaan teknologi memicu kekhawatiran soal penerobosan ranah pribadi.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 telah berlangsung setahun. Berbagai upaya dilakukan untuk mengendalikan penyakit itu. Salah satu caranya adalah pemanfaatan teknologi untuk pemeriksaan dan pemantauan warga. Di samping manfaatnya, penggunaan teknologi juga memicu kekhawatiran soal penerobosan ranah pribadi.
Di sejumlah negara, para pelawat dan warga diwajibkan mengunduh aplikasi pemantau pergerakan. Aplikasi itu berisi sejumlah data pribadi, terutama nomor identitas, nama, alamat, dan nomor telepon. Beberapa aplikasi malah merekam pengunduhnya mendatangi lokasi mana saja, mengakses media penyimpanan data di ponsel, sampai daftar kontak.
Laporan oleh Public Citizen, kelompok perlindungan konsumen, mengungkapkan, sedikitnya 50 aplikasi dibuat sebagai perangkat pengawasan terkait Covid-19 di tempat kerja. Laporan oleh Public Citizen mengungkap beberapa aplikasi terlalu rumit dan membuat pengguna kesulitan mencermati satu per satu.
”Serangan ke ranah pribadi pekerja sangat mengkhawatirkan, khususnya karena kemangkusan teknologi ini dalam pengendalian Covid-19 belum jelas,” demikian tertulis di laporan itu.
Seiring dengan vaksinasi yang mulai berlangsung, penggunaan aplikasi pengawas semakin mengemuka. Sejumlah pihak berusaha mengembangkan aplikasi untuk menunjukkan seseorang sudah divaksinasi atau belum. Berdasarkan informasi itu, perusahaan bisa memutuskan pekerja bisa masuk kerja atau tidak.
Masalahnya, bagi sejumlah pihak, pemilahan seperti itu dianggap bisa menerobos ranah pribadi. Perusahaan akan mengakses data kesehatan, informasi yang dianggap rahasia di hampir seluruh negara.
”Anda tidak mau majikan mengakses informasi itu untuk keputusan terkait pekerjaan,” kata Forrest Briscoe, pengajar manajemen dan organisasi di Penn State University.
Sementara di sisi lain, perusahaan perlu memastikan hanya pekerja yang bebas Covid-19 bisa masuk kerja. Kondisi itu memaksa banyak perusahaan menyeimbangkan kebutuhan menjaga keamanan di tempat kerja tanpa harus melanggar ranah pribadi.
Briscoe mengatakan, banyak perusahaan kini mengandalkan aplikasi buatan pihak ketiga untuk mengurus pengawasan kesehatan pekerjanya.
”Menggunakan pihak ketiga memang menjaga data terpisah. Walakin, bagi perusahaan yang bisnisnya terkait pengumpulan dan pengelolaan data, hal itu bisa menghadirkan risiko,” ujarnya.
Selain itu, peneliti American Civil Liberties Union, Jay Stanley, mengatakan bahwa ada risiko teknologi belum akurat. Hal itu, antara lain, terkait keandalan kamera pemantau panas pada kumpulan orang yang bergerak.
”Saya khawatir pemberi kerja memanfaatkan pandemi untuk menyimpan informasi melebihi batas perlindungan kesehatan,” katanya.
Pelanggaran di Asia
Laporan Right to Privacy Index (RPI) yang dikeluarkan Verisk Maplecroft, lembaga konsultan di Inggris, mendata pelanggaran ranah pribadi di 198 negara terkait Covid-19. Laporan itu menemukan Asia sebagai tempat pelanggaran paling kerap.
Peneliti HAM pada lembaga itu, Sofia Nazalya, menyebut bahwa tidak ada transparansi terkait penggunaan data yang dikumpulkan berbagai aplikasi pengawasan terkait Covid-19.
Maplecroft menyebut Pakistan, China, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Filipina sebagai negara paling buruk soal perlindungan data pribadi terkait Covid-19. Di sana, aplikasi pengawasan dan teknologi pengenalan wajah menjadi kewajiban. ”Tidak ada kejelasan kenapa diwajibkan,” kata Nazalya.
Di China, aparat menggunakan pesawat nirawak untuk memantau lokasi yang banyak penularan Covid-19. Pesawat itu terbang rendah di antara orang-orang dan mendekati siapa pun yang terekam melanggar protokol pengendalian infeksi.
Sementara di India, pemerintah mewajibkan pengunduhan aplikasi pengawasan pergerakan. Ada ancaman penjara dan denda bagi pelanggar. Di Korea Selatan, ada aplikasi yang menunjukkan secara persis lokasi pengunduhnya. Aparat diizinkan memeriksa catatan telepon dan penggunaan kartu kredit atas nama pelacakan kontak pasien Covid-19.
Adapun di Singapura, oposisi mempertanyakan penggunaan data yang dikumpulkan TraceTogether. Aplikasi itu dikembangkan pemerintah sebagai alat pelacakan kontak, salah satu taktik untuk pengendalian pandemi.
Pemimpin oposisi, Pritam Singh, mendesak pemerintah segera menjelaskan tata cara penggunaan data yang dikumpulkan dari aplikasi itu. Desakan mengemuka setelah para pejabat pemerintah menyebut data dari aplikasi itu akan dipakai antara lain untuk penyelidikan kejahatan. Hal itu memicu dugaan data tidak hanya digunakan untuk kepentingan pengendalian pandemi. (AP/REUTERS)