Membaca Peluang Kelompok Tujuh Jadi Kelompok Sepuluh
Dinamika menambah dan atau mengurangi jumlah negara sudah mewarnai perjalanan sejarah Kelompok Tujuh atau G7 sejak kelompok itu ada tahun 1975. Kini wacana itu muncul dengan kemungkinan penambahan tiga negara baru.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·6 menit baca
LONDON, SABTU — Pertemuan para pemimpin negara Kelompok Tujuh atau G-7 pada Jumat (19/2/2021) menjadi pertemuan pertama yang digelar Inggris dalam keketuaannya tahun ini sekaligus pertemuan pertama para pemimpin G-7 sejak April 2020. Pengendalian pandemi Covid-19 yang mewujud pada program vaksinasi dan strategi pemulihan ekonomi menjadi agenda pembicaraan. Pertemuan awal tahun itu juga menjadi penjajakan kemungkinan penambahan sejumlah negara ke dalam kelompok itu.
Negara-negara G-7 terdiri dari Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dan Kanada. Kelompok itu berjanji untuk mengimunisasi orang-orang yang paling membutuhkan vaksinasi Covid-19. Dukungan itu akan diwujudkan dalam bentuk dana dan vaksin secara langsung sebagai dukungan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ”Ini adalah pandemi global dan tidak ada gunanya satu negara berada jauh di depan negara lain,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson seperti dikutip AP. ”Kita harus bergerak bersama.”
Konferensi tingkat tinggi di awal tahun ini menjadi kesempatan pertama bagi Presiden AS Joe Biden dan PM Italia Mario Draghi tampil sebagai pemimpin negara mereka dalam sebuah forum multilateral. Bersama lima kolega kelompok itu, Biden dan Draghi akan mempercepat pengembangan dan penyebaran vaksin global dan mendukung akses yang terjangkau dan adil atas vaksin dan perawatan penderita Covid-19. Mereka menjanjikan dana senilai 7,5 miliar dollar AS secara kolektif.
Pemerintah Inggris dalam laman keketuaan G-7 menyatakan G-7 selalu membantu mendorong aksi internasional yang lebih luas. Inggris akan menggunakan keketuaannya untuk menyetujui agenda bersama yang ambisius yang didasarkan pada nilai-nilai yang dihidupi bersama. Disebutkan bahwa Johnson bertekad menggunakan G-7 untuk mengintensifkan kerja sama antara negara-negara dunia yang demokratis dan berteknologi maju.
Untuk itulah, Johnson telah mengundang para pemimpin dari Australia, India, dan Korea Selatan untuk hadir sebagai negara tamu dalam G-7. Disebutkan bahwa kehadiran mereka untuk memperdalam keahlian dan pengalaman kelompok itu. Dengan kehadiran para pemimpin tiga negara itu, maka total 10 pemimpin mewakili lebih dari 60 persen warga di seluruh dunia yang tinggal di negara demokrasi.
Kelompok sepuluh akan terdiri dari para anggota G-7 dan Australia, India, serta Korsel. Forum itu jika terealiasasi akan menjadi pertemuan tatap muka pertama para pemimpin dunia selama hampir dua tahun, setelah G-7 yang diselenggarakan AS dibatalkan dan pertemuan G-20 yang diselenggarakan Arab Saudi digelar secara virtual pada tahun lalu.
The Guardian menyebutkan Johnson terus maju dengan rencana untuk mengubah pertemuan puncak tahunan G-7 secara tatap muka pada bulan Juni mendatang menjadi pertemuan puncak sebuah kelompok yang disebut sebagai sepuluh negara demokrasi alias D-10 yang disebut sebagai negara demokrasi terkemuka. Kelompok sepuluh akan terdiri dari para anggota G-7 dan Australia, India, serta Korsel. Forum itu jika terealiasasi akan menjadi pertemuan tatap muka pertama para pemimpin dunia selama hampir dua tahun, setelah G-7 yang diselenggarakan AS dibatalkan dan pertemuan G-20 yang diselenggarakan Arab Saudi digelar secara virtual pada tahun lalu.
Merujuk pada perjalanannya, memasukkan atau menambah dan sebaliknya–mengeluarkan–telah menjadi bagian dari dinamika G-7. Tujuh negara bersatu sebagai G-7 pada tahun 1975 sebagai tujuh negara industri terpenting saat itu. Rusia sempat ditambahkan tahun 1988–menjadikan nama kelompok itu jadi G-8– sebelum negara itu dikeluarkan pada tahun 2014 karena menganeksasi Krimea. Gedung Putih menyatakan bahwa Biden dengan tegas menolak kemungkinan mengundang kembali Rusia ke G-7, sesuatu yang pernah diwacanakan oleh presiden yang digantikan Biden, Donald Trump.
Politisi konservatif Inggris, David Howell, dalam opininya di Japan Times, Senin (15/2/2021), menyebutkan, G-7 memiliki rasa khas abad ke-20. Tidak seperti G-20 yang lebih besar, G-7 berasal dari sebelum era digital berkembang sepenuhnya dan sebelum kebangkitan besar-besaran kekuatan Asia terjadi. Sudah lumrah dan tepat saatnya jika G-7 berganti atau diganti wajah dan komposisinya. Dunia yang lebih modern dengan dinamika teraktual menuntut perubahan kelompok itu.
Posisi Inggris yang sudah berada di luar Uni Eropa (UE) juga menjadi semacam momentum untuk mengubah atau memekarkan G-7. Howell menilai gagasan D-10 terdengar seperti cara yang baik untuk lebih progresif, terutama ketika jumlah negara demokrasi dunia tampak menyusut. Perubahan G-7 dinilainya juga sejalan dengan ”tuntutan” kebutuhan akan sebuah front yang lebih kuat untuk melawan ekspansi China. Dalam hal terkait ekspansi China itu, maka dinilainya Inggris sudah jelas posisinya.
Pada bulan Desember tahun lalu, grup partai konservatif di Inggris yang berpengaruh yang dikenal sebagai China Research Group mendorong D-10 untuk memperbaiki distorsi pasar yang disebabkan oleh praktik perdagangan China dan kontrol pasar China. Strategi China itu dinilai juga ikut memengaruhi perusahaan asing yang beroperasi di China. ”Karena China telah tumbuh menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia, mungkin ada koalisi yang kuat dari negara-negara yang memiliki nilai yang sama untuk menanggapi kekuatan dan pengaruh PKC (Partai Komunis China) dan meminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran hukum internasional,\'” demikian dinyatakan kelompok itu.
Namun, dinamika menuju perubahan itu tetap ada. Proposal untuk memperluas G-7 menjadi kelompok yang lebih luas disebut-sebut telah menemui perlawanan dari beberapa negara Eropa. Mereka dinilai khawatir wacana itu akan dianggap sebagai aliansi anti-China dan sekaligus strategi untuk melemahkan kekuatan negara-negara UE. Sinyal kekhawatiran itu telah diungkapkan dalam lingkaran diplomatik Perancis dan Italia.
The Australian bahkan menyebutkan pertimbangan untuk mengubah G-7 menjadi D-10 dihentikan sementara. Mengutip sumber, Inggris justru berfokus pada pengembangan hubungan yang lebih kecil untuk mendorong respons yang lebih gesit terhadap aneka persoalan yang menyangkut kepentingan G-7 dengan para mitranya. Pergeseran strategis Inggris itu jika benar akan berarti bahwa Australia, Korsel, dan India akan terus berada di luar–meski dekat–kelompok G-7.
Australia dipandang oleh pemerintahan Johnson sebagai pemimpin global dalam menyuarakan kekhawatiran keamanan yang berkaitan dengan China. Australia diharapkan menjadi kontributor utama pembicaraan G-7 tentang China, terutama terkait dengan negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik, dan pengembangan industri 5G di luar China untuk memberikan persaingan global di bidang telekomunikasi. Australia telah diundang untuk menghadiri semua sesi KTT G-7. Namun, Inggris telah mendapat tekanan dari beberapa negara G-7 lainnya untuk menarik diri dari upaya menciptakan kelompok yang benar-benar anti-China.
Ide perluasan atau pemekaran G-7 itu tampaknya ditentang Beijing. Pengamat di Shanghai International Studies University, Gao Jian, dalam opininya di media yang berafiliasi dengan Pemerintah China, Global Times, menyebutkan kelompok D-10 adalah sebuah ilusi mengingat situasi kacau yang dihadapi dalam sistem demokrasi di negara-negara Barat. Dicontohkan krisis sosial di AS dalam kelindannya dengan efek dari pandemi Covid-19. Efisiensi tata kelola sosial yang rendah, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, dan masalah yang semakin serius tentang kesejahteraan masyarakat adalah dinamika yang dihadapi AS dan Inggris saat ini. Sebuah aliansi membutuhkan negara dan kepemimpinan yang karismatik. Maka, baik AS maupun Inggris dinilai tidak memenuhi unsur itu saat-saat ini.
Ide tentang kelompok D-10 itu juga dinilai tidak pas dilihat dari terjadinya perubahan mendasar, ketidakseimbangan pembangunan dan keamanan kawasan yang menghadirkan tantangan dan risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi dunia. Sejak pandemi, sebagian besar negara ekonomi besar telah menyaksikan kemerosotan finansial yang serius. ”Dengan latar belakang ini, negara-negara Barat menekankan mentalitas Perang Dingin dan menjelek-jelekkan China dengan alat ideologis. Sayangnya, mereka menghipnotis diri mereka sendiri ke dalam realitas palsu,” tulis Gao.