Penerapan karantina wilayah yang mengharuskan orang berada di rumah menjadi titik masuk konflik pasangan dalam rumah tangga yang berujung perceraian. Ada juga pasangan yang justru semakin erat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa penduduk dunia untuk menghabiskan waktu lebih lama di dalam rumah bersama keluarga. Bagi sebagian pihak, ini menjadi kesempatan untuk mempererat hubungan dengan pasangan. Tapi, bagi sebagian lagi masalah justru datang hingga mereka harus berpisah dari pasangannya.
The Japan Times pada 21 November 2020 melaporkan sebuah survei yang mengungkapkan, 20 persen pasangan suami istri menyatakan hubungan mereka telah meningkat seiring dengan komunikasi yang kian intens. Pandemi telah memaksa warga Jepang menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sehingga membuat pasangan suami istri menghabiskan lebih banyak waktu bersama pasangannya di rumah.
Survei itu diikuti oleh 1.080 responden berusia 20-50 tahunan. Sebanyak 19,6 persen responden atau 212 pasangan suami istri mengatakan hubungannya telah “meningkat” atau “agak meningkat.”
Sebanyak 62,5 persen dari itu mengatakan bahwa hubungan dengan pasangannya telah membaik karena mereka memiliki waktu untuk berkomunikasi lebih banyak, sarapan bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan rumah dan mengurus anak.
Hasil survei itu senada dengan data perceraian periode Januari-Juni 2020 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang. Terdapat 100.122 perceraian dalam kurun waktu itu. Sepertinya angka itu besar, tapi sesungguhnya 10.923 lebih sedikit dari periode yang sama tahun sebelumnya atau turun 9,8 persen.
Lain halnya negara dengan kasus Covid-19 ketiga terbanyak di dunia, yaitu Brasil, yang justru memperlihatkan realita yang berseberangan. Di semester dua 2020 terdapat 43.859 perceraian atau naik 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sekaligus tertinggi sejak 2007.
Pola yang sama juga terjadi di Wuhan, China dan Swedia. Pada 14 April 2020, Global Times melaporkan, bahwa ketika karantina wilayah di Wuhan mulai dilonggarkan permohonan perceraian naik dua kali lipat dibanding sebelum pandemi. Pada Agustus 2020, Radio Swedia juga melaporkan hal yang sama.
Zhang Fujian, Direktur Komite Pernikahan dan Keluarga Wuhan, mengatakan, karantina wilayah memaksa penduduk untuk berada di rumah selama wabah COvid-19. Konflik pasangan yang sudah ada menjadi berujung pada perceraian.
“Sebelum wabah, sejumlah pasangan jarang menghabiskan waktu bersama di rumah. Selama wabah, pertengkaran antarpasangan soal anak, pekerjaan rumah, makanan, hingga belanjaan bisa membuat ketegangan memuncak. Apalagi mereka tidak bisa menghindari pasangan karena harus tetap berada di rumah,” tutur Zhang.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat selama karantina wilayah yang bisa berujung pada perceraian. Mereka yang cenderung bercerai umumnya pasangan sesudah generasi 1970-1980-an dan memiliki anak.
Akan tetapi, pandemi memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar hubungan pasangan suami istri yang semakin membaik atau pernikahan yang berakhir pada perceraian.
Dalam pandangan Carly Kinch dari firma hukum Stewarts di Inggris, pandemi menjadi “badai yang sempurna” bagi pasangan rumah tangga. Dalam banyak kasus ini hanya menjadi katalis atas persoalan yang sebenarnya sudah ada sejak sebelum pandemi terjadi.
Kinch dan timnya tidak heran ketika permohonan perceraian di Inggris meningkat setelah karantina wilayah pertama di Inggris dicabut. Sebab, biasanya angka perceraian juga meningkat setelah pasangan menghabiskan waktu lebih lama seperti setelah libur sekolah atau libur Natal.
“Rasanya alasan orang bercerai tidak berubah. Mereka sudah memiliki masalah dengan pasangannya sebelum pandemic terjadi,” ujar Kinch seperti dikutip BBC, 7 Desember 2020.
Menurut sosiolog W Bradford Wilcox yang juga Direktur National Marriage Project di University of Virginia, secara umum orang menjadi lebih hati-hati selama pandemi. “Kehati-hatian membuat mereka cenderung tidak bercerai, cenderung tidak menikah, cenderung tidak memiliki anak,” ujarnya.
Di Oregon, Amerika Serikat, angka perceraian selama Maret-Desember 2020 turun 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019, angka pernikahan turun 16 persen. Di Florida juga angka perceraian turun 20 persen dan angka pernikahan turun 27 persen. Pola penurunan yang sama juga terjadi di Arizona.
Salah satu alasan mengapa perceraian turun adalah di banyak negara bagian akses terhadap pengadilan yang menyidangkan perceraian dibatasi karena pandemi. Alasan lain menurut para konselor pernikahan adalah banyak pasangan yang tak bercerai karena khawatir itu akan memperparah kondisi ekonomi akibat pandemi.
Pandemi Covid-19 benar-benar memberikan ujian dalam banyak aspek kehidupan penduduk dunia tak terkecuali pada ketahanan keluarga. Dengan skenario akhir yang belum tergambar pasti seperti apa, perjuangan melewati pandemi lebih seperti maraton daripada lari cepat.(REUTERS/AP)