Perjuangan Prodemokrasi Thailand Terganjal di Parlemen
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha tetap mendapatkan dukungan dan lolos dari mosi tidak percaya parlemen. Ini adalah kali kedua Prayuth lolos dari hadangan oposisi.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BANGKOK, SABTU — Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha tetap mendapatkan dukungan dan lolos dari mosi tidak percaya parlemen. Padahal, menurut rakyat Thailand yang memrotesnya selama berbulan-bulan, Prayuth dan pemerintahannya salah dalam mengelola ekonomi, ceroboh dalam penyediaan vaksin Covid-19, melanggar hak asasi manusia, dan korupsi. Sembilan menteri juga lolos seperti Prayuth.
”Hasil voting di parlemen menunjukkan masih ada kepercayaan,” kata Presiden Majelis Nasional Chuan Leekpai, Sabtu (20/2/2021).
Dari 487 anggota parlemen yang ada, 277 anggota partai koalisi berkuasa dan 210 anggota oposisi. Prayuth mendapatkan dukungan 272 suara, sementara 206 memilih menyetujui mosi tidak percaya. ”Debat di parlemen menjadi kesempatan bagi kedua pihak untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat dan bangsa. Saya siap mengklarifikasi tuduhan apa pun,” kata Prayuth.
Ini kali kedua pemerintahan Prayuth terancam mosi tidak percaya sejak berkuasa Juli 2019 pascakudeta militer oleh Prayuth pada 2014. Pada Februari 2020, Prayuth dan lima menteri juga lolos mosi tidak percaya di majelis rendah. Pada upaya mosi yang kedua ini, pemerintahan Prayuth dikritik antara lain karena menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung pejabat kepolisian dan membentuk unit siber untuk menyerang para pengkritik pemerintah di media sosial.
Namun, tuduhan yang lebih serius adalah Prayuth menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat karena memanfaatkan monarki sebagai tameng melawan kritikan-kritikan terhadap pemerintahannya. Gerakan protes yang dipimpin pelajar dan mahasiswa sejak tahun lalu menuntut Prayuth dan pemerintahannya mundur. Pengunjuk rasa menuntut perubahan konstitusi yang lebih demokratis dan reformasi monarki.
”Kesalahan terbesar Prayuth, ia tidak memahami prinsip-prinsip monarki konstitusional. Setiap kali dikritik, ia selalu memakai monarki untuk melindungi dirinya sendiri. Ini jahat dan tidak pantas jadi PM,” kata pemimpin oposisi Partai Bergerak Maju, Pita Limjaroenrat.
Tuduhannya mengacu pada penegakan Pasal 112 dalam KUHP yang juga dikenal sebagai hukum lese majeste. Prayuth, Juni lalu, mengatakan, Raja Maha Vajiralongkorn menginginkan agar pemerintah tidak menggunakan undang-undang itu untuk mencemarkan nama baik kerajaan menuntut pengunjuk rasa yang prodemokrasi.
Politisi ternama Thailand yang dikeluarkan dari parlemen tahun lalu, Thanathorn Juangroongruangkit, bulan lalu dituntut dengan lese majeste karena menuduh pemerintah lambat dan tidak memadai dalam menyediakan vaksin Covid-19 dan diduga pilih kasih pada salah satu pihak penyedia vaksin. Tuduhan ini berhubungan dengan monarki karena mayoritas vaksin yang dipesan Thailand diproduksi oleh Siam Bioscience, perusahaan swasta Thailand milik raja.
Tak tersentuh
Selama ini di Thailand, monarki dianggap institusi yang tidak tersentuh. Hukum lese majeste memperbolehkan siapa saja mengajukan keluhan kepada polisi dan vonis hukuman penjaranya hingga 15 tahun untuk setiap pelanggaran. Setidaknya ada 59 orang, termasuk beberapa anak di bawah umur, yang dipanggil berdasarkan hukum itu pada November dan Februari.
Empat pengunjuk rasa terkenal, yakni pengacara HAM Arnon Nampa, pemimpin mahasiswa Parit Chiwarak, aktivis politik Somyos Prueksakasemsuk dan Patiwat Saraiyaem, dijatuhi hukuman dengan memakai hukum itu, awal bulan ini. Mereka sudah mengajukan uang tebusan, tetapi ditolak oleh pengadilan.
Untuk mengantisipasi pengunjuk rasa yang lebih banyak pasca-keputusan ini, aparat kepolisian akan mengerahkan lebih dari 10.000 polisi di Bangkok selama akhir pekan ini. Truk meriam air dan mobil-mobil polisi sudah dikerahkan di dekat parlemen. Ratusan pengunjuk rasa sudah berkumpul di luar parlemen, Jumat sore. ”Kami tahu akan susah menghentikan pemerintah di dalam parlemen. Jadi, gerakan kami di luar ini mau membuat rakyat memahami masalah sebenarnya yang kita hadapi,” kata aktivis mahasiswa, Sukriffee Lateh. (REUTERS/AFP/AP)